-->
Sinergi Pengelolaan Sumber Kekayaan Alam Di Maritim Yang Diharapkan
Pembangunan Kelautan bukanlah sektor tunggal melainkan multi sektor dan multi fungsi, sehingga dalam memanfaatkannya diharapkan sinergi antar pengelola sumber kekayaan alam (SKA) di bahari dan koordinasi lintas sektoral yang terkait dan kompeten di bidang kelautan. Ditinjau dari geopolitik dan geostrategis, pengelolaan kelautan ini sangat logis kalau dijadikan referensi dalam sektor pembangunan ekonomi nasional. Namun ironisnya, dalam Pembangunan Daerah ataupun Pembangunan Nasional remaja ini, sektor-sektor tersebut masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector), dibuktikan dari masih  rendahnya tingkat memanfaatkan sumber daya, penerapan teknologi serta hampir meratanya tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat kelautan terutama nelayan. melaluiataubersamaini demikian, kalau potensi sumber daya kelautan ini dikelola secara sinergi (terpadu) antar komponen pengelola terkait, proporsional, terpola dan terkendali, akan mendorong perwujudan konsepsi Wawasan Nusantara yang bertumpu pada upaya membangun budaya waspada bangsa.
Pembangunan Kelautan bukanlah sektor tunggal melainkan multi sektor dan multi fungsi, sehingga dalam memanfaatkannya diharapkan sinergi antar pengelola sumber kekayaan alam (SKA) di bahari dan koordinasi lintas sektoral yang terkait dan kompeten di bidang kelautan. Ditinjau dari geopolitik dan geostrategis, pengelolaan kelautan ini sangat logis kalau dijadikan referensi dalam sektor pembangunan ekonomi nasional. Namun ironisnya, dalam Pembangunan Daerah ataupun Pembangunan Nasional remaja ini, sektor-sektor tersebut masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector), dibuktikan dari masih  rendahnya tingkat memanfaatkan sumber daya, penerapan teknologi serta hampir meratanya tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat kelautan terutama nelayan. melaluiataubersamaini demikian, kalau potensi sumber daya kelautan ini dikelola secara sinergi (terpadu) antar komponen pengelola terkait, proporsional, terpola dan terkendali, akan mendorong perwujudan konsepsi Wawasan Nusantara yang bertumpu pada upaya membangun budaya waspada bangsa. Tidak menutup kemungkinan, kekeliruan kebijakan dalam pengelolaan SKA di bahari ini justru akan menimbulkan gejolak sosial antar Daerah terutama meruncingnya kesentidakboleh kesejahteraan masing-masing Daerah (Toto Pandoyo, 1994). Keberhasilan pembangunan termasuk bantuan sektor kelautan secara eksklusif sanggup meningkatkan pertumbuhan ekonomi Daerah, terutama mempersembahkan kesejahteraan (prospherity) dan keamanan (security). Sementara ini, pengelolaan SKA di bahari sudah mempersembahkan bantuan terhadap APBN 2004 sebesar Rp 0,6 Trilliun dari sektor perikanan, Rp 1,6 Trilliun dari sumber daya mineral, Rp 28 Trilliun dari subsektor minyak bumi dan Rp 15,7 Trilliun dari gas alam (Purnomo Yusgiantoro, 2004).  Kontribusi masing-masing sektor ini masih berpeluang untuk ditingkatkan terutama melalui sinergi antar pengelola dan penerapan teknologi yang tepat.
