-->
Pemikiran Adat Politik Dalam Islam
Pemikiran Etika Politik Dalam Islam
Dunia ilmu pengetahuan, pada masa pemerintahan Abbasiyah, mengalami zaman keemasannya, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti ini. Khalifah ke tujuh, Makmun, sangat besar perhatiannya kepada pengembangan ilmu pengetahuan, yang yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan social maupun ilmu niscaya dan ilmu alam. Dia juga dikenal pengagum ilmu-ilmu Yunani, termasuk filsafat. Untuk melengkapi dan mendukung kebutuhan keilmuan, ia mendirikan perpustakaan Bait al-Hikmah, dengan buku-buku absurd juga buku-buku Islam. Dari sinilah, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani semakin meluas dan mendalam, yang pada saatnya nanti akan menimbulkan hasrat sarjana-sarjana Islam untuk mempelajari msalah-msalah kenegaraan secara rasional. Maka lahirlah pemikir-pemikir muslim yang mengemukakan konsepsi politiknya melalui karya-karyanya.[25] Dalam pembahasan pemikiran budpekerti politik ini, penulis batasi spesialuntuk pada pemikiran politik pada masa klasik dan pertengahan pertama.[26]
a. Pemikiran Ibn Abi Rabi’
Nama lengkapnya yaitu Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’. Pemikirin politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (perilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan), yang ditulis untuk memenuhi seruan khalifah al-Mu‘tashim, khalifah ke delapan dinasti Abbasiyyah, yang memerintah kurun IX Masehi.[27]

Menurut Ibn Abi Rabi’, asal mula tumbuhnya kota atau terbentuknya negara, berasal dari ketidak berdayaan insan untuk hidup sendiri dalam mencukupi segala kebutuhan hidupnya, tanpa menolongan orang lain. Ketergantungan kepada orang lain inilah, mendorong insan untuk saling memmenolong dan berkumpul, serta menetap di satu tempat. Dari sinilah, tumbuh sebuah komunitas kota, yang kesudahannya berubah menjadi sebuah negara.[28]

Kekuasaan kepala negara, bagi Ibn Abi Rabi’, yaitu bersumber dari Tuhan. Hal ini sanggup dipahami dari statemennya, bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi masyarakat. Penguasa-penguasa ini mendapat pancaran Ilahi dan dikukuhkan dengan karamah-Nya. Hanya saja, ia tidak menerangkan, dikukuhkan melalui pemilihan atau penunjukan. Sehingga sumber kekuasaan kepala negara yaitu bukan berasal dari rakyat, tetapi dari Allah yang didiberikan kepada orang pilihan-Nya. Dan kiprah pemimpin negara itu yaitu mengelola urusan rakyatnya dan bertindak sebagai hakim untuk menuntaskan perselisihan di antara mereka.[29]

Lebih lanjut Ibn Abi Rabi’ menjelakan, bahwa Allah sudah memdiberi keistimewaan kepada para penguasa, dengan memuliakannya, memdiberi kedudukan penting di negaranya, dan disegani hamba-hamba Allah. Allah pun juga mewajibkan kepada para ulama untuk mengagungkan, memuliakan dan menghormati raja, sebagaimana Allah mewajibkan orang-orang yang diberiman untuk mentaati para penguasa.[30]

