-->
Manfaat Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing
Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
Keberadaan bahasa nasional Indonesia hingga dikala ini, tidak bisa dilepaskan dari 2 insiden yang sangat bersejarah. Pertama, ketika para putra dan putri diberikrar “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 yang lalu. Kedua, ketika bahasa persatuan yang dijunjung itu dimantapkan posisinya sebagai “bahasa negara” dalam pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Sejak dikala itu bahasa Indonesia (BI) terus menjelma bahasa yang bisa mengemban banyak fungsi. Yang berkembang tidak spesialuntuk segi substansi bahasa itu sendiri, seperti: ejaan, ucapan, kosakata dan tatakalimat, tetapi juga jumlah pemakaiannya. Dari tahun ke tahun jumlah itu terus meningkat.

Pada tahun 1920-an, pemakai bahasa Indonesia (pada dikala itu berjulukan bahasa Melayu) sudah mencapai 4,9% atau 2,8 juta orang dari jumlah penduduk sebanyak 57 juta orang. Pada tahun 1940-an jumlah itu meningkat menjadi 5,2% dari jumlah penduduk 72 juta orang, atau sama dengan 3,75 juta orang. Selanjutnya, menurut hasil sensus tahun 1990, dari jumlah penduduk sebanyak 179 juta meningkat menjadi 73,1% atau 131 juta orang.

Meskipun dari 73,1% itu yang memakai bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari gres 18,4 % atau 24 juta orang, namun jumlah itu sudah mengatakan peningkatan yang sangat membanggakan. Bahkan, ada sekitar 19 juta orang penutur atau 14,5 % yang mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya.

Makin meningkatnya pamakai BI menerangkan bahwa BI bisa menjadi alat komunikasi secara nasional yang efektif bagi masyarakat 483 suku bangsa Indonesia. Dapat dibayangkan betapa susahnya mempersatukan dan mendekatkan hubungan antarsuku yang mempunyai alat komunikasi tidak sama-beda.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, kehadiran BI sanggup diterima oleh seluruh masyarakat suku bangsa dengan tangan terbuka. Belum pernah terdengar diberita ihwal penolakan penerapan BI sebagai bahsa nasional. Bahkan, masyarakat masing-masing suku bangsa sudah ikut membina dan menyebarkan BI menjadi bahasa yang maju. Dalam hal ini BI sudah terbukti bisa menjadi wahana pemersatu banyak sekali suku bangsa yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, agama tidak sama-beda, menjadai satu bangsa, bangsa Indonesia.

Di samping itu BI juga sudah terbukti bisa menjadi bahsa negara. Berbagai insiden kenegaraan dan penulisan dokumen-dokumen resmi sanggup dilaksanakan dengan baik oleh BI. Demikian pula halnya dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan lainnya seperti: ekonomi, politik, pertahanan, olah raga, budaya dan pariwisata sanggup berjalan lancar berkat peranan BI.

Peranana lain yang sudah dibuktikan oleh BI yaitu dalam kedudukannya sebagai wahana transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak sekali sumber melalui proses belajar-mengajar, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, sanggup terealisasi dengan baik dan lancar. Hal ini menerangkan bahwa BI sudah bisa menyelaraskan diri dengan banyak sekali perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia luar.

Bagian yang paling penting untuk tidak kita lupakan yaitu bahwa BI sudah diposisikan sebagai salah satu wujud kasatmata terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia. Seperti yang diamanatkan oleh pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, BI sudah menjadi lambang jati diri (identitas) bangsa, yang sanggup menumbuhkan kebanggan dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa Indonesia. BI sudah memegang peranan yang sangat memilih terhadap keberadaan (eksistensi) dan kelangsungan hidup bangasa Indonesia secara keseluruhan. 

