Sungguh ironis. Indonesia ialah salah satu produsen ikan cakalang, tuna, dan tongkol terbesar di dunia. Akan tetapi, dalam 10 tahun terakhir industri pengalengan ikan di negara kepulauan ini harus mengimpor ikan cakalang, serta tuna dari Filipina.
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka kanal dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut. VALLEGA (2001) dalam perspektif geografis mengingatkan bahwa tantangan globalisasi yang berkaitan dengan kelautan yaitu transportasi laut, sistem komunikasi, urbanisasi di wilayah pesisir, dan pariwisata bahari. Karena itu diharapkan kebijakan kelautan (ocean policy) yang mengakomodasi transportasi laut disebuah negeri bahari. Perkembangan transportasi laut di Indonesia hingga dikala ini masih dikuasai oleh pihak asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum mempunyai armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton spesialuntuk mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton spesialuntuk mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi masa perdagangan bebas.
B. Laut Indonesia Milik Siapa dan Siapa yang Mengamankan ?
Hakikat Dan Makna Laut Bagi Bangsa Indonesia. Laut dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat manusia. Perkembangan peradaban insan sudah membawa kemajuan di bidang teknologi termasuk teknologi kelautan. Berbeda dengan daratan laut tidak sanggup diduduki secara permguan, dipagari atau dikuasai secara mutlak, laut spesialuntuk sanggup dikendalikan, itupun dalam tempo yang terbatas. Indonesia yaitu negara kepulauan dengan demikian laut bagi bangsa Indonesia, ialah pecahan integral dari wilayah negara yang tidak sanggup dibagi-bagi untuk itu laut spesialuntuk dibedakan dalam rezim aturan yang mengaturnya. Laut juga pecahan integral dari wilayah dunia, hal inilah yang mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan dengan demikian memanfaatkan dan penerapan laut bagi kepentingan umat insan harus diatur dengan aturan laut, yang sepakati bukan spesialuntuk masyarakat salah satu negara tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Keamanan Laut bukan spesialuntuk penegakan aturan di laut, lantaran keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman dipakai oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas memanfaatkan laut, yaitu : Pertama, laut bebas dari ancaman kekerasan secara terorganisasi dengan kekuatan bersenjata ancaman tersebut sanggup berupa, pembajakan perompakan, sabotase maupun agresi teror bersenjata. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi, yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya masukana menolong navigasi sehingga membahayakan keselamatan pelayaran. Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan. Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik aturan nasional maupun internasional mirip illegal fishing, illegal loging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain. Meyadari hal-hal diatas duduk kasus yang kompleks dan semakin kompleks lantaran dilaut bertemu dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu kepentingan nasional dan internasional oleh alasannya yaitu itu tegaknya, keaamanan di laut mustahil spesialuntuk dilaksanakan oleh satu institusi secara mandiri. Tentunya keberhasilan pengamanan laut, sangat bergantung kepada peduli atau tidaknya komponen-komponen lain yang menjadikan laut sebagai sumber pengabdiannya.
BAB II
GAMBARAN KELAUTAN INDONESIA
GAMBARAN KELAUTAN INDONESIA
A. Negeri Maritim yang Merana
Sungguh ironis. Indonesia ialah salah satu produsen ikan cakalang, tuna, dan tongkol terbesar di dunia. Akan tetapi, dalam 10 tahun terakhir industri pengalengan ikan di negara kepulauan ini harus mengimpor ikan cakalang, serta tuna dari Filipina. Langkah itu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan pasokan materi baku dari perusahaan penangkapan nasional yang spesialuntuk terpenuhi 33,3 persen dari total produksi sekitar 395.978 ton per tahun.
Selebihnya, komoditas tersebut diekspor ke Filipina, Thailand, Jepang dan sejumlah negara di Asia, Eropa, serta Amerika dalam bentuk gelondongan. Pilihan ini disebabkan harga ikan tuna dan cakalang gelondongan di luar negeri berkisar 600 dollar AS-750 dollar AS per ton. Sedangkan di Indonesia cuma dihargai paling terbaik seharga 500 dollar AS per ton.
Volume impor ikan cakalang dan tuna dari Filipina berkisar 60.000 ton-75.000 ton atau 20 persen-25 persen dari kapasitas terpasang sebesar 300.000 ton per tahun. Jumlah tersebut selalu meningkat seiring penurunan suplai dari perusahaan penangkapan ikan nasional.
“Kedengarannya guah jikalau kita harus mengimpor lagi ikan cakalang dan tuna dari Filipina. Namun, itulah faktanya. Padahal, ikan yang diimpor ini mungkin saja ialah hasil penangkapan nelayan dan kapal ikan Filipina secara ilegal di perairan Indonesia,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengalengan IkanIndonesia (APPI) Hendri Sutandinata. Keterbatasan pasokan materi baku itu tidak sanggup dilepaskan dari maraknya agresi penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi selama belasan tahun terakhir. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2001 sebut bahwa jumlah ikan yang ditangkap secara ilegal di daerah perairan Indonesia mencapai kurang lebih 1,5 juta ton per tahun. melaluiataubersamaini nilai kerugian berkisar 1,0 milyar dollar AS sampai 4,0 milyar dollar AS. Nelayan gila itu berasal dari Thailand, Filipina, Vietnam dan Myanmar, serta sejumlah negara Asia lainnya. Dalam agresi ilegal itu, mereka tak berjalan sendiri, tapi menjalin kolaborasi dengan banyak sekali pihak. Mulai dari oknum petugas di laut hingga pengusaha raksasa di Jakarta, dan kota besar lain. Kerja sama itu terjalin sangat rapi ibarat jaenteng laba laba.
B. Kebutuhan Kapal
Dominasi pelayaran gila terlihat dari muatan (freight) kapal gila yang mengangkut muatan luar negeri (ekspor/impor), yakni menguasai muatan sebanyak 92,5 persen (322,5 juta M/T). Adapun muatan dalam negeri, kapal gila menguasai 50 persen dari seluruh angkutan total barang (89,8 juta M/T). Hal ini berarti perusahaan pelayaran nasional kebanyakan spesialuntuk menjadi distributor dari kapal-kapal pelayaran asing. Dampaknya yaitu bangsa Indonesia tidak mempunyai otoritas untuk menekan sumber inefisiensi dalam transportasi laut.