Prospek Pengelolaan Sumber Kekayaan Alam
Prospek pengelolaan SKA di lepas pantai semakin mempersembahkan peluang mengingat ditemukannya indikasi gres potensi ”mineral hidrotermal” di dasar bahari dalam (Lili Sarmili, 2002; Subaktian Lubis 2002; dan Halbach, 2003).  Pembentukan sumber daya mineral hidrotermal   dipengaruhi oleh aktivitas magmatisme di dasar laut. Indikasi adanya hydrothermal deposit di perairan Indonesia ditemukan di perairan Sulawesi Utara, Selat Sunda dan perairan Wetar (pegunungan api bawah bahari Komba, Abang Komba, dan Ibu Komba).  Para hebat geologi kelautan menaruh perhatian dan impian lantaran diyakini bahwa lubang hidrothermal ini membawa larutan mineral yang selanjutnya mengpertamai proses mineralisasi pada suatu cebakan mineral dasar laut, terutama mineral oksida emas (dengan ciri adanya white smoker) dan tembaga (dengan ciri adanya black smoker).
SKA lainnya yang masih dalam tahapan eksplorasi ialah memanfaatkan ”gas biogenik”. Gas biogenik ialah salah satu sumber energi alternatif yang relatif murah, membersihkan lingkungan dan praktis dikelola.  Pemetaan geologi kelautan sistematik di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat Madura yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral semenjak tahun 2001-2004 menunjukkan indikasi sumber gas biogenik yang terperangkap pada sedimen Holocene. Lapisan pembawa gas ini umumnya ditemukan pada kedalaman antara 20-50 m di bawah dasar laut. Pemetaan secara horizontal menawarkan bahwa hampir seluruh daerah perairan dangkal terutama di muara sungai-sungai purba ditemukan indikasi sedimen mengandung gas (gas charged sediment) yang diduga ialah akumulasi gas biogenik yang berasal dari maturasi flora rawa purba yang tertimbun sedimen Resen. Gas biogenik ini umumnya didominasi oleh gas methan (CH4) yang dikenal sebagai salah satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan (Qilun Yang, 1995).
Sinergi Pengelolaan Yang Ideal
Dalam Kamus American Websters Dictionary, istilah Synergy didefinisikan sebagai ”cooperative interaction among group especially among the acquired subsidiary or merged parts of a corporation that creates an enhanced combined effect” yang mengandung arti spesialuntuk dengan interaksi yang kooperatif maka hasil terbaik sanggup dicapai. Menurut Doctoroff (1977), persyaratan utama bagi suatu sistem yang sinergi yang ideal ialah kepercayaan, komunikasi yang efektif, umpan balik yang cepat, dan kreativitas. Dalam makna lainnya, sinergi ialah suatu sumber kekuatan organisasi yang ampuh, bahkan sering dipakai untuk menunjukkan perbedaan antara sukses dan kegagalan.
Teori sinergi (synergy) mengacu pada Gaya Manajemen Sinergik dalam organisasi yaitu senantiasa membuat serasi (Salusu, 2004). Landasan Teori peningkatan sinergi pengelolaan SKA di bahari mengacu pada konsep “competitive advantage, creating and sustaining performance”, sedangkan prinsip yang dikembangkan mengacu pada prinsip dasar kompetisi yang bertumpu pada perkembangan lingkungan strategis.  Dalam istilah manajemen, sinergi diartikan bersaing dengan lebih baik dari yang diharapkan untuk meraih keunggulan kompetitive  (competitive advantage) yang standar. melaluiataubersamaini demikian, maka secara eksklusif sinergi atau kemitraan kerja antar komponen pengelola SKA di bahari akan tumbuh menjadi wadah sinergi yang efisien; berkarakter; fleksibel dan inovatif. Oleh lantaran itu, wadah sinergi sebagai ciri kerjasama kemitraan harus senantiasa dikembangkan secara dinamis sesuai dengan konsep “learning organization” mengikuti ekspresi dominan atau perkembangan lingkungan strategis (Senge, 1996).