Pemimpin masyarakat atau negara, demikian Ibn Abi Rabi’, haruslah seorang insan utama. Baginya, insan utama yaitu mereka yang memenuhi criteria sebagai diberikut :
  1. mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kebahagiaan.
  2. sehat tubuhnya.
  3. mempunyai pemahaman dan penelaahan yang baik terhadap pendapat ulama yang mengetahui kandungan kitab suci.
  4. daya ingatnya baik (kuat) dan tidak melupakan ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya.
  5. memiliki tingkat kecerdasan dan ketajaman berfikir yang baik, ketika menghadapi suatu masalah.
  6. berkemampuan olah vokal dengan baik.
  7. mencintai ilmu dan suka belajar, serta mengambil pelajaran dari setiap kejadian.
  8. tidak mempunyai karakteristik yang jelek dan membenci sesuatu, yang sanggup mengakibatkan jelek bagi dirinya.
  9. berjiwa besar, menyayangi kemuliaan dan menjaga dirinya dari segala sesuatu yang membawa keburukan.
  10. mencintai keadilan, kejujuran, dan orang-orang yang adil dan jujur; serta benci ketiruanan dan kebohongan.
  11. percaya diri untuk merealisasikan cita-citanya, tidak takut mati, dan tidak punya jiwa yang lemah.
  12. memandang rendah dunia dan hal-hal yang membawa kepada nilai-nilai keduniaan yang fana.[31]
Bentuk pemerintahan yang terbaik, masih berdasarkan Ibn Abi Rabi’, yaitu bentuk pemerintahan monarkhi, yakni pemerintahan yang berpusat pada satu individu, yaitu seorang raja.[32] Hal ini didasarkan dengan pertimbangan, dengan banyaknya pemimpin, akan sanggup melumpuhkan politik pemerintahan dan menimbulkan kekacauan. Karenanya, sebuah kota / negara atau masyarakat perlu dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat.[33] Selain itu, sebuah negara perlu dipimpin seorang pemimpin, juga didasarkan dengan beberapa pertimbangan lain, menyerupai biar penguasa mempunyai peluang yang besar untuk menegakkan keadilan di antara masyarakat negara; sanggup menolak kezhaliman terhadap orang-orang yang mungkin dianiaya; mendorong masyarakat negara untuk mewujudkan tujuannya yang luhur, sehingga setiap orang sanggup bekerja untuk kepentingan dirinya dan kepentingan masyarakat. Bagi Ibn Abi Rabi’, sebuah negara cukup dipimpin seorang penguasa yang mengelola dan merencanakan, biar tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara masyarakat masyarakat. Hal ini dimaksudkan, biar tiap-tiap anggota masyarakat sanggup bekerja dan menghasilkan suatu produksi yang bermanfaa bagi kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain.[34]

Sebuah negara sanggup tegak, tegas Ibn Abi Rabi’, bila komponen-komponen penting diperhatikan, yaitu : raja, rakyat, keadilan dan pengelolaan pemerintahan (administrasi negara).

Seorang raja setidaknya harus memenuhi 6 kriteria sebagai diberikut : 
  1. dari segi keturunan, ia harus berasal dari keluarga raja dan akrab kekerabatan kekerabatannya dengan raja sebelumnya; 
  2. mempunyai impian yang tinggi, yang sanggup dibina melalui pendidikan akhlaq; 
  3. berpendirian tegas, yang bias dibina melalui penelaahan dan pembahasan wacana pola-pola pengelolaan negara yang dilakukan oleh para raja sebelumnya; 
  4. tegar ketika menghadapi kesusahan; 
  5. memiliki sumber finansial yang cukup; 
  6. dan mempunyai pemmenolong-pemmenolong yang jujur.[35]
Berkaitan dengan keadilan, secara garis besar sanggup dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : keadilan yang bekerjasama dengan perbuatan seorang hamba yang berkenaan dengan hak Allah; keadilan yang bekerjasama dengan perbuatan seseorang yang berkenaan dengan hak-hak terhadap sesamanya; dan keadilan yang bekerjasama dengan perbuatan seseorang terhadapat hak-hak para penlampau mereka.

Adapun indicator seseorang sanggup dikatakan bersikap adil yaitu  menepati janji dan amanah, serta sanggup dipercaya; 
  1. bersifat penyayang dan terbebas dari sikap penipu; 
  2. memelihara dan memperhatika janji-janjinya kepada orang lain; 
  3. jujur dalam segala tindakannya; 
  4. tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku; 
  5. menempatkan segala seuatu pada tempatnya dan memberikan amanat pada yang berhak menerimanya.[36]
Selanjutnya, biar kekuasaan dan pengelolaan pemerintah berjalan secara efektif dan efesien, penyelenggara negara – masih berdasarkan Ibn Abi Rabi’ – harus memperhatikan hal-hal sebagai diberikut : 1) tidak mengangkat pejabat negara yang tidak mempunyai integritas kepribadian yang memadai dan membahayakan kerajaan; 2) tidak meminta fatwa atau masukan kepada orang yang tidak sanggup dipercaya, yang sanggup membawa kehancuran negara; 3) tidak menyimpan atau memberikan diam-diam kepada orang yang tidak sanggup dipercaya; 4) tidak minta menolongan kepada orang yang tidak mempunyai kemandirian, yan sanggup merusak urusannya; 5) tidak meremehkan pejabat-pejabat negara, yang memperlihatkan kelemahan pemikirannya; 6) tidak memdiberi kiprah kepada orang-orang yang kurang pintar atau tidak mampu, yang sanggup berakibat buruk.[37]