Dalam salah satu hasil riset, yang dipublikasikan Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai (Iperindo) pada September 2003, terungkap untuk mengoptimalkan kiprah armada nasional dalam memanfaatkan potensi muatan laut domestik diharapkan penambahan 50-60 unit kapal baru pertahun. Sementara riset Asosiasi Pelayaran Niaga Indonesia (INSA), yang dipublikasikan Oktober 2003, memperkirakan pada 2020 RI membutuhkan armada kapal dengan total volume 45 juta ton bobot mati (DWT) untuk melayani sekitar 370 juta ton muatan laut domestik dan 550 juta ton muatan lautinternasional. Sedangkan pada 2010, berdasarkan INSA, dibutuhkan 20 juta DWT armada kapal untuk mengangkut muatan laut domestik 250 juta ton dan 450 juta ton muatan laut internasional. Pada dikala itu total muatan angkutan laut tercatat 552,6 juta ton, yang terdiri atas 149,9 juta ton muatan internasional dan 412,7 juta muatan domestik.
Ironisnya, armada nasional spesialuntuk bisa meraih 22,48 juta ton atau 5,45% dari total potensi muatan internasional, sementara kapal gila menguasai 390,25 juta ton atau 94,55%.
Untuk potensi muatan domestik, armada nasional spesialuntuk meraih 89,9 juta ton atau 59,99%, sedangkan armada gila menggasak 59 juta ton atau 40,01%.
Sementara berdasarkan INSA, pada 2001 anggotanya tercatat 935 perusahaan dengan total armada 3.092 unit kapal atau 4,22 juta DWT. Saat itu tercatat 121 unit kapal samudera atau 1,078 juta DWT, sehingga spesialuntuk bisa melayani 22,5 juta ton muatan laut internasional atau sekitar 5,5% dari total muatan angkutan luar negeri. Selama tiga tahun terakhir kemampuan armada nasional dalam mengambil potensi muatan domestik belum beranjak dari 60%, sedangkan muatan internasional paling tinggi 6%.
C. Pengelolaan Pelabuhan
Rendahnya kualitas pelayanan di pelabuhan tidak terlepas dari kesalahan sistem pengelolaan kepelabuhanan yang sentralistik, monopolistik dan tidak efisien. Peran pemerintah yang seharusnya sebagai regulator, dalam kenyataannya masih diwarnai oleh kepentingan satu tubuh perjuangan (PT Pelindo). Pencampuradukan fungsi ini sudah mengakibatkan tersendatnya perkembangan kepelabuhanan, dan menghambat perjuangan untuk membuat iklim persaingan perjuangan yang sehat.
Oleh lantaran itu, deregulasi kepelabuhanan yang akomodatif dan mengarah kepada restrukturisasi tatanan kepelabuhanan seharusnya menjadi materi pertimbangan utama untuk memperbaiki pengelolaan kepelabuhanan di Indonesia. Deregulasi dan restrukturisasi tatanan kepelabuhanan harus diarahkan untuk membuat iklim persaingan perjuangan yang sehat dalam kepengusahaan ekonomi di pelabuhan sehingga sanggup menarikdanunik minat investor, baik gila maupun domestik, untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Iklim persaingan perjuangan yang sehat akan bisa mewujudkan layanan kepelabuhanan yang modern dan berdaya saing global. Masuknya investasi akan mengakibatkan terjadinya modernisasi fasilitas pelabuhan dan peningkatan kualitas kinerja pelayanan kepelabuhanan serta mempersembahkan imbas berantai (multiplier effect) pada sektor lain, sehingga impian pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi akan sanggup dicapai.
misal masalah Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan yang menangani sekitar 60% barang ekspor-impor Indonesia atau dengan transaksi Rp70 miliar hingga Rp80 miliar per hari sekarang dituntut kian efisien.
Asumsi angka itu diperoleh dengan angka bea masuk per barang dipukul rata berkisar 15% hingga 20%, sedangkan sasaran per tahun pencapaian bea masuk melalui Priok Rp5 triliun hingga Rp6 triliun per tahun.
Kinerja dan pelayanan bongkar muat di Priok dipaksa berpacu dengan pasar yang semakin hari samakin mengkrucut, lantaran di dikala masa AFTA 2003 arus barang cenderung menurun. Atau semenjak 2000 hingga sekarang mengatakan penurunan ekspor-impor 6%-8% setiap tahunnya.
Asumsi angka itu diperoleh dengan angka bea masuk per barang dipukul rata berkisar 15% hingga 20%, sedangkan sasaran per tahun pencapaian bea masuk melalui Priok Rp5 triliun hingga Rp6 triliun per tahun.
Kinerja dan pelayanan bongkar muat di Priok dipaksa berpacu dengan pasar yang semakin hari samakin mengkrucut, lantaran di dikala masa AFTA 2003 arus barang cenderung menurun. Atau semenjak 2000 hingga sekarang mengatakan penurunan ekspor-impor 6%-8% setiap tahunnya.
ARUS PERDAGANGAN DOMESTIK & INTERNASIONAL
2001-2002 (dalam TEU`s)
Lalu lintas kontainer
Tanjung Priok (Jakarta) 4.000.00
Tanjung Perak (Surabaya) 900.000
Tanjung Emas (Semarang) 250.000
Tanjung Bandar (Lampung) 75.000
Sumber:JICT
Sudah tentu pendapatan para pengusaha termasuk eksportir dan importir berkurang cukup signifikan terlebih pertama 2003 ada kenaikan BBM 21,9%, telepon 15%, listrik 6% dan kenaikan upah minimum povinsi 7%. Sehingga margin keuntungan pengusaha sudah mencapai titik terendah salama lima tahun terakhir.
Kondisi yang tidak aman itu mengakibatkan para pengusaha nasional untuk bersikap kritis semoga tiruana yang berkaitan dengan rantai produksi dan terkait dikikis sedemikian rupa hingga lebih murah dan efisien.
Cukup beralasan di dikala pengusaha terhimpit, Dephub dan Menneg BUMN menyatakan kebebasan tarif acara pengapalan, yaitu tarif pemerintah spesialuntuk sebagai fatwa tarif tertinggi.
Kegiatan prosedur pasar dalam penerapan tarif bongkar muat peti kemas internasional itu sudah terjadi pada pertama tahun lalu. Namun gaungnya belum santer lantaran sudah terjadi persinggungan yang tidak etis. Diantaranya ada satu operator TPK yang mengancam suatu kapal yang tidak sandar di tempatnya, beberapa hari kemudian ketika berniat sandar di dermaga tidak mendapat pelayanan.