Silower (1998) dalam buku ”Synergy Trap” mengemukakan dasar-dasar sinergi yang terdiri dari visi strategis, taktik budaya, kekuasaan dan budaya, integrasi sistem dan investasi pertama untuk memperoleh imbalan sebagai premium. Keempat komponen itu mewakili unsur-unsur utama dari suatu taktik kerjasama atau kemitraan yang harus berada pada posisinya. Dalam hal ini, komponen sinergi yang dimaksud dikelompokkan menjadi antar Pemerintah Pusat dan Daerah, antar penerapan teknologi, antar Stakeholder, antar pengelola Wilayah Garapan/Kerja dan antar Sektor Pembangunan terkait.  Dalam konteks keterkaitan masing-masing dasar sinergi, berlaku bahwa kalau salah satu dari keempat dasar ini tidak ada pada ketika kesepakatan kerjasama dilakukan, maka sinergipun akan menjadi ”perangkap”, premium kemungkinan mewakili kerugian total bagi komponen sinergi. Walaupun demikian, berkenaan dengan kondisi-kondisi persaingan ini, dasar-dasar sinergi ini perlu diterapkan tetapi bukan satu-satunya ”komponen yang menentukan” untuk menjamin perncapaian peningkatan kinerja.
Kendala Sinergi Pengelolaan
Sehubungan dengan cukup berlimpahnya potensi SKA di bahari dan implementasi UU No. 22/1999 (sudah direvisi menjadi UU 32/2004) ihwal Pemerintahan di Daerah, maka dalam  implikasi positif sinergi pengelolaan sumber kekayaan alam di bahari terhadap Pembangunan Daerah akan membawa dua konsekuensi penting yaitu: pertama, bagaimanapun juga Daerah dituntut untuk bisa mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi sumber daya kelautan, semoga tersedia data akurat ihwal potensi sumber kekayaan bahari di wilayah laut  kewenangannya; dan kedua, Daerah juga dituntut secara cepat sanggup mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).  Dalam hal ini, desentralisasi kewenangan ini berarti mempersembahkan peluang diangkatnya kembali nilai-nilai kearifan lokal yang dianut masyarakat daerah dalam mengelola sumber daya alam di laut.
Selain itu, dalam perjuangan meningkatkan sinergi pengelolaan SKA ini sudah diidentifikasi banyak sekali hambatan yang dihadapi yaitu kesentidakboleh yang terjadi antara kondisi sinergi faktual ketika ini dengan kondisi ideal yang diharapkan. Kendala-kendala tersebut adalah:
a.Belum tersediannya Undang Undang Kebijakan Kelautan Nasional (ocean policy) sebagai pola yang terang dan tegas. Kebijakan kelautan ialah payung legitimasi yang berfungsi sebagai instruksi operasional ihwal pengelolaan perairan Indonesia dan dipakai sebagai pola sektor-sektor terkait, antar Pemerintah Pusat dan Daerah, antar Stakeholder, antar penerapan teknologi dan antar Wilayah Garapan / Wilayah Kerja dalam menyusun sinergi pengelolaan sumber kekayaan alam.
b.Masih terbatasnya kemampuan sumber daya insan dan penguasaan iptek kelautan, menimbulkan ketergantungan iptek pada negara lain. Masih lemahnya penguasaan iptek kelautan dalam pengelolaan lingkungan bahari juga masih dikalahkan oleh kuatnya efek issu lingkungan yang berlebihan sehingga menghambat iklim investasi komoditi kelautan.
c.Terbatasnya data dan gosip kelautan dalam format standar Geographic Information System (GIS) terutama data potensi rinci sebagai referensi dalam berbagi dan merencanakan pengelolaan memanfaatkan sumber kekayaan alam di laut.
d.Sektor kelautan dirasakan masih sebagai sektor pinggiran (periperal sektor) sehingga belum mendapat prioritas yang proporsional dalam Pembangunan Daerah dan Pembangunan Nasional.
e.Luasnya perairan Indonesia (3,2 juta km2) disamping ialah wilayah yang berpotensi kekayaan alam juga ialah kelemahan dalam ”span of control” bidang komunikasi, transportasi dan pengendalian sistem pemerintahan yang rawan terhadap banyak sekali ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG).