Sesudah BI diikrarkan 73 yahun yang lalau, atau 56 tahun setelah diputuskan sebagai bahasa negara, BI menuju ke arah kemantapan sebagai wahana komunikasi yang efektif dalam lingkup yang lebih luas lagi. BI tidak spesialuntuk digunakan oleh para penutur di dalam negeri, tetapi juga diminati oleh penutur berkebangsaan asing.

Minat itu sudah tumbuh semenjak tahun 1795, atau 206 tahun yang lalu, ketika sebuah institut di Perancis mempelajari bahasa Melayu. Berdasarkan data yang ada, hingga kini tidak kurang dari 35 negara di dunia yang sudah melaksanakan pengajaran BI melalui pendidikan formal di perguruan tinggi dan kursus-kursus. Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat 9 universitas yang mengajarkan BI. Di Jerman ada 6 universitas dan di Jepang ada 28 universitas, sementara di Australia selain diajarkan di 13 perguruan tinggi, BI juga diajarkan di banyak sekali sekolah menengah. Bahkan di Inggris yang bahasanya dipilih sebagai bahasa komunikasi internasional, BI dan sastra Indonesia dipalajari untuk memperoleh gelar akademik hingga dengan jenjang pascasarjana (di School of Oriental and Africans Studies, London).

Gambaran ihwal perkembangan pemakai BI bagi masyarakat gila itu belum termasuk sejumlah universitas di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi ibarat Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Universitas Nasional (Jakarta), Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), Universitas Pendidikan Indonesia (Bandung), Universitas Katolik Satya Wacana (Salatiga, Jawa Tengah) dan Universitas Negeri Malang (Malang, Jawa Timur) sudah mengajarkan BI untuk mahasiswa dari luar Indonesia yang hadir di perguruan tinggi tersebut.

Memasuki masa 21 sudah berkembang fenomena gres yang disebut sebagai era kesejagatan atau globalisasi, yang mengandung makna insan hidup dalam zaman dunia tanpa batas (borderless world). Istilah ini sering diartikan dalam konteks ekonomi saja. Hal ini tidak mengherankan sebab banyak sekali negara berupaya keras untuk mengglobalisasi ekonomi, sehingga muncul banyak sekali institusi seperti: GATT, WTO, APEC, AFTA, dan NAFTA.

Dalam kenyataan, globalisasi itu tidak spesialuntuk bidang ekonomi saja tetapi juga mengimbas ke bidang politik dan kebudayaan. Interaksi antarbangsa yang terjadi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi – sebab intinya insan yaitu insan economicus – sudah menjadikan juga terjadinya globalisasi kebudayaan. Bahasa sebagai unsur kebudayaan mempunyai peranan penting dalam era globalisasi sebagai wahana mencapai pemenuhuan kebutuhan ekonomi., disamping pemenuhan kebutuhan yang lain.

Sebagai sebuah negara berkembang dan mempunyai sumber daya alam dan budaya yang besar, Indonesia menjadi negara tujuan bagi banyak masyarakat negara gila untuk berafiliasi dengan Indonesia. Meskipun sudah ada wahana komunikasi internasional yaitu bahasa Inggris, namun banyak di antara mereka yang mendambakan untuk sanggup bertutur dengan BI dalam melaksanakan kerja samanya.

Dari segi kesiapan untuk menjadi bahasa pilihan penutur asing, BI sudah siap meskipun harus diakui masih mempunyai kelemahan, ibarat yang ditetapkan oleh sebagian jago bahasa. Untuk menjadi bahasa komunikasi yang lebih luas, BI harus berani melaksanakan efisiensi dan memperkaya kosa kata semoga sanggup menampung pengungkapan konsep modern dengan setepat-tepatnya. Di samping kelemahan juga diakui BI mempunyai kelebihan, antara lain tergolong simpel dipelajari.