Akhirnya ancaman itu yang dikemas dengan dalih untuk agenda ketepatan waktu, mengakibat prosedur berkompetisi tidak berjalan, sudah tentu hal itu menggambarkan monopoli pelayanan peti kemas terselubung.
Kondisi makin memuncak, lantaran beberapa perusahaan pelayaran banyak yang dikecewakan lantaran pelayanan yang tidak prima, maka secara belakang layar ada beberapa perusahaan pelayaran melayangkan surat ke PT Pelabuhan Indonesia II wacana terjadinya ancaman itu.
Akhirnya Dephub dan Menneg BUMN menengahi duduk kasus tersebut a.l. dengan dikeluarkannya SK Dirjen Perhubungan Laut No. PP72/2/10-00 wacana Penetapan Pengoperasian Terminal Peti Kemas di Regional Pelabuhan Tanjung Priok.
Sudah tentu dengan mulainya genderang persaingan pelayanan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok sekarang ada empat pengelola yang sanggup menyelenggarakan acara bongkar muat peti kemas, yaitu PT Jakarta International Container Terminal (JICT), KSO Koja, PT Multipurpose Segoro, dan PT Multi Terminal Indonesia.
Koridor KPPU
Apa pun alasannya maka iklim persaingan pelayanan peti kemas internasional itu sudah sesuai dengan koridor yang diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dituangkan dalam UU No.5 tahun 1999 wacana larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pengguna jasa, eksportir, importir, operator, dan regulator sebaiknya menyingkirkan jauh-juah wacana adanya pihak yang dirugikan dengan penerapan iklim persaingan larangan praktik monopoli.
Terlebih pihak PT JICT yang secara resmi sudah mendapat keterangan resmi dari Menhub dan Menneg BUMN wacana tidak adanya pelanggaran dalam kontrak privatisasi antara PT Pelabuhan Indonesia II dan Grosbeak Pte. Ltd.
Disebutkan dalam kontrak (31 Maret 1999) privatisasi senilai US$215 juta oleh PT Grosbeak yang mempunyai 51% saham PT JICT-anak perusahaan PT Pelabuhan II-antara lain kontrak dermaga selama 20 tahun dan dalam radius 500 mil tidak boleh ada pembangunan terminal peti kemas (usaha sejenis).
Memang faktanya, tidak benar ada pelanggaran kontrak perjanjian privatisasi antara PT JICT dengan PT Pelabuhan Indonesia II, lantaran dermaga konvensional 009 dan 300 sudah lebih doloe ada sebelum privatisasi JICT.
Ketegasan sikap dari Dephub dan Menneg BUMN dalam hal ini terlihat agak ketinggalan, lantaran sesungguhnya pengguna jasa, eksportir, importir sudah beberapa tahun yang lalu, bertepatan ketika kuku Grosbeak menancap pada PT JICT mengatur dan menguasai pelayanan sudah mendesak semoga pemerintah mengambil tindakan.
Kini masalahnya, keterlambatan Dephub dan Menneg BUMN yang sudah meninabobokan PT JICT sudah mengakibatkan seakan-akan sudah terjadi pelanggaran. Padahal yang benar yaitu menerapkan kembali sistem prosedur pasar sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Selanjutnya, PT JICT yang ter-bangun dari pulasnya dipaksa untuk menancap gas sekuat-kuatnya semoga sasaran 3,8 juta twentyfeet equivalent unit’s (TEU’s) final 2004 tercapai. Mungkinkan sasaran itu tercapai? Tentu kalau tidak maka yang bersangkutan wan prestasi atau gagal memenuhi persyaratan dalam kontrak privatisasi.
2001-2002 (dalam TEU`s)
Lalu lintas kontainer
Tanjung Priok (Jakarta) 4.000.00
Tanjung Perak (Surabaya) 900.000
Tanjung Emas (Semarang) 250.000
Tanjung Bandar (Lampung) 75.000
Sumber:JICT
Sudah tentu pendapatan para pengusaha termasuk eksportir dan importir berkurang cukup signifikan terlebih pertama 2003 ada kenaikan BBM 21,9%, telepon 15%, listrik 6% dan kenaikan upah minimum povinsi 7%. Sehingga margin keuntungan pengusaha sudah mencapai titik terendah salama lima tahun terakhir.
Kondisi yang tidak aman itu mengakibatkan para pengusaha nasional untuk bersikap kritis semoga tiruana yang berkaitan dengan rantai produksi dan terkait dikikis sedemikian rupa hingga lebih murah dan efisien.
Cukup beralasan di dikala pengusaha terhimpit, Dephub dan Menneg BUMN menyatakan kebebasan tarif acara pengapalan, yaitu tarif pemerintah spesialuntuk sebagai fatwa tarif tertinggi.
Kegiatan prosedur pasar dalam penerapan tarif bongkar muat peti kemas internasional itu sudah terjadi pada pertama tahun lalu. Namun gaungnya belum santer lantaran sudah terjadi persinggungan yang tidak etis. Diantaranya ada satu operator TPK yang mengancam suatu kapal yang tidak sandar di tempatnya, beberapa hari kemudian ketika berniat sandar di dermaga tidak mendapat pelayanan.
Akhirnya ancaman itu yang dikemas dengan dalih untuk agenda ketepatan waktu, mengakibat prosedur berkompetisi tidak berjalan, sudah tentu hal itu menggambarkan monopoli pelayanan peti kemas terselubung.
Kondisi makin memuncak, lantaran beberapa perusahaan pelayaran banyak yang dikecewakan lantaran pelayanan yang tidak prima, maka secara belakang layar ada beberapa perusahaan pelayaran melayangkan surat ke PT Pelabuhan Indonesia II wacana terjadinya ancaman itu.
Akhirnya Dephub dan Menneg BUMN menengahi duduk kasus tersebut a.l. dengan dikeluarkannya SK Dirjen Perhubungan Laut No. PP72/2/10-00 wacana Penetapan Pengoperasian Terminal Peti Kemas di Regional Pelabuhan Tanjung Priok.
Sudah tentu dengan mulainya genderang persaingan pelayanan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok sekarang ada empat pengelola yang sanggup menyelenggarakan acara bongkar muat peti kemas, yaitu PT Jakarta International Container Terminal (JICT), KSO Koja, PT Multipurpose Segoro, dan PT Multi Terminal Indonesia.