Disisi lain, efek perkembangan lingkungan strategis terutama global, regional dan nasional sudah membawa konsekuensi tersendiri terhadap kecerdikan dalam meningkatkan sinergi pengelolaan SKA di laut. Dampak globalisasi yang paling besar lengan berkuasa ialah munculnya ketidakpastian (uncertainty), kompleksitas (complexity), dan kompetisi (competition). Oleh lantaran itulah, globalisasi disamping mempersembahkan dampak negatif juga mempersembahkan peluang kalau dimanfaatkan sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing bangsa.  Pergeseran kekuatan politik dunia dari bipolar menjadi multipolar pasca perang dingin, sudah berdampak pada situasi yang berubah sangat cepat dan susah untuk diprediksi. Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 sudah berdampak luas terhadap solidaritas negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN), lantaran masing-masing negara anggota lebih mencurahkan perhatian serta upaya-upaya penanggulangan untuk mengatasi krisis di dalam negerinya masing-masing. Perkembangan lingkungan strategis di dalam negeri ialah indikator mulai bangkitnya semangat dan tekad Daerah untuk membangun daerahnya, sesuai amanat Undang Undang No. 32/2004 ihwal Pemerintahan Daerah. 
Sinergi Pengelolaan Yang Diharapkan
Mengacu pada data faktual dan kasatmata baik pengelolaan sumber kekayaan alam hayati ataupun non-hayati, sumber daya yang terpulihkan ataupun yang tidak terpulihkan, maka kondisi sinergi pengelolaan SKA di bahari yang diharapkan ialah terwujudnya visi pembangunan kelautan yang mengedepankan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.  Secara keseluruhan Kondisi sinergi pengelolaan yang diharapkan ialah sebagai diberikut:
a.  Terwujudnya sinergi antar Pemerintah Pusat dan Daerah Yang Berbasis Kesetaraan
Tingkat sinergi pengelolaan antar Pemerintah Pusat dan Daerah yang diharapkan ialah kerjasama yang saling menunjang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Adanya tumpang tindih kewenangan yang menjadi hambatan dalam optimalisasi pengelolaan, seyogianya diselesaikan menurut aturan yang berlaku namun dalam koridor persatuan dan kesatuan NKRI. Dalam hal ini konsep kesetaraan dalam pengelolaan dan memanfaatkan sumber kekayaan alam di bahari diharapkan akan membangkitkan semangat kebersamaan. Adanya kesentidakboleh yang dialami Daerah dalam pengalihan kewenangan pengelolaan terutama berkaitan dengan sistem kontrak generasi usang hendaknya diselesaikan secara elegan, dimana kontrak ini harus senantiasa dihormati namun kepentingan daerah juga harus diutamakan, sehingga Daerahlah yang akan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Kebijakan Daerah yang dikeluarkan untuk tujuan pengaturan semoga lebih mempersembahkan ”win-win solution” hendaknya dihentikan berperihalan dengan isi kontrak yang sudah ditanhadirani bersama, hal ini untuk menghindari adanya tuntutan arbitrase akhir perselisihan pelanggaran kontrak.
b.  Tercapainya  sinergi  antar Penerapan Teknologi yang Bertumpu pada Kekuatan Bangsa Sendiri
Sinergi penerapan teknologi oleh masing-masing sektor ialah salah satu kunci keberhasilan pembangunan, lantaran keterpaduan dalam penerapan teknologi pengelolaan akan menghasilkan luaran yang jauh berlipat ganda dibandingkan kalau dilaksanakan secara sendiri-sendiri.  Keterpaduan penerapan teknologi ini ialah cerminan akan tingkat kerjasama ilmiah yang berkarakter akademis. Kondisi yang diharapkan ialah sinergi penerapan teknologi  yang menimbulkan lepasnya ketergantungan yang tinggi kepada negara lain. Penyeragaman penerapan teknologi diharapkan akan mengurangi ketergantungan masing-masing sektor terhadap teknologi asing, dengan memakai kekuatan teknologi bangsa sendiri diharapkan akan terjadi saling keterikatan antar pengguna teknologi sehingga akan memperkokoh sinergi pengelola. Selain itu, penerapan teknologi yang tidak seragam menimbulkan ketergantungan teknologi absurd baik software maupun hardware termasuk sparepart. Sebagai contoh ialah penerapan DOS System IBM compatible, Machintos, Lynux, dsb. Hal yang sama dengan penerapan Sistem Informasi Geografis (GIS) pada peta-peta tematik kelautan akan mempergampang saluran dalam memperoleh Informasi secara cepat dan akurat. Walaupun kondisi penguasaan teknologi pengelolaan sumber kekayaan bahari masih belum cukup memadai tetapi upaya-upaya untuk menerapkannya sudah mulai dirintis dan dilaksanakan. melaluiataubersamaini demikian, diharapkan bahwa sinergi penerapan teknologi dalam mengelola sumber kekayaan alam di bahari ini akan menjadi pengikat sinergitas untuk kerjasama lintas sektoral lainnya.