Peluang ini mempunyai nilai yang amat strategis dalam upaya memposisikan BI sebagai salah satu bahasa di dunia yang sanggup menjadi “jembatan” untuk membangun perteman dekatan dengan bangsa-bangsa lain. Bagi kebudayaan juga ialah peluang yang amat baik, sebab BI menjadi “jendela”, untuk sanggup melihat keguakaragaman budaya Indonesia. melaluiataubersamaini menguasai dam bisa bertutur BI, masyarakat gila akan lebih simpel dalam mengekspresikan kebudayaan Indonesia dan menikmati perjalanan wisatanya.

Dari citra di atas mempersembahkan indikasi bahwa BI sudah menjadi wahana komunikasi yang efektif dan bisa menjalankan fungsinya dengan baik. BI sudah menjelma bahasa yang menarikdanunik minat masyarakat gila untuk berguru dan bisa menggunakannya. Minat itu makin meningkat seiring dengan tuntuan era globalisasi. Kenyataan yang sangat membanggakan itu perlu terus dijaga dan dikembangkan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: “bagaimana kebijakan training dan pengembangan selanjutnya semoga BI benar-benar menjadi bahasa yang sanggup berlompetisi dengan bahasa-bahasa lainnya?”

Berbicara ihwal kebijakan di bidang bahasa, sudah saatnya untuk diarahkan pada 2 samasukan secara proporsional. Arah pertama, yaitu kebijakan training dan pengembangan bahasa yang bersifat ke dalam dan, kedua, kebijakan arah ke luar. Kebijakan ke dalam lebih ditekankan pada training dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan kawasan sebagai kepingan dari kebudayaan serta dalam fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa persatuan dan bahasa iptek. Di samping itu juga diarahkan pada upaya pemasyarakatan penerapan BI bagi masyarakat negara Indonesia secara baik dan benar.

Seangkan arah ke luar dimaksudkan sebagai kebijakan pada pengenalan dan pengajaran BI bagi para penutur asing, ibarat halnya yang dilakukan banyak sekali negara gila dalam memperkenalkan dan mengajarkan bahasanya di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa perhatian terhadap bidang yang penting ini masih terbatas dan perlu ditingkatkan. Dalam buku “Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesusastraan Indonesia 1947-1997” halaman 2 ditetapkan ada 3 problem bahasa yang ditangani oleh Pusat Bahasa, yaitu (1) problem bahasa nasional. (2) problem bahasa daerah, dan (3) problem pengajaran bahasa asing

Masalah pengajaran BI bagi penutur gila dipandang belum ialah problem nasional dan bahkan tidak disinggung dalam buku laporan tersebut. Memang kita sudah melaksanakan banyak sekali kolaborasi kebahasaan dengan negara lain termasuk melalui Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Malaysia-Indonesia (MABBIM), namun samasukannya masih terbatas pada problem kebahasaan itu sendiri, pendidikan lanjutan (beasiswa) dan petes kebahasaan.

Oleh sebab itu, sekaranglah saatnya kita memperhatikan hal ini, sebab keberhasilan dalam meningkatkan jumlah penutur BI bagi orang gila tidak spesialuntuk mempersembahkan dampak positif pada bidang bahasa tetapi juga bidang-bidang lainnya. Sekaranglah saatnya kita mengarahkan kebijakan bagaimana memperkenalkan kebudayaan kita ke luar negeri, dan tidak lagi spesialuntuk mengarahkan pikiran pada bagaimana menangkal imbas negatif kebudayaan gila saja.

Apa yang sudah dilakukan oleh para masyarakat gila merintis dan menyebarkan pengajaran BI bagi penutur gila di 35 negara di dunia ini yaitu prestasi yang luar biasa dan patut mendapat penghargaan yang tinggi. Upaya ini harus terus didorong dan didukung secara luas apabila kita menghendaki BI sanggup menjadi bahasa internasional pilihan di samping bahasa Inggris.