Koridor KPPU
Apa pun alasannya maka iklim persaingan pelayanan peti kemas internasional itu sudah sesuai dengan koridor yang diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dituangkan dalam UU No.5 tahun 1999 wacana larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pengguna jasa, eksportir, importir, operator, dan regulator sebaiknya menyingkirkan jauh-juah wacana adanya pihak yang dirugikan dengan penerapan iklim persaingan larangan praktik monopoli.
Terlebih pihak PT JICT yang secara resmi sudah mendapat keterangan resmi dari Menhub dan Menneg BUMN wacana tidak adanya pelanggaran dalam kontrak privatisasi antara PT Pelabuhan Indonesia II dan Grosbeak Pte. Ltd.
Disebutkan dalam kontrak (31 Maret 1999) privatisasi senilai US$215 juta oleh PT Grosbeak yang mempunyai 51% saham PT JICT-anak perusahaan PT Pelabuhan II-antara lain kontrak dermaga selama 20 tahun dan dalam radius 500 mil tidak boleh ada pembangunan terminal peti kemas (usaha sejenis).
Memang faktanya, tidak benar ada pelanggaran kontrak perjanjian privatisasi antara PT JICT dengan PT Pelabuhan Indonesia II, lantaran dermaga konvensional 009 dan 300 sudah lebih doloe ada sebelum privatisasi JICT.
Ketegasan sikap dari Dephub dan Menneg BUMN dalam hal ini terlihat agak ketinggalan, lantaran sesungguhnya pengguna jasa, eksportir, importir sudah beberapa tahun yang lalu, bertepatan ketika kuku Grosbeak menancap pada PT JICT mengatur dan menguasai pelayanan sudah mendesak semoga pemerintah mengambil tindakan.
Kini masalahnya, keterlambatan Dephub dan Menneg BUMN yang sudah meninabobokan PT JICT sudah mengakibatkan seakan-akan sudah terjadi pelanggaran. Padahal yang benar yaitu menerapkan kembali sistem prosedur pasar sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Selanjutnya, PT JICT yang ter-bangun dari pulasnya dipaksa untuk menancap gas sekuat-kuatnya semoga sasaran 3,8 juta twentyfeet equivalent unit’s (TEU’s) final 2004 tercapai. Mungkinkan sasaran itu tercapai? Tentu kalau tidak maka yang bersangkutan wan prestasi atau gagal memenuhi persyaratan dalam kontrak privatisasi.
D. Kerancuan Peraturan Kepelabuhanan di Indonesia
Kepelabuhanan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22 UU No. 21 / 1992 wacana Pelayaran, terdiri dari pelabuhan umum (pelum) dan pelabuhan khusus (pelsus). Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat umum dan pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang acara tertentu.
1. SKB 2 Menteri Tahun 1986
Terjadinya kerancuan dalam tatanan kepelabuhanan sebetulnya dimulai ketika keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan (waktu itu alm. Bapak Roesmin Nurjadin) dan Menteri Dalam Negeri (waktu itu alm. Bapak Soepardjo Rustam) No. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 pada tahun 1986. SKB dimaksud mengatur wacana Batas – batas Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan. Sebenarnya SKB ini spesialuntuklah mengatur penyelenggaraan acara kepemerintahan pelabuhan yang dilakukan oleh Administrator Pelabuhan (ADPEL), tanpa menyinggung dan menulis wacana PT Pelindo II.
Terjadinya kerancuan dalam tatanan kepelabuhanan sebetulnya dimulai ketika keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan (waktu itu alm. Bapak Roesmin Nurjadin) dan Menteri Dalam Negeri (waktu itu alm. Bapak Soepardjo Rustam) No. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 pada tahun 1986. SKB dimaksud mengatur wacana Batas – batas Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan. Sebenarnya SKB ini spesialuntuklah mengatur penyelenggaraan acara kepemerintahan pelabuhan yang dilakukan oleh Administrator Pelabuhan (ADPEL), tanpa menyinggung dan menulis wacana PT Pelindo II.
2. UU No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
Undang – Undang No. 21 tahun 1992 wacana Pelayaran, antara lain menyatakan wacana pembagian terstruktur mengenai pelabuhan berdasarkan kepentingannya (pelabuhan umum dan pelabuhan khusus). Penyelenggaraan pelabuhan umum dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya sanggup dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut. Badan perjuangan inilah yang kemudian diartikan sebagai PT Pelindo. Hal ini mengatakan iklim perjuangan monopolistik yang diciptakan oleh pemerintah.
Undang – Undang No. 21 tahun 1992 wacana Pelayaran, antara lain menyatakan wacana pembagian terstruktur mengenai pelabuhan berdasarkan kepentingannya (pelabuhan umum dan pelabuhan khusus). Penyelenggaraan pelabuhan umum dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya sanggup dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut. Badan perjuangan inilah yang kemudian diartikan sebagai PT Pelindo. Hal ini mengatakan iklim perjuangan monopolistik yang diciptakan oleh pemerintah.
3. Penguasaan HPL dan Pelsus Oleh PT Pelindo
Disebutkan lebih lanjut dalam UU No. 21/1992 wacana pelayaran bahwa untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan umum, maka akan diputuskan DLKr dan DLKp Pelabuhan. Namun ternyata PT Pelindo II memakai SKB 2 Menteri Nomor AL. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 untuk mengklaim DLKr dan DLKp Pelabuhan sehingga mereka “menguasai” hak pengelolaan lahan (HPL) tanah pantai serta HPL tanah hasil reklamasi. Implikasinya di lapangan yaitu PT Pelindo II “menguasai” tiruana pelsus di wilayah kota Cilegon dan PT Pelindo II mengambil sewa perairan kapada tiruana pelsus seolah – olah perairan dan daratan tersebut milik PT Pelindo II. Sungguh kenyataan ini tidak sanggup diterima secara logis lantaran pelsus – pelsus itu diselenggarakan dengan investasi dari pemilik pelsus itu sendiri tanpa menolongan sama sekali dalam bentuk apapun dari PT Pelindo II.