c.   Meningkatnya     Sinergi          Antar    Sektor    Pembangunan    Terkait   yang   Berbasis    pada    Pembangunan Berkelanjutan
Peningkatan sinergi lintas sektor pembangunan dalam pengelolaan sumber kekayaan bahari terutama yang terkait, kompeten dan memiliki kepentingan ialah impian yang harus diwujudkan bersama. Kelemahan masa kemudian dimana masing-masing sektor pembangunan melakukan pengelolaan SKA di bahari spesialuntuk bertumpu pada kepentingan sektornya saya akan segera dihapuskan dan digantikan dengan konsepsi sinergi lintas sektor pembangunan yang saling terikat, terintegrasi dan saling menunjang. Diharapkan, sinergi lintas sektoral ini akan menghasilkan hasil luaran yang berlipat ganda. Konsepsi ”one data for all” ialah upaya untuk memangkas biaya inventarisasi data kelautan sehingga sanggup dipakai secara bersama-sama.
Untuk mencapai impian terwujudnya peningkatan sinergi pengelolaan SKA di bahari ini maka perlu wacana yang sanggup menampung banyak sekali kepentingan. Salah satu wacana yang diharapkan ialah terbentuknya semacam lembaga Koordinator atau Dewan Kelautan yang lebih bersifat operasional, sehingga lebih praktis untuk melakukan koordinasi dan sinergi secara metode. melaluiataubersamaini demikian, maka peta kekuatan pengelola sumber daya kelautan ini akan terpetakan secara lebih rinci, sehingga lebih praktis dalam menyusun prioritas perencanaan pengelolaan yang diarahkan pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
d.  Terjalinnya  sinergi  Antar Stakeholder Pengelola SKL yang Berbasis Saling  Menguntungkan
Sinergi antar stakeholder yang bergerak dalam pengelolaan sumber kekayaan bahari ini mencakup investor (pengusaha), pemerintah, dan masyarakat yang secara eksklusif menjadi pelaku pengelolaan. Kondisi sinergi antar Stakeholder pengelola yang diharapkan ialah terwujudnya sinergi antar stakeholder dalam suatu ikatan kerjasama yang saling menguntungkan dengan konsepsi yang jelas, sistematik dan terencana. melaluiataubersamaini demikian, konsepsi kemitraan saling menguntungkan sanggup diterapkan secara menyeluruh sehingga aktivitas masing-masing stakeholder ini lebih berorientasi pada kepentingan bersama dan saling menunjang dalam wadah konsorsium yang sehat dan dinamis, serta mengikut sertakan seluruh masyarakat kelautan termasuk organisasi profesi ibarat ISOI, HAGI, IAGI, IATMI, MAPIN, PERHAPI, Himpunan Nelayan Indonesia (HNI), dsb.