b. Pemikiran al-Farabi 
Nama lengkapnya yaitu Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Uzalagh Ibn Tharkhan al-Farabi. Lahir di kota kecil berjulukan Wasij, wilayah Farab, termasuk daerah Turkisan, tahun 257 H/870 M, dari pasangan ayah yang berkebangsaan Persia dan ibu berkebangsaan Turki. Wafat tahun 339 H/950 M. Pemikiran-pemikiran politiknya sanggup dilihat dalam karya-karyanya, antara lain : Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah (pandangan-pandangan para penghuni negara yang utama), Tahshil al-Sa‘adah (jalan mencapai kebahagiaan), dan al-Siyâsah al-Madaniyyah (politik kenegaraan).[38]

sepertiyang Ibn Abi Rabi’, berkaitan dengan asal usul kota atau sebuah negara, al-Farabi juga berpendapat, bahwa insan yaitu makhluk sosial, yang secara alami mempunyai kecenderungan untuk hidup bermasyarakat. Karena, untuk memenuhi kebutuhannya, ia membutuhkan menolongan dan kolaborasi dengan pihak lain. Dan tujuan bermasyarakat ini, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup ini saja, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup bagi kebahagiaan manusia.[39]

Dari kecenderungan alami insan untuk bermasyarakat, lahirlah banyak sekali macam masyarakat; ada yang tepat (al-kâmilah) dan ada yang tidak tepat (ghayr al-kâmilah).

Masyarakat yang sempurna, berdasarkan al-Farabi, terbagi menjadi tiga macam, yaitu : masyarakat tepat besar, masyarakat tepat sedang, dan masyarakat tepat kecil. Adapun masyarakat tepat besar yaitu campuran banyak bangsa yang setuju untuk bergabung dan saling memmenolong serta kerja sama; atau sanggup diistilahkan dengan perserikatan bangsa-bangsa. Masyarakat tepat sedang yaitu masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni satu wilayah di bumi ini; atau sanggup disebut dengan negara nasional. sedangkan masyarakat tepat kecil yaitu masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota; atau diistilahkan dengan negara-kota.[40]

Adapun masyarakat yang tidak tepat yaitu kehidupan social di tingkat desa, kampung lorong dan keluarga, dan di antara tiga pergaulan yang tidak atau belum tepat itu. Karenanya, kehidupan social dalam rumah atau keluarga yaitu masyarakat yang paling tidak sempurna. Keluarga ialah cuilan dari masyarakat lorong; masyarakat lorong ialah cuilan masyarakat kampung; dan masyarakat kampung ialah cuilan dari masyarakat negara-kota. Hanya bedanya, kampung ialah cuilan negara-kota, sedangkan desa spesialuntuk ialah suplemen untu melayani kebutuhan negara-kota.[41] Dari sini nampak, al-Farabi tidak menganggap tiga unit pergaulan social tersebut sebagai masyarakat yang sempurna, sebab tidak cukup besar lengan berkuasa untuk berswasembada dan sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan para masyarakatnya, baik berkaitan dengan perkara ekonomi, social, budaya maupun spiritual.[42]