Disebutkan lebih lanjut dalam UU No. 21/1992 wacana pelayaran bahwa untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan umum, maka akan diputuskan DLKr dan DLKp Pelabuhan. Namun ternyata PT Pelindo II memakai SKB 2 Menteri Nomor AL. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 untuk mengklaim DLKr dan DLKp Pelabuhan sehingga mereka “menguasai” hak pengelolaan lahan (HPL) tanah pantai serta HPL tanah hasil reklamasi. Implikasinya di lapangan yaitu PT Pelindo II “menguasai” tiruana pelsus di wilayah kota Cilegon dan PT Pelindo II mengambil sewa perairan kapada tiruana pelsus seolah – olah perairan dan daratan tersebut milik PT Pelindo II. Sungguh kenyataan ini tidak sanggup diterima secara logis lantaran pelsus – pelsus itu diselenggarakan dengan investasi dari pemilik pelsus itu sendiri tanpa menolongan sama sekali dalam bentuk apapun dari PT Pelindo II.
4. Degradasi Pelsus Menjadi DUKS
Tahun 1996 dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 perihal
Kepelabuhanan yang ialah petunjuk pelaksanaan Bab VI Kepelabuhanan UU No. 21 tahun 1992 wacana Pelayaran. Dalam PP 70 1996 terdapat istilah BUP sebagai penyelenggara pelabuhan, yang selalu diartikan sebagai PT. Pelindo (meskipun dalam kenyataannya tidak ada secara tegas sebut bahwa BUP = PT. Pelindo). Poin terpenting lainnya yaitu pernyataan bahwa Pelsus berada diluar DLKR dan DLKP Pelabuhan Umum sudah dipelintir menjadi pengertian bahwa tiruana pelabuhan yang berada dalam DLKr / DLKp (SKB 1986) yaitu bukan pelsus. Hal inilah yang menjadi titik dasar terdegradasinya pelsus menjadi apa yang diistilahkan dengan DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri). Pada tahun 1998 terbit Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No. 26 / 1998 wacana Penyelenggaraan Pelabuhan Laut. Dalam KM 26 / 1998 inilah, status pelsus secara tegas terdegradasi menjadi DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri) dan hal ini tentunya berperihalan dengan UU No. 21 / 1992 wacana Pelayaran yang sebut bahwa spesialuntuk ada 2 (dua) jenis pelabuhan, yakni pelabuhan umum dan pelabuhan khusus.
Tahun 1996 dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 perihal
Kepelabuhanan yang ialah petunjuk pelaksanaan Bab VI Kepelabuhanan UU No. 21 tahun 1992 wacana Pelayaran. Dalam PP 70 1996 terdapat istilah BUP sebagai penyelenggara pelabuhan, yang selalu diartikan sebagai PT. Pelindo (meskipun dalam kenyataannya tidak ada secara tegas sebut bahwa BUP = PT. Pelindo). Poin terpenting lainnya yaitu pernyataan bahwa Pelsus berada diluar DLKR dan DLKP Pelabuhan Umum sudah dipelintir menjadi pengertian bahwa tiruana pelabuhan yang berada dalam DLKr / DLKp (SKB 1986) yaitu bukan pelsus. Hal inilah yang menjadi titik dasar terdegradasinya pelsus menjadi apa yang diistilahkan dengan DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri). Pada tahun 1998 terbit Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No. 26 / 1998 wacana Penyelenggaraan Pelabuhan Laut. Dalam KM 26 / 1998 inilah, status pelsus secara tegas terdegradasi menjadi DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri) dan hal ini tentunya berperihalan dengan UU No. 21 / 1992 wacana Pelayaran yang sebut bahwa spesialuntuk ada 2 (dua) jenis pelabuhan, yakni pelabuhan umum dan pelabuhan khusus.
5. Pemberlakuan Tarif Pelum Di Pelsus
Pada tahun 1997 terbit KM No. 28 / 1997 wacana Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Untuk Pelabuhan Laut. KM ini ialah petunjuk teknis dari PP 70/1996, dimana disebutkan pula bahwa tarif pada pelabuhan (umum) laut juga diberlakukan terhadap pelabuhan-pelabuhan khusus yang berada dalam DLKr / DLKp pelabuhan (umum) laut dimaksud.
Pada tahun 1997 terbit KM No. 28 / 1997 wacana Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Untuk Pelabuhan Laut. KM ini ialah petunjuk teknis dari PP 70/1996, dimana disebutkan pula bahwa tarif pada pelabuhan (umum) laut juga diberlakukan terhadap pelabuhan-pelabuhan khusus yang berada dalam DLKr / DLKp pelabuhan (umum) laut dimaksud.
6. Keharusan Bekerja Sama melaluiataubersamaini PT Pelindo
Kerancuan – kerancuan ini terus berkembang hingga pelsus juga diharuskan bekerja sama dengan penyelenggara pelabuhan umum (PT Pelindo). Kerja sama ini pada pada dasarnya mengatur wacana pertolongan pendapatan jasa kepelabuhanan antara PT Pelindo selaku penyelenggara pelabuhan laut (umum) dengan pengelola DUKS – DUKS di mana pemungutan jasa kepelabuhan dilakukan oleh PT Pelindo dan PT Pelindo membaginya sesuai dengan persentase di mana bemasukannya diatur dan diputuskan secara sepihak oleh PT. Pelindo (persentase dimaksud bervariasi dari mulai
50% hingga 100%). Jasa kepelabuhan yang dimaksud meliputi: uang labuh, uang tambat, dan uang demaga.
Kerancuan – kerancuan ini terus berkembang hingga pelsus juga diharuskan bekerja sama dengan penyelenggara pelabuhan umum (PT Pelindo). Kerja sama ini pada pada dasarnya mengatur wacana pertolongan pendapatan jasa kepelabuhanan antara PT Pelindo selaku penyelenggara pelabuhan laut (umum) dengan pengelola DUKS – DUKS di mana pemungutan jasa kepelabuhan dilakukan oleh PT Pelindo dan PT Pelindo membaginya sesuai dengan persentase di mana bemasukannya diatur dan diputuskan secara sepihak oleh PT. Pelindo (persentase dimaksud bervariasi dari mulai
50% hingga 100%). Jasa kepelabuhan yang dimaksud meliputi: uang labuh, uang tambat, dan uang demaga.
7. Penetapan Tarif Dilimpahkan Ke PT Pelindo
Pada Tahun 1999 sudah dikeluarkan KM 30/1999 wacana Mekanisme Penetapan Tarif dan Formulasi Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Pada Pelabuhan Yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Keputusan Menteri Perhubungan ini diberintikan pernyataan bahwa Direksi BUP, berhak memutuskan tarif atas Pelabuhan BUP (pelabuhan-pelabuhan umum yang diluar pengelolaan Kantor Wilayah Perhubungan). Hal ini secara terang sudah mempersembahkan wewenang sebagai regulator kepada Direksi PT. Pelindo untuk mengatur kepentingan umum dan memdiberi peluang monopoli kepada PT Pelindo sebagai satu – satunya BUP di negeri ini. Akhirnya KM tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Direksi PT Pelindo pada tahun 2000 wacana tarif di pelabuhan umum, dan juga diberlakukan pada tiruana pelabuhan khusus.