Kepentingan masyarakat di daerah lebih diprioritaskan dan diarahkan semoga memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, sehingga dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Stakeholder sebagai belahan dari masyarakat. Konsep sinergi antar stakeholder ini akan mempersembahkan manfaat yang besar bagi para stakeholder dan juga masyarakat akan mendapat manfaat atas aktivitas yang dilaksanakan baik secara eksklusif melalui keterlibatan dalam aktivitas pengelolaan ataupun secara tidak eksklusif melalui hasil-hasil pembangunan di daerah.
e.  Terbinanya  sinergi  anta  Pengelolaan  Wilayah Garapan/Wilayah Kerja yang Berwawasan Lingkungan
Sinergi pengelolaan Wilayah Garapan sumber kekayaan alam di bahari masih manjadi masalah berkepantidakboleh, lantaran wilayah pengelolaan sumber kakayaan alam di bahari melibatkan wilayah perairan yang relatif sangat luas dan susah dikadasterkan (dipilah-pilah sebagai peta tematik). Sebagai contoh Wilayah pengelolaan perikanan tangkap (9 wilayah kadaster) atau wilayah garapan hayati terutama ikan tangkap menunjukkan wilayah yang selalu tumpang tindih, lantaran dinamisnya pergerakan ikan-ikan tangkap tersebut. Hal ini terjadi lantaran wilayah penangkapan ikan ini biasanya dinamis tergantung dari posisi kelompok ikan yang menjadi samasukan penangkapan. melaluiataubersamaini demikian, penangkapan ikan secara operasional tidak sanggup dibatasi oleh batas wilayah garapan lantaran ialah sumber kekayaan alam yang dinamis. Sebaliknya, Wilayah Kerja pengelolaan ibarat pasir timah, kromit, “mineral hidrotermal” atau “gas biogenik” di dasar bahari dibatasi oleh wilayah kerja yang statis dan menetap.
Sinergi pengelolaan wilayah garapan menyangkut wilayah andalan yaitu yang memiliki potensi sumber kekayaan alam non-hayati ibarat migas dan sumber daya mineral dasar bahari juga tidak terlepas dari batas wilayah garapan/wilayah kerja, namun lantaran sifat keberadaan potensi non-hayati ini statis maka sanggup secara tegas dipetakan batas-batasnya pada peta wilayah kerja. Namun demikian, dalam aktivitas pengelolaan sumber kekayaan alam di bahari ini harus senantiasa memelihara pelestarian lingkungan laut. Wilayah konservasi yang ialah wilayah garapan yang terlarang untuk dimanfaatkan dan wilayah pengelolaan tradisional yang dikelola oleh penduduk setempat secara tradisional, diharapkan memiliki kecerdikan tersendiri lantaran memanfaatkannya terbatas pada kebutuhan hidup sehari-hari sehingga harus mendapat prioritas tersendiri.
melaluiataubersamaini demikian, sinergi pengelolaan sumber kekayaan alam di bahari ini,  diharapkan akan menghasilkan luaran yang signifikan terutama mempersembahkan tugas yang lebih leluasa kepada Pemda dan Stakeholder dalam memanfaatkan SKA di bahari namun dengan tetap memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam hal ini, nuansa konsepsi sinergi antar pengelola SKA di bahari ini lebih ditekankan pada tugas pemerintah sebagai regulator dan fasilitator untuk memprakarsai peningkatan banyak sekali kerjasama antar banyak sekali komponen pengelola SKA di bahari terutama antar pemerintah Pusat dan Daerah, lembaga-lembaga yang kompeten, Stakeholder, dan masyarakat kelautan. Tentu saja dalam implementasinya diharapkan banyak sekali regulasi sebagai payung aturan sehingga sinergi sanggup dilaksanakan tanpa hambatan legitimasi.
Penutup
Sebagai intisari bahasan ihwal sinergi pengelolaan SKA di Laut, maka sanggup dikemukakan beberapa kesimpulan, diantaranya:
Pertama, Potensi sumber daya kelautan baik hayati maupun non-hayati ini kalau dikelola secara sinergi (terpadu), proporsional, terpola dan terkendali akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi Daerah secara signifikan dan diharapkan sanggup mempersembahkan santunan terhadap keberhasilan Pembangunan Daerah. Keberhasilan Pembangunan Daerah termasuk bantuan sektor kelautan sanggup meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, terutama dalam mempersembahkan kesejahteraan dan keamanan rakyat sehingga bisa memelihara Ketahanan Daerah yang ialah referensi kekuatan dalam memelihara mantapnya integritas NKRI.
