PENDEKATAN BUDAYA TERHADAP ORGANISASI
Seorang antropologis dari Universitas Princeton, Clifford Geertz, menulis bahwa ‘manusia ialah hewan yang terbenam dalam suatu jaenteng yang sangat erat yang dibuatnya sendiri’. Geertz menggambarkan budaya sebagai jaenteng itu.
Budaya sebagai metafora kehidupan berorganisasi
Penggunaan budaya sebagai metafora akar dimulai oleh kekaguman bangsa barat terhadap keberhasilan ekonomi perusahaan – perusahaan Jepang pada kurun 70an dan 80an. Pada ketika itu, ketika para pemimpin bisnis Amerika berkunjung ke wilayah Timur Jauh untuk mempelajari metode produksi, mereka menemukan bahwa hasil industri Jepang yang luar biasa baik secara kuantitas maupun kualitas, ialah lebih alasannya nilai budaya kesetiaan para pekerja terhadap sesama mereka dan kesetiaan terhadap perusahaan dan bukan alasannya teknologi.
Saat ini, istilah budaya perusahaan mempunyai makna tidak sama bagi tiap orang. Beberapa pengamat memakai frasa ini untuk menggambarkan keadaan di lingkungan yang mendukungt kebebasan suatu perusahaan untuk bertindak. Sementara pengamat lain memakai istilah ini untuk menyampaikan kualitas atau kepemilikan suatu perusahaan. Mereka menyampaikan budaya sebagai sinonim dari citra, huruf atau iklim. Namun Pacanowsky yang memakai pendekatan simbolis milik Geertz, menganggap budaya sebagai lebih dari sebuah variabel tunggal dalam penelitian perusahaan.
Budaya organisasi bukanlah belahan dari suatu teka – teki ; tapi justru budaya itulah teka – tekinya. Dari sudut pandang kita, budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh suatu perusahaan ; budaya ialah organisasi itu sendiri.
Apakah Budaya ; Apa yang bukan Budaya
Geertz mengakui bahwa konsep budaya sebagai sistem arti yang terbagi ialah rancu dan susah untuk dicerna. Tidak ibarat pengertian yang lazim, dimana budaya identik dengan hal – hal ibarat konser dan museum seni, Geertz menolak untuk menghubungkan kata budaya dengan hal yang bermakna ‘primitif’. Tidak ada antropologis modern yang ingin terjebak untuk mengkelompokkan insan sebagai ‘berbudaya tinggi – berbudaya rendah’.
Budaya bukan ialah satu kesatuan atau tidak terbagi – bagi. Geertz menyampaikan bahwa suatu masyarakat yang hubungannya erat pun mempunyai sub – budaya atau kontra – budaya dalam lingkungan mereka.
Bagi Pacanowsky, jaring budaya organisasi ialah hasil dari perjuangan para pekerja – dimana para pekerja membuat dan menerapkan budaya mereka terhadap diri mereka sendiri dan terhadap sesama mereka.
Sifat budaya yang susah dipahami mendorong Geertz untuk menyebut ilmu ini sebagai ‘soft science’ ( ilmu lunak ). Ilmu ini bukanlah ilmu eksperimental dalam kajian ilmu hukum, namun ialah ilmu interpretasi dalam kajian arti. Pengamat perusahaan ialah setengah ilmuwan dan setengah Koreksius drama.
Deskripsi mendalam – Apa yang dilakukan Ethnographer
Geertz menganggap dirinya ialah seorang Ethnographer. Seperti seorang Geographer yang memetakan daerah, Ethnographer memetakan dilema – dilema sosial untuk menemukan ‘apa yang orang pikir wacana diri mereka, wacana apa yang mereka lakukan dan untuk tujuan apa’. Agar sanggup familiar dengan suatu organisasi, Ethnographer harus masuk dalam organisasi tersebut untuk jangka waktu yang lama. Ethnographer selalu mengisi buku catatannya dengan catatan wacana observasi intensif yaang dilakukannya. Oleh alasannya itu Geertz menyebut Ethnography sebagai ‘Deskripsi Mendalam’. Deskripsi ini menggambarkan jalinan lapisan arti umum / lazim wacana apa yang dikatakan dan dilakukan orang, yang juga menggambarkan lapisan jaenteng arti umum yang mendasari apa yang dilakukan dan dikatakan orang.
Deskripsi mendalam dimulai dengan adanya kebingungan. Dan satu – satunya cara untuk menguranginya ialah dengan mengamati apakah seseorang merasa absurd di tempatnya yang baru. Hal ini mungkin susah bagi seorang manager yang terjebak dalam budaya perusahaan tertentu. Lebih jelek lagi jikalau manager tersebut berasumsi bahwa humor atau rumor di kantor memdiberi dampak yang sama baik terhadap orang – orang dalam lingkungan budaya ini maupun dengan lingkungan kerja yang terlampau. Geertz beropini dampaknya tidak sama.