Pada Tahun 1999 sudah dikeluarkan KM 30/1999 wacana Mekanisme Penetapan Tarif dan Formulasi Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Pada Pelabuhan Yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Keputusan Menteri Perhubungan ini diberintikan pernyataan bahwa Direksi BUP, berhak memutuskan tarif atas Pelabuhan BUP (pelabuhan-pelabuhan umum yang diluar pengelolaan Kantor Wilayah Perhubungan). Hal ini secara terang sudah mempersembahkan wewenang sebagai regulator kepada Direksi PT. Pelindo untuk mengatur kepentingan umum dan memdiberi peluang monopoli kepada PT Pelindo sebagai satu – satunya BUP di negeri ini. Akhirnya KM tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Direksi PT Pelindo pada tahun 2000 wacana tarif di pelabuhan umum, dan juga diberlakukan pada tiruana pelabuhan khusus.
BAB III
POTENSI KELAUTAN INDONESIA
POTENSI KELAUTAN INDONESIA
A. Kondisi Geografis
LLuas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81.000 km dan formasi pulau-pulau sebanyak 17.508, mempunyai potensi ikan yang diperkirakan terdapat sebanyak 6.26 juta ton pertahun yang sanggup dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4.4 juta ton sanggup ditangkap di perairan Indonesia dan 1.86 juta ton sanggup diperoleh dari perairan ZEEI.
B. Perekonomian
Mulai membaiknya kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi 1997, maka volume perdagangan luar negeri juga semakin meningkat. Seiring dengan masa perdagangan bebas (AFTA, NAFTA, APEC, dll), kemudian lintas barang antar negara akan semakin padat dengan adanya tuntutan pembatalan kendala – kendala struktural di masing – masing negara. Hal ini menuntut saluran distribusi yang sanggup mendukung pergerakan barang tersebut secara efektif dan efisien. Kebutuhan atas saluran distribusi yang efektif dan efisien tentunya tidak terlepas dari kinerja sistem transportasi nasional, terutama sektor kepelabuhanan yang menjadi moda utama pergerakan barang melalui laut. Penataan sektor kepelabuhanan menjadi perhatian utama lantaran selama ini dinilai bahwa 30% biaya transportasi dihabiskan di pelabuhan lantaran kualitas pelayanan kepelabuhanan yang rendah (Bisnis Indonesia, 2003). Perkembangan alat angkut barang melalui laut yang lebih mutakhir ternyata masih belum diimbangi dengan pelayanan kepelabuhanan yang produktif dan efisien sehingga menurunkan daya saing produk – produk ekspor Indonesia.
Mulai membaiknya kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi 1997, maka volume perdagangan luar negeri juga semakin meningkat. Seiring dengan masa perdagangan bebas (AFTA, NAFTA, APEC, dll), kemudian lintas barang antar negara akan semakin padat dengan adanya tuntutan pembatalan kendala – kendala struktural di masing – masing negara. Hal ini menuntut saluran distribusi yang sanggup mendukung pergerakan barang tersebut secara efektif dan efisien. Kebutuhan atas saluran distribusi yang efektif dan efisien tentunya tidak terlepas dari kinerja sistem transportasi nasional, terutama sektor kepelabuhanan yang menjadi moda utama pergerakan barang melalui laut. Penataan sektor kepelabuhanan menjadi perhatian utama lantaran selama ini dinilai bahwa 30% biaya transportasi dihabiskan di pelabuhan lantaran kualitas pelayanan kepelabuhanan yang rendah (Bisnis Indonesia, 2003). Perkembangan alat angkut barang melalui laut yang lebih mutakhir ternyata masih belum diimbangi dengan pelayanan kepelabuhanan yang produktif dan efisien sehingga menurunkan daya saing produk – produk ekspor Indonesia.
C. Otonomi daerah
BBergulirnya masa otonomi daerah melalui terbitnya Undang – Undang (UU) No. 22 tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang No. 25 tahun 1999 wacana Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sudah membawa angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan otonomi daerah ini diharapkan sanggup membuat ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah dalam berbagi potensi dan keguakaragamannya guna mencapai kemakmuran masyarakat. Partisipasi masyarakat secara luas melalui desentralisasi, dekosentrasi dan prosedur pasar seharusnya dikedepankan menjadi orientasi dan prioritas pemerintah dalam impelementasi otonomi, selain akuntabilitas pemerintah itu sendiri.
Kebijakan otonomi daerah seharusnya juga diikuti oleh pergeseran paradigma kebijakan publik yang sangat mendasar. Bila sebelumnya pemerintah berperilaku ganda sebagai regulator dan operator (perencana, pemdiberi dana, pelaksana dan penilai), maka di masa otonomi daerah ini seharusnya kiprah pemerintah spesialuntuk sebagai regulator dan penentu standar mutu serta keselamatan umum. Peran pemerintah sebagai regulator diharapkan sanggup membuat pasar lebih luas (demand creation)dan memelihara iklim perjuangan yang sehat, aman dan kompetitif. Peran pemerintah sebagai penentu standar mutu dan keselamatan umum diharapkan bisa memelihara daya saing produk – produk Indonesia di dalam pasar domestik dan internasional serta melaksanakan pengawasan berkaitan dengan hal ikhwal keselamatan umum di pelabuhan.
Diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah mengakibatkan terjadinya perubahan tumpuan penyelenggaraan pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralistik melalui otonomi daerah. UU Otonomi daerah tersebut menyatakan wacana pemdiberian kewenangan yang luas, faktual dan bertanggung tanggapan kepada Daerah untuk mempersembahkan ruang yang lebih luas bagi kreativitas dan kemandirian Daerah dalam pengembangan potensinya demi kesejahteraan masyarakat. Kewenangan daerah yang dimaksud yaitu kewenangan sebagai daerah otonom yang antara lain mencakup wilayah laut dan bidang perhubungan, termasuk daerah pelabuhan.