Kedua, Perlu melakukan penguatan kelembagaan koordinasi kelautan yang kompeten, lebih operasional dan lebih berorientasi pada memanfaatkan SKA di bahari yang berwawasan lingkungan dengan cara membangun kemitraan dan kerjasama seluruh komponen pengelola sumber kekayaan alam di bahari melalui penataan kembali lembaga koordinasi lembaga non formal dan independen. Selain itu, diharapkan konsepsi kebijakan kelautan (ocean policy) tingkat nasional yang akan menjadi pola bagi masing-masing sektor dalam melakukan konsep pembangunan berkelanjutan dengan cara mengikutsertakan seluruh komponen pembangunan ibarat Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, sektor pembangunan, dan Stakehoder sebagai pelaku pengelolaan sumber kekayaan alam, melalui penataan kembali forum-forum masyarakat kelautan Indonesia.
Ketiga, Peningkatan sinergi antar Pemerintah Pusat dan Daerah yang berbasis kesetaraan membawa konsekuensi penting yaitu Daerah dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi sumber daya kelautan, dan Daerah juga dituntut secara cepat mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). melaluiataubersamaini demikian, tantangan sinergi pengelolaan SKA di bahari ialah meningkatkan daya saing pengelolaan sumber kekayaan bahari dari ”comparative advantages” menjadi ”competitive advantages”  melalui cara yang elegan.
Keempat, Pembangunan kelautan di Daerah ialah belahan dari Pembangunan Nasional dengan desentralisasi sebagai belahan integralnya. Hal ini akan membangkitkan partisipasi mayarakat di daerah yang secara eksklusif akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kepercayaan masyarakat ialah pengungkit dalam membangkitkan partisipasi yang lazimnya direalisasikan dalam bentuk santunan atau support terhadap aktivitas Pembangunan Nasional. melaluiataubersamaini bertumpu pada partisipasi masyarakat ini maka upaya untuk membangun kewaspadaan nasional akan meningkat terutama dalam menangkal segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG).

Daftar Pustaka
Doctoroff, Michael. 1977.  Synergistic Management. AMACOM Press., New York.
Halbach, P., 2003. Cruise Report: Bandamin II, Submarine Hydrothermalism in the Southern Banda / Flores Sea. Freie Universitat,  Berlin.
Lili Sarmili. 2002. Kandungan Emas dan Perak dalam Mineralisasi Hidrotermal di  Perairan Komba dan Sekitarnya, Laut Flores-Wetar, Kawasan Timur Indonesia. Bulletin Marine Geological Institute, Vol. 2, April 2002, Bandung.
Purnomo Yusgiantoro, 2004. Wawancara Prospek Migas. Harian Metro, Tgl 14 Juni 2004, Jakarta.
Qilun, Yang,. 1995. Preliminary Study of Unstability of East China Floor. The 14th Inqua Congress Berlin. Qingdao Ocean Univ. Press.
Salusu, J., 2004. Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Penerbit PT Gramedia Widiamasukana Indonesia, Jakarta.
Senge, M. P. 1996. Disiplin kelima: Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajaran. Ed. Lyndon Saputra. Penerbit Bina Rupa Aksara, Jakarta. 
Sirower, Mark, L. , 1998. The Synergy Trap. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Subaktian Lubis, 2002. Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan di Kawasan Indonesia Timur Indonesia Sebagai ”The Last Frontier”. Forum Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral. Balitbang ESDM, Jakarta.
Toto Pandoyo, 1994. Wawasan Nusantara dan Implementasinya dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembangunan Nasional. Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.

Sumber : Puslitbang Geologi Kelautan
 

LihatTutupKomentar