Selanjutnya, kepala negara, lanjut al-Farabi, haruslah seorang pemimpin yang berilmu dan bijaksana, yang mempunyai dua belas kualitas luhur, yang sebagian sudah ada sewaktu lahir sebagai watak yang alami atau watak yang fitri, namun yang lain perlu dikembangkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta tes yang menyeluruh. Baginya, pemimpin negara tidak harus seorang filsuf yang mendapat kemakrifatan atau kearifan melalui pikiran dan rasio, tetapi juga sanggup seorang nabi yang mendapat kebenaran lewat wahyu. Adapun kedua belas syarat pemimpin itu antara lain : 
  1. lengkap anggota tubuhnya; 
  2. mempunyai kemampuan pemahaman yang baik; 
  3. kuat hafalannya dan tinggi intelegensianya; 
  4. pandai mengemukakan pendapatnya dan praktis dimengerti uraiannya; 
  5. mencinta pendidikan dan gemar mengajar; 
  6. tidak rakus terhadap masakan dan masakan serta wanita; 
  7. mencinta kejujuran dan membenci kebohongan; 
  8. berjiwa besar dan berbudi luhur; 
  9. tidak memandang penting terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan dunia;
  10.  mencintai keadilan dan membenci kezhaliman; 
  11. tanggap dan tidak sukar, bila diajak menegakkan keadilan, dan susah bila diajak untuk melaksanakan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; 
  12. kuat pendiriannya terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, tidak penakut atau berjiwa lemah.[43]
Karena untuk mendapatkan orang yang mempunyai tiruana kualitas luhur tersebut yaitu sangat susah dan jarang, maka – masih berdasarkan al-Farabi – bila terdapat lebih dari satu, maka yang diangkat menjadi kepala negara yaitu seorang saja. Tetapi bila tidak terdapat sama sekali yang memenuhi criteria di atas, maka pimpinan negara sanggup dipikul secara kolektif antara sejulah masyarakat negara yang termasuk kelas pemimpin.[44]

c. Pemikiran al-Mawardi 
Nama lengakap al-Mawardi yaitu Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Mawardi (364 H/975 M – 450 H/1059 M). Ia yaitu seorang pemikir Islam terkenal, tokoh terkemuka madzhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Sesudah menjalani hidup dengan cara berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lainnya sebagai hakim, kesudahannya ia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapat kedudukan terhormat pada pemerintahan khalifah Qadir.[45]

Diantara pemikiran politik al-Mawardi yang populer yaitu wacana khilafah atau imâmah.[46] Baginya, imâmah diartikan sebagai pengganti kedudukan Nabi, yang melestarikan agama dan menyelenggarakan kepentingan duniawi.[47]

Dan eksistensi imâmah, bagi al-Mawardi, yaitu penting dan wajib. Hanya saja, kewajiban itu, apakah berdasarkan nalar atau syara’ masih dalam perdebatan di kalangan para ulama’. Ada yang mengatakan, imâmah wajib berdasarkan pertimbangan rasionalitas. Artinya, adanya imâmah yaitu untuk menjaga ketertiban dan stabilitas keamanan, serta menghindarkan dari tindakan-tindakan anarkis dan perperihalan dan permusuhan. Namun ada juga yang berpendapat, kewajiban itu yaitu diputuskan oleh syara’, berdasarkan QS. al-Nisa’ ayat 59.[48]

Lembaga imâmah ini, berdasarkan al-Mawardi, mempunyai kiprah dan tujuan umum, yaitu : 
  1. memelihara dan mempertahankan syari’at berdasarkan prinsip-prinsip yang diputuskan dan sesuatu yang menjadi ijma’ oleh generasi pertama umat Islam; 
  2. melaksanakan ketentuan hokum di antara oknum-oknum yang sedang bersengketa atau berselisih, dan mewujudkan keadilan antara yang teraniaya maupun yang menganiaya; 
  3. melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat, biar mempunyai kemerdekaanjiwa dan harta mereka; 
  4. memelihara hak-hak rakyat dan hokum Tuhan; 
  5. mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan musuh; 
  6. berjihad terhadap orang-orang yang menentang Islam, setalah ada dakwah atau seruan, biar mereka mengakui eksistensi Islam; 
  7. mengambil pajak dan sedekah berdasarkan ketentuan syari’at, nash dan ijtihad; 
  8. mengatur memanfaatkan harta baitul mal secara efektif; 
  9. minta nasehat dan pandangan dari tokoh-tokoh masyarakat yang terpercaya; 
  10. dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah bersama kepala negara harus pribadi menangani dan mereview keadaan yang sesungguhnya.[49] Selain itu, forum ini juga bertugas mewujudkan kemaslahatan-kemaslahan dan masukana-masukana yang sanggup mewujudkan kemaslahatan tersebut.[50]
Seorang imam sanggup dipilih melalui dua cara, yaitu : melalui pemilihan sebuah tubuh yang disebut ahl al-‘aqd wa al-hal atau ahl al-ikhtiyâr dan melalui pilihan imam sebelumnya.[51]