BAB IV
ALALISIS SWOT DAN STRATEGI
KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA
ALALISIS SWOT DAN STRATEGI
KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA
A. Analisis SWOT
Kemungkinan kemajuan transportasi laut internasional di Indonesia sanggup dianalisis sebagai diberikut :
1. Strenght/kekuatan (faktor internal) :
a. Kondisi geografis Indonesia cukup strategis ;
b. Perbaikan perekonomian nasional ;
c. Otonomi daerah membawa semangat perbaikan kinerja.
a. Kondisi geografis Indonesia cukup strategis ;
b. Perbaikan perekonomian nasional ;
c. Otonomi daerah membawa semangat perbaikan kinerja.
2. Weakness/kelemahan (faktor internal) :
a. Investasi besar ;
b. Sumber Daya Manusia rendah ;
c. Sarana belum memadai ;
d. Pramasukana kurang memadai ;
e. Kebijakan Pemerintah/ Penegakan aturan kurang memadai ;
f. Monopoli Perusahaan.
a. Investasi besar ;
b. Sumber Daya Manusia rendah ;
c. Sarana belum memadai ;
d. Pramasukana kurang memadai ;
e. Kebijakan Pemerintah/ Penegakan aturan kurang memadai ;
f. Monopoli Perusahaan.
3. Opportunity/Peluang (faktor eksternal) :
a. Pangsa pasar besar ;
b. Kondisi perdagangan dunia meningkat ;
c. Deregulasi dan debirokratisasi.
a. Pangsa pasar besar ;
b. Kondisi perdagangan dunia meningkat ;
c. Deregulasi dan debirokratisasi.
4. Threat/ancaman (faktor eksternal) :
a. Persaingan dengan perusahaan gila ;
b. Citra negatif perusahaan Indonesia dimata internasional.
a. Persaingan dengan perusahaan gila ;
b. Citra negatif perusahaan Indonesia dimata internasional.
melaluiataubersamaini mempersembahkan nilai positif untuk kekuatan dan peluang, sedangkan negatif untuk kelemahan dan ancaman, maka sanggup digambarkan dalam tabel sebagai diberikut :
INTERNAL
EKSTERNAL KEKUATAN
3 KELEMAHAN
6
EKSTERNAL KEKUATAN
3 KELEMAHAN
6
KESEMPATAN
3 6 9
ANCAMAN
2 1 8
3 6 9
ANCAMAN
2 1 8
*) Keterangan : nilai terbesar 9
Memperhatikan tabel diatas, maka upaya yang sebaiknya dilakukan yaitu perbaikan ke dalam (internal) yaitu dengan mengurangi kelemahan (weakness) yang ada.
B. Upaya Peningkatan Transportasi Laut Internasional.
Upaya yang sanggup dilakukan untuk meningkatkan transportasi laut internasional Indonesia dengan cara mengurangi kelemahan yang ada sebagai diberikut :
1. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dengan pendidikan dan petes yang diselenggarakan pemerintah atau perusahaan ;
2. menyediakan Sarana yang memadai ;
3. menyediakan Pramasukana yang memadai ;
4. Kebijakan Pemerintah/ Penegakan aturan yang baik ;
5. menghilangkan Monopoli Perusahaan termasuk tarif.
6. mencari dan berhubungan dengan Investor yang mau menginvestasikan usaspesialuntuk baik investor lokal maupun gila ;
2. menyediakan Sarana yang memadai ;
3. menyediakan Pramasukana yang memadai ;
4. Kebijakan Pemerintah/ Penegakan aturan yang baik ;
5. menghilangkan Monopoli Perusahaan termasuk tarif.
6. mencari dan berhubungan dengan Investor yang mau menginvestasikan usaspesialuntuk baik investor lokal maupun gila ;
C. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Kelautan .
Peningkatan kinerja transportasi laut internasional di Indonesia sanggup dilakukan sejalan dengan semangat otonomi daerah. Berikut ini yaitu beberapa seni administrasi yang sanggup dilaksanakan oleh pemerintah daerah :
1. Deregulasi Kepelabuhanan.
Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No.22/1999 wacana otonomi daerah, maka pemerintah kota / kabupaten mempunyai kewenangan di wilayah laut, sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi. Kewenangan di wilayah laut ini meliputi: ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan aturan terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah dan menolongan menolongan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Mengingat tatatan kepelabuhanan terkait dengan tata ruang di wilayah laut, maka pemerintah kota / kabupaten berwenang untuk menyusun master plan kepelabuhanannya sebagai pecahan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RUTW) daerah.
2. Menghindari Monopoli sektor Kepelabuhanan.
sepertiyang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa reformasi penyelenggaraan pemerintahan melalui otonomi, desentralisasi dan dekosentrasi tentunya juga harus mengubah paradigma kebijakan publik semoga menjadi lebih diterima oleh pasar (market friendly). Usaha untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, serta peningkatan kiprah serta masyarakat sebagaimana hakekat dari otonomi daerah juga terkait dengan tuntutan atas peluang berusaha yang lebih luas dan adil melalui larangan praktik – praktik monopoli dan persaingan perjuangan yang tidak sehat. Kebijakan – kebijakan tersebut sesuai dengan UU No. 5 / 1999 wacana Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 / 1999 menyatakan bahwa “pelaku perjuangan dihentikan melaksanakan penguasaan atas produksi dan atau pemamasukan barang dan atau jasa yang sanggup mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan perjuangan tidak sehat”. Praktik monopoli sebagaimana dimaksud dalam undang – undang tersebut mengisyaratkan adanya penguasaan produk – produk dan atau pemamasukan atas barang dan atau jasa oleh pelaku perjuangan tertentu sehingga mengakibatkan pelaku perjuangan lain tidak sanggup masuk ke dalam persaingan perjuangan barang dan atau jasa yang sama, satu pelaku perjuangan atau satu kelompok menguasai lebih dari 50 % (lima puluh prosen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu serta merugikan kepentingan umum.
Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 / 1999 menyatakan bahwa “pelaku perjuangan dihentikan melaksanakan penguasaan atas produksi dan atau pemamasukan barang dan atau jasa yang sanggup mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan perjuangan tidak sehat”. Praktik monopoli sebagaimana dimaksud dalam undang – undang tersebut mengisyaratkan adanya penguasaan produk – produk dan atau pemamasukan atas barang dan atau jasa oleh pelaku perjuangan tertentu sehingga mengakibatkan pelaku perjuangan lain tidak sanggup masuk ke dalam persaingan perjuangan barang dan atau jasa yang sama, satu pelaku perjuangan atau satu kelompok menguasai lebih dari 50 % (lima puluh prosen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu serta merugikan kepentingan umum.