Metafora ; anggaplah bahasa sebagai sesuatu yang fokus
Ketika dipakai oleh anggota suatu organisasi ( dan tidak spesialuntuk oleh pihak administrasi ), bagi ethnographer metafora ialah suatu pertama untuk sanggup mengakses arti budaya perusahaan yang terbagi.
Masing – masing dari kita harus berkonsultasi dengan forum yang tepat, yang akan menyebarkan tanggung tanggapan dalam mengambil setiap tindakan yang berpotensi untuk mengakibatkan imbas negatif terhadap reputasi, kesuksesan atau kelangsungan perusahaan. Analoginya adalah, perusahaan ialah bagaikan kapal bahari yang kita tumpangi. Sebuah lubang di atas garis batas air bukanlah dilema fokus, tapi lubang di bawah garis batas air, sanggup menenggelamkan kita.
Interpretasi simbolis sebuah cerita
Cerita yang selalu diulang – ulang akan membuka jendela untuk melihat jaring budaya perusahaan. Pacanowsky memseriuskan pada narasi kualitas yang menggarisbawahi tugas pekerja dalam perjalanan perusahaan. Walaupun pekerja sanggup diberimprovisasi, namun harus tetap di dalam jalur tugas yang sudah diputuskan untuk mereka. Cerita tersebut merekam hasil kerja mereka namun tidak memperhatikan perasaan yang dirasakan pekerja.
Ritual ; semenjak doloe memang begini caranya, dan akan terus begini
Gertz menulis wacana ritual berkelahi ayam di Bali alasannya ritual menggambarkan lebih dari sekedar sebuah permainan. ‘Memang tampaknya yang bertarung ialah ayam, namun sebetulnya yang bertarung ialah manusia’. Adu ayam ialah dramatisasi status.
Pacanowsky oke dengan Geertz, bahwa beberapa ritual ( ibarat berkelahi ayam di Bali ) ialah ‘teks’ yang mewakili multi aspek dalam kehidupan berbudaya. Ritual – ritual ini bersifat sakral dan perjuangan untuk merubahnya sudah niscaya akan menemui kendala yang luar biasa.
Dapatkah manager menjadi penggerak perubahan budaya
Popularitas metafora budaya tidak sanggup disangkal dipicu oleh harapan para pemimpin bisnis untuk membentuk interpretasi di dalam organisasi. Simbol ialah alat manajemen. Para administrator tidak mengoperasikan ‘forklift’ atau memproduksi barang ; mereka membuat visi, tujuan, gosip proses, mengirim memo dan hal – hal lain yang bersifat simbolis. Jika mereka percaya bahwa budaya ialah kunci bagi janji pekerja, produktivitas dan penjualan, kemungkinan perubahan budaya akan menjadi gagasan yang sangat menggoda. Menciptakan metafora yang menguntungkan, menanamkan kisah organisasi, mendirikan suatu ritual, tampaknya akan menjadi cara yang ideal untuk membuat mitos perusahaan yang akan memenuhi harapan pihak manajemen.
Kritik ; apakah pendekatan budaya berguna?
Kini anda mengerti mengapa Geertz menganggap harapan untuk mengubah budaya ialah tidak sempurna dan hampir tidak mungkin. Ini membuat Geertz dikecam oleh para konsultan perusahaan yang tidak spesialuntuk ingin untuk mengerti komunikasi organisasi tapi juga ingin mempengaruhinya. Ketika para penasihat bisnis tdak menganggap budaya sebagai metafora yang sanggup sangat memmenolong, mereka menyampaikan bahwa hampir seluruh pekerja bergabung dengan perusahaan usang sehabis mereka mengenal nilai dari masyarakat yang lebih besar. Mereka juga mengklaim bahwa budaya perusahaan yang baik sangatlah langka. Kebanyakan organisasi mempunyai kesamaan dalam hal aturan dan mekanisme birokratis yang menggantikan ‘interpretasi terbagi yang lekat dengan budaya’ milik Geertz dan Pacanowsky. Konsultan yang pragmatis juga merasa tidak mempunyai waktu dan dana untuk melaksanakan ‘deskripsi mendalam’ dari pandangan budaya milik Geertz.
Para pengKoreksi menentang pendekatan budaya alasannya Geertz dan Pacanowsky menolak untuk mengevaluasi kebiasaan yang mereka gambarkan. Tujuan analisa simbolis ialah untuk membuat pengertian yang lebih baik antar jaenteng makna yang terbagi dalam organisasi sehingga orang sanggup mengerti apa yang harus dilakukan semoga sanggup berfungsi efektif di dalam suatu organisasi dan bukan untuk mengubah organisasi itu sendiri. Di kebanyakan organisasi, anggota organisasi itu didiberi kebebasan untuk tetapkan apakah beliau bersedia untuk melebur ke dalam organisasi itu atau tidak. Analisa simbolis yang sensitif sanggup memmenolong mereka membuat keputusan itu. Mungkin para manajer gagal untuk menghargai nilai dari ‘deskripsi mendalam’ alasannya mereka tidak berusaha untuk menggali keeratan jaenteng di dalam organisasi mereka.