Badan yang menentukan imam di atas, setidaknya harus memenuhi tiga kriteria, yaitu : 
  1. berlaku adil (al-‘adâlah) dengan segala persyaratannya dalam segala sikap dan tingkah lakunya; 
  2. memiliki pengetahuan, yang dengannya sanggup mengetahui siapa yang berhak menjadi kepala negara, berdasarkan kualifikasi yang ditentukan; 
  3. memiliki wawasan dan kearifan (al-ra’y wa al-hikmah), yang sanggup dipakai untuk menentukan imam yang bisa dan layak mengelola urusan negara dan rakyat. Dan anggota-anggotanya tidak harus terdiri dari mereka yang spesialuntuk berada dalam negara imam atau ibukota.[52]
Adapun calon imam yang layak dipilih, lanjut al-Mawardi, harus memenuhi syarat-syarat diberikut ini: 
  • sikap adil (al-‘adâlah) dengan segala persyaratannya; 
  • memiliki pengetahuan yang sanggup dipergunakan untuk mengambil ijtihad atau keputusan dalam mengahadapi problematika negara; 
  • sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 
  • utuh anggota-anggota badannya; 
  • mempunyai kebijaksanaan (al-ra’y al-mufdli) dalam mengatur kehidupan rakyat dan kepentingan umum; 
  • mempunyai keberanian untuk memerangi musuh; 
  • berketurunan suku Quraisy.[53]
d. Pemikiran Ibn Taymiyyah 
Nama lengkapnya yaitu Taqî al-Dîn Abû al-‘Abâs Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm Ibn ‘Abd al-Salâm Ibn ‘Abd Allah Ibn Taimiyyah al-Harânî al-Hanbalî. Lahir di kota Harran Mesopotamia Utara, pada hari Senin, tanggal 10 Rabî‘ul Awal tahun 661 H., bertepatan dengan 22 Januari 1263 M., dan meninggal di Damaskus pada tanggal 20 Dzulqa‘dah 728 H., bertepatan dengan 26 September 1328 M[54]. Ayahnya yaitu seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid jami‘ Damascus. Ia bertindak sebagai khatib dan imam di masjid itu, sekaligus sebagai muallim pelajaran tafsir dan hadis. Disamping itu ia juga sebagai eksekutif Madrasah Dar al-Hadis al-Sukkariyyah, salah satu forum pendidikan mazhab Hanbali yang tergolong sangat maju dan berkarakter pada waktu itu. Di sinilah Abdul Halim mendidik Ibn Taimiyyah.[55] Dan pemikiran politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah (politik yang berdasarkan syari’ah bagi perbaikan penggembala dan gembala).

Orientasi pemikiran politik Ibn Taymiyyah yaitu bersendikan agama. Hal ini terlihat dari judul buku di atas atau pun isi mukaddimahnya, yang mendasarkan teori etik politiknya dengan ayat al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 58-59.[56] Dari dua ayat tersebut, setidaknya ada empat pesan yang terkandung di dalamnya : 
  1. perintah menunaikan amanat; 
  2. perintah berlaku adil dalam menetapkan hokum; 
  3. perintah taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri; dan 
  4. perintah menuntaskan perselisihan dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.[57]
Namun di lain tempat, Ibn Taymiyyah menyatakan, bahwa perintah menunaikan amanat dan perintah berlaku adil ialah dua prinsip etik utama dan paling lebih banyak didominasi dalam al-siyâsah-nya.[58]

Tentang istilah amanat, berdasarkan Ibn Taymiyyah, mencakup beberapa aspek dua konsep, yaitu kekuasaan (politik) dan harta benda (ekonomi).[59] Kekuasaan ialah amanat yang harus ditunaikan. Dan karenanya, seorang pemimpin juga harus mempunyai sifat amanah. Dia dituntut untuk berlaku amanah dalam melaksanakan kiprah dan menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.[60]

Berkaitan dengan kekuasaan politik, amanah menuntut keharusan menunaikan amanat sebagai bentuk tanggung jawabannya, baik amanat itu berasal dari Tuhan ataupun dari sesama manusia. Sedangkan amanah yang bekerjasama dengan harta benda ekonomi, amanah berarti keharusan mengelola kekayaan negara secara proporsional dan bertanggung balasan untuk kemashlahatan rakyat.[61]