3. Upaya Membangun Iklim Usaha Yang Kondusif.
Pengaturan tatanan kepelabuhanan sebagaimana dalam PP No. 70 / 1996 (maupun PP No. 69 / 2001), selain tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah, juga masih kental dengan fenomena monopolistik penyelenggaraan kepelabuhanan yang dihentikan oleh UU No. 5 / 1999 wacana Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengelolaan kepelabuhanan melalui “manajemen tunggal “ oleh satu BUP sudah membuat kinerja pelayanan kepelabuhanan di Indonesia ikut berperan dalam menimbulkan high cost economy. Hasil kajian wacana perlunya persaingan yang sehat di bidang kepelabuhanan dan optimalisasi daya guna pelsus – pelsus sudah dipublikasikan oleh Asian Development Bank (ADB) pada bulan Agustus 2001 terkena Deregulasi Pelabuhan Khusus di Indonesia.
4. Sumber Daya Manusia
Menurut Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto MS Guru Besar Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Kebijakan lain yang tak kalah penting yaitu mengalokasikan pendanaan untuk pendidikan kelautan dari tingkat menengah hingga pendidikan tinggi melalui APBN, sesuai amanat hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pengembangan sekolah-sekolah kejuruan kemaritiman di beberapa wilayah Indonesia yang berbasiskan kelautan dengan jurusan transportasi laut di dalamnya perlu mendapat prioritas.
Balai Latihan Kerja (BLK) Maritim perlu direvitalisasi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya insan (SDM) yang bersifat teknis dalam bidang permesinan, perbengkelan, dan galangan kapal. Pengembangan selanjutnya yaitu pendidikan tinggi kemaritiman minimal hingga strata dua. Ada baiknya digalang kolaborasi antara Institut Kelautan Indonesia (IKI) dan lembaga-lembaga internasional yang berkompetensi dalam sertifikasi tenaga kerja di bidang kelautan. melaluiataubersamaini demikian, kualitas SDM Indonesia diakui secara internasional dan berdaya saing tinggi di masa pasar global.
Menurut Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto MS Guru Besar Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Kebijakan lain yang tak kalah penting yaitu mengalokasikan pendanaan untuk pendidikan kelautan dari tingkat menengah hingga pendidikan tinggi melalui APBN, sesuai amanat hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pengembangan sekolah-sekolah kejuruan kemaritiman di beberapa wilayah Indonesia yang berbasiskan kelautan dengan jurusan transportasi laut di dalamnya perlu mendapat prioritas.
Balai Latihan Kerja (BLK) Maritim perlu direvitalisasi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya insan (SDM) yang bersifat teknis dalam bidang permesinan, perbengkelan, dan galangan kapal. Pengembangan selanjutnya yaitu pendidikan tinggi kemaritiman minimal hingga strata dua. Ada baiknya digalang kolaborasi antara Institut Kelautan Indonesia (IKI) dan lembaga-lembaga internasional yang berkompetensi dalam sertifikasi tenaga kerja di bidang kelautan. melaluiataubersamaini demikian, kualitas SDM Indonesia diakui secara internasional dan berdaya saing tinggi di masa pasar global.
5. Pendanaan.
Aspek diberikutnya yaitu pendanaan (financial). Kebijakan kelautan yang dianjurkan dalam aspek pendanaan yaitu mengeluarkan paket insentif berupa kredit perbankan yang diperuntukkan bagi pengadaan armada transportasi laut, biaya operasional, dan biaya perawatan, sehingga pengusaha pelayaran nasional sanggup mempunyai armada sendiri dan tidak kedodoran. Untuk itu, perlu dikembangkan dukungan kelembagaan keuangan yang menunjang pengembangan armada transportasi laut nasional.
melaluiataubersamaini adanya kebijakan-kebijakan kelautan semacam itu, diharapkan sektor transportasi laut bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hanya dengan cara ini, Indonesia sebagai bangsa maritim yang menganut prinsip negara kepulauan sesuai dengan Wawasan Nusantara akan semakin dihormati masyarakat internasional.
Aspek diberikutnya yaitu pendanaan (financial). Kebijakan kelautan yang dianjurkan dalam aspek pendanaan yaitu mengeluarkan paket insentif berupa kredit perbankan yang diperuntukkan bagi pengadaan armada transportasi laut, biaya operasional, dan biaya perawatan, sehingga pengusaha pelayaran nasional sanggup mempunyai armada sendiri dan tidak kedodoran. Untuk itu, perlu dikembangkan dukungan kelembagaan keuangan yang menunjang pengembangan armada transportasi laut nasional.
melaluiataubersamaini adanya kebijakan-kebijakan kelautan semacam itu, diharapkan sektor transportasi laut bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hanya dengan cara ini, Indonesia sebagai bangsa maritim yang menganut prinsip negara kepulauan sesuai dengan Wawasan Nusantara akan semakin dihormati masyarakat internasional.
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
Dari kajian pada pecahan sebelumnya, sanggup disimpulkan hal-hal sebagai diberikut :
1. Kondisi transportasi laut internasional Indonesia masih memprihantinkan lantaran sebagian besar dikuasai pihak gila ;
2. Untuk memajukan transportasi laut indonesia, diharapkan upaya untuk mengurangi kelemahan yang ada mirip menyediakan masukana, pramasukana dan sumber daya insan didukung dengan pendanaan.
3. Sangatlah bijaksana apabila kebijakan persaingan perjuangan kepelabuhanan dikembangkan lantaran akan memicu perbaikan pelayanan, efisiensi biaya dan peralatan dengan cara menghilangkan monopoli ;
4. Otonomi daerah sanggup dipandang sebagai kekuatan gres dalam mereorganisir atau menata ulang birokrasi penyelenggaraan transportasi di Indonesia.
2. Untuk memajukan transportasi laut indonesia, diharapkan upaya untuk mengurangi kelemahan yang ada mirip menyediakan masukana, pramasukana dan sumber daya insan didukung dengan pendanaan.
3. Sangatlah bijaksana apabila kebijakan persaingan perjuangan kepelabuhanan dikembangkan lantaran akan memicu perbaikan pelayanan, efisiensi biaya dan peralatan dengan cara menghilangkan monopoli ;
4. Otonomi daerah sanggup dipandang sebagai kekuatan gres dalam mereorganisir atau menata ulang birokrasi penyelenggaraan transportasi di Indonesia.