Oleh sebab itu lahirnya lembaga “Bahasa Indonesia bagi Pentur Asing”, disingkat BIPA, atas inisiatif beberapa negara penyelenggara pengajaran BI sangatlah tepat. Melalui wadah ini sanggup dijalin kolaborasi BIPA antarnegara. Di samping itu BIPA juga sanggup menyelenggarakan lembaga diskusi, seminar, kongres atau konferensi ibarat yang kini sedang berlangsung, untuk mengulas banyak sekali hal berkenaan dengan pengajaran BIPA. Dalam kaitan dengan hal ini kolaborasi antara Pusat Bahasa dan Perguruan Tinggi di Indonesia dengan BIPA sangat diperlukan.

sepertiyang halnya pengajaran bahasa gila di Indonesia, pengajaran BIPA juag memerlukan tunjangan banyak sekali masukana dan pramasukana. Disamping BI itu sendiri harus terus ditingkatkan training dan pengembangannya, bahan bahasa yang akan diajarkan bagi penutur gila perlu dirancang dengan sebaik-baiknya. Diperlukan kurikulum, buku asuh (termasuk penyusunan engkaus dwibahasa), metodologi yang tepat, dan peralatan laboratorium bahasa yang memadai.

Untuk mengerakkan aktivitas pengajaran BIPA dibutuhkan sejumlah tenaga pengajar yang mempunyai kemampuan teknis dan kemamuan yang besar lengan berkuasa untuk ditempatkan di luar negeri. BIPA perlu didukung oleh tenaga pengajar yang tidak spesialuntuk menguasai BI tetapi juga memahamai bahasa penutur gila yang bersangkutan. Tenaga tersebut perlu dipersiapkan semenjak dini melalui pendidikan dan petes khusus, yang tidak spesialuntuk berasal dari tenaga Pusat Bahasa dan perguruan Tinggi saja, tetapi juga dari masyarakat atau guru BI.

Seperti halnya pengajaran bahasa Inggris bagi penutur gila dilengkapi dengan standar pengujian kemampuan atau Test of English as a Foreign Language (TOEFL), maka pengajaran BI bagi penutur gila perlu dilengkapi pula dengan instrumen yang sama. Instrumen ini amat dibutuhkan untuk banyak sekali kepentingan, terutama untuk mengetahui tingkat keahlian berbahasa. Dalam kaitan dengan hal ini, Pusat Bahasa dikala ini sedang menyebarkan masukana pengujian itu, yang didiberi nama Uji Keahlian Berbahasa Indonesia disingkat UKBI.

Sementara itu, Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata sedang melaksanakan studi ihwal pendirian “Pusat Kebudayaan Indonesia di Luar Negeri.” Lembaga ini diharapkan sanggup mempersembahkan pelayanan kepada masyarakat negara gila yang ingin berguru atau mendapat informasi ihwal kebudayaan dan pariwisata Indonesia. Dalam hal ini pengajaran BI harus dijadikan aktivitas utama, untuk mempergampang mereka mengenali dan memahami kebudayaan Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh Pusat Kebudayaan Indonesia yang didirikan oleh Prof. Koh Young Hun dari Hankuk University bersama KBRI di Korea Selatan tiga bulan yang lalu, juga memprioritaskan pengajaran BI bagi masyarakat Korea yang berminat.

Demikian beberapa hal yangd apat saya sampaikan pada konferensi ini. cepatdangampang-gampangan konferensi ini berhasil merumuskan kesepakatan yang berkhasiat bagi penyusunan kebikajan di bidang kebahasaan dan kesastraan Indonesia.
    Bahan bacaan:
  • Kongres Bahasa Indonesia VII (1998)
  • Mengemban Tugas: Pengembangan SDM, Prof. Dr. Ing- Wardiman Djojonegoro (1998)
  • Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Dr. M. Junus Melalatoa (1995)
  • Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesastraan Indonesia 1947-1997 (1998)
  • *) Disampaikan pada Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA) IV, tanggal 1 – 3 Oktober 2001, di Denpasar, Bali. 

LihatTutupKomentar