Dalam beberapa cuilan tulisannya dalam al-Siyâsah, Ibn Taymiyyah mengungkapkan beberapa kezhaliman ekonomi yang secara substantif mengindikasikan problem etis.
  • Pertama, pemerintah tidak boleh merampas atau mengambil harta benda rakyat, yang bukan haknya. Namun bila ada harta benda rakyat yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, maka harus dikembaikan oleh pemerintah kepada pemiliknya.[62]
  • Kedua, para pejabat hendaknya tidak mendapatkan hadiah dari siapapun, ketika melaksanakan tugas. Karena hadiah itu sanggup menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.[63]
  • Ketiga, harta benda yang sudah terlanjur disita oleh negara secara illegal, dan sudah diketahui, bahwa harta itu tidak ada pemiliknya, maka harta dimaksud harus dipakai untuk kepentingan umum, menyerupai untuk sektor pertahanan keamanan dan pembayaran penghasilan tentara.[64]
  • Keempat, dalam pembangunan, yang harus diperhatikan yaitu asas kemaslahatan secara tepat dan menekan seminimal mungkin timbulnya kerusakan.[65]
Tentang prinsip keadilan, bagi Ibn Taymiyyah, ialah prinsip mendasar sebuah pemerintahan. Karena pentingnya keadilan ini, Ibn Taymiyyah sampai berpendapat, bahwa pemerintah yang adil, walaupun dipimpin oleh seorang kafir yaitu lebih baik daripada pemerintahan muslim tetapi berlaku zhalim. Karena, keadilan walaupun disertai dengan kekafiran, masih memungkin adanya kesinambungan kehidupan dunia, tetapi sebaliknya, kezhaliman meskipun dengan keislamannya, akan susah mempertahankan kehidupan dunia.[66]

Etika Politik : Antara Normatifitas dan Realitas
Politik riil yang terjadi yaitu pertarungan antar kekuatan masing-masing partai. Seringkali filsafat politik ataupun budpekerti politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang ada, atau pun sebaliknya.

Berbagai kejadian kekerasan, politik uang dan korupsi, sangat mendominasi kehidupan politik di Indonesia. Peristiwa tragis juga pernah terjadi, kerusuhan disertai penjarahan, penganiayaan dan pelecehan seksual (Mei 1998). Kekerasan yang lebih kejam berlangsung dalam konflik antar etnis dan antar agama (pontianak, Sampit, Ambon, Poso). Semua itu meninggalkan korban, trauma psikologis, pengungsian, dan penderitaan berkepantidakboleh. Serentetan kejadian itu, tidaklah terjadi secara impulsif atau kejadian insidental belaka. Namun di balik kejadian itu, tidak lepas dari praktek politik kekuasaan kelompok tertentu.

Adalah sangat susah, bila tragedi-tragedi itu tidak dikaitkan dengan pertarungan elit politik untuk memperebutkan kekuasaan. Meskipun demikian, rekayasa politik tidak akan memancing kekerasan dengan gampang, bila tidak ada masalah-masalah yang melilit mereka sebelumnya. Seperti perkara ketidak adilan dan kebencian korban ketidakadilan yaitu konkrit adanya, yang membuat mereka semakin termarjinalkan. Kesentidakboleh ekonomi antara si kaya dan si miskin terlalu jauh; persoalan-persoalan sosial yang semakin komplek dan diberimbas pada kebijakan yang tidak populis, menyerupai banyaknya anak putus sekolah, pengangguran, kemiskinan, dan penggusuran. Bentuk marginalisai ini, pada saatnya akan memancing radikalisme dalam menuntut keadilan. Dan radikalisasi menjadi kuat, sebab kesadaran yang semakin besar lengan berkuasa pada diri mereka sebagai korban. Identitas korban akan semakin mengkristal, ketika agama memberikan pendamasukan ideologis. Situasi putus asa semacam ini diperparah oleh kebencian antara pemeluk agama, yang sungguh ada dan sanggup dirasakan. Prasangka jelek terhadap pemeluk agama lain sering kali muncul dan sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan setiap ada chaos (kekacauan), walaupun tidak sedikit yang menjalin kekerabatan secara serasi dan membangun dialog.[67]

Ketika banyak sekali bentuk kejadian kekerasan itu mulai mereda, yang mencuat ke permukaan kini yaitu politik uang dan korupsi. Adanya praktek politik uang, biasa dipakai untuk meraih kekuasaan, atau untuk meabadikan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dalam proses pilkada di daerah-daerah, yang sarat dengan politik uang, walaupun susah dibuktikan secara empiris. Meskipun akhir-akhir ini, KPK sering menangani perkara tangkap tangan ketika terjadi penyuapan kepala daerah dan anggota dewan. Untuk meabadikan kekuasaan itu, dibutuhkan banyak sekali akomodasi penopangnya, terutama ekonomi. Korupsi itu sendiri ialah bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh oknumnya. 

Demikian halnya, ketika para caleg atau calon kepala daerah berkampanye, tindak money politic pun terlihat di sana dengan banyak sekali bentuk yang beragam. Hal itu bisa dilihat, contohnya dari cara kampanye para caleg yang membagi-bagikan tas atau kaos bergambar caleg yang bersangkutan sebagai bentuk ‘hadiah’ atau ‘kenang-kenang’; atau membagi-bagi uang kepada para calon pemilih di daerah pemilihannya. Demikian halnya dengan para calon kepala daerah. Saat berkampanye, banyak di antara mereka yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan, baik pendidikan formal atau tradisional, yang nota bene banyak masanya. Saat berkunjung pun, tak segan-segan, mereka mengeluarkan banyak duit, untuk ‘menyumbang’ atau sekedar memdiberi ‘hadiah’ kepada sang kiai atau pimpinan forum tersebut. Lebih-lebih, bila kiai tersebut yaitu pimpinan tarekat, yang mempunyai banyak masa, maka antusiasme para calon kepala daerah untuk mendekatinya sangat terlihat. Namun di balik pendekatan dan pemdiberian ‘menolongan’ tersebut, terselip pesan sponsor politis, “pilihlah aku…”. Begitulah kira-kira kondisi perpolitikan Indonesia cukup umur ini.

Jika melihat realitas politik yang demikian memilukan ini, seakan-akan berbicara politik dalam tataran normatif, sebagaimana budpekerti politik, memdiberi kesan naïf dan absurd. Karena kehidupan politik, intinya ialah pertarungan kekuatan antar kelompok politik tertentu dan mempunyai kecenderungan untuk menghalalkan segala cara, asal tujuan tercapai. Dan sebagaimana kita ketahui, dalam kehidupan politik, kepentingan-kepentingan politik sesaat, yang menguntungkan kelompok tertentu (penguasa) – walaupun merugikan kepentingan rakyat – kerap kali terjadi, tanpa menghiraukan Koreksi dan koreksi orang lain.

Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para elit politik, sering tidak sejalan dengan budpekerti politik yang sudah dibangun oleh para pakarnya. Karena, politik sangat fleksibel sifatnya, sehingga seolah tidak ada tatanan normatif politik yang baku, kecuali aturan undang-undang yang kerapkali mengundang banyak perdebatan interpretasi. 

Namun tidak harus mengalah begitu saja. Adanya tindak kekerasan, politik uang dan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan, yang sangat menempel dengan praktek kekuasaan, hendaknya justru semakin menyadarkan kita, betapa pentingnya penerapan budpekerti politik secara teoritik ke dalam kehidupan politik secara riil, walaupun aplikasinya masih dalam proses, untuk tidak menyampaikan tidak mungkin.

sepertiyang sudah disinggung di atas, bahwa budpekerti politik bukanlah akan mengkhutbahi para politikus secara langsung, namun setidaknya, adanya budpekerti politik yang ada, sebagaimana pemikiran politik yang sudah dibangun oleh para pemikir muslim klasik dan pertengahan di atas, sanggup dijadikan sebagai materi renungan untuk membangun iklim politik yang lebih etis dan mengevaluasi kinerja pemerintahan yang sedang berlangsung, yang akan sanggup dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan pemimpin masa yang akan hadir. melaluiataubersamaini pemahaman budpekerti politik yang ada, dibutuhkan masyarakat akan menjadi lebih cukup umur dalam hal politik.

LihatTutupKomentar