-->
Teori Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern Dan Postmodernisme
Postmodernisme dan Kritik Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern
A. Antaran;Dunia Terus Bergeser
Dunia terus mengalami sebuah proses yang tiada henti menuju perubahan demi perubahan. Paradigma perubahan selalu dipertamai dan dipandu oleh ilmu pengetahuan yang ialah ranah kognitif manusia. Bersumber pada ranah perubahan kognitif selanjutnya menuju tahap perubahan nilai (afeksi ) dan pada titik tertentu membentuk sebuah skill (performance) pada diri insan dalam bentuk sikap sikap sosial dalam kebudayaannya. Maka pergeseran paradigma kognitif dalam hal ini ilmu pengetahuan secara simultan akan melahirkan pergeseran yang signifikan pada ranah-ranah yang lain. Disinilah secara kasat mata pergeseran kehidupan insan terus mengalami gelombang yang tiada pernah berhenti, laksana gelombang peradaban yang terus bergerak nampak tiada bertepi. Gelombang peradaban yang awet tersebut dibingkai oleh hasrat insan yang terus bersemayan dalam diri. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak sanggup bertahan dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya. Secara teologis, pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme dari dinamisme menuju ke politeisme, dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu pengetahuan, dari teosentris, ke empirisme, dari empiris ke rasionalisme, dari rasionalisme ke positivisme, dari positivisme ke materialisme, dari materialisme ke idealisme dan pada tataran tertentu intuisionisme juga menerima posisinya sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai simbol sudah diciptakan insan untuk dilekatkan mewakili bahasa insan dalam menyebut pergeseran paradigma pemikiran dan pengetahuan insan dari waktu ke waktu[1]. 

Kerangka pikir atas pergeseran pengetahuan insan mengacu pada sebuah freame besar yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio insan seakan-akan sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan insan pada sebuah kehidupan yang seakan-akan nyaman dan penuh kemapanan. melaluiataubersamaini perkembangan teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme sudah menggiring insan pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Sesudah berjalan sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme menerima Koreksi dan pergeseran paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu menerima Koreksi yang cukup signifikan yang ialah mainstream gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan permasalahannya. Disinilah paper ini akan mencoba mempersembahkan paparan yang komprehensip berkaitan dengan Postmodernisme dan Koreksi ilmu pengetahuan modern.

B. Postmodernisme; Pengertian dan Konseptualisasi 
Pencetus pemikiran postmodernist, pertama kali yaitu Arnold Toynbee pada tahun 1939. sedangkan Charles Jencks[2], menegaskan juga bahwa lahirnya konsep postmodernisme yaitu dari goresan pena seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana (1934), Yang memperkenalkan istilah postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme[3]. Toynbee dianggap sebagai pencetus istilah tersebut dibuktikan dengan bukunya yang populer berjudul Study of History. Pada tahun 1960, istilah postmodernisme berhasil menembus benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. Semisal J. Francois Lyotard, yaitu satu contoh eksklusif yang sudah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai Koreksian atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai cerita hayalan hasil karya masa Modernitas[4]. Berdasar konseptualisasi ini --jika disahkan-- maka kini (tahun 2011) “kita” berada dalam zaman postmodern. Suatu zaman, di mana pramodern dan modern sudah dilewati.

Postmodernisme yaitu suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi[5], universalisasi tunggal dan kemajuan saints[6]. Postmodern mempunyai ide cita-cita, ingin meningkatkan kondisi sosial, budaya dan kesadaran akan tiruana realitas serta perkembangan dalam banyak sekali bidang. Postmodern mengKoreksi modernisme yang dianggap sudah mengakibatkan sentralisasi dan universalisasi ide di banyak sekali bidang ilmu dan teknologi, dengan pengaruhnya yang mencengkram kokoh dalam bentuknya globalisasi dunia. 

Prinsip postmodernisme yaitu meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional[7]. Kaprikornus postmodern secara umum yaitu proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.[8] Postmodernisme ialah intensifikasi (perluasan konsep) yang dinamis, yang ialah upaya terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar (meta naratif), dan penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain. Postmodern dalam bidang filsafat diartikan juga segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya dan berusaha untuk menemukan bentuknya yang kontemporer.[9]

Postmodernisme kalau diperhadapkan dengan modernisme, mempunyai posisi yang beragam. Disatu sisi modernisme dianggap tidak berhasil mengangkat martabat insan modern. Bahkan mengantarkan insan ke jurang ketimpangan. Atas dasar Koreksi ini, maka perlu gerakan dan ide-ide gres yang disebut dengan postmodernisme. Sedang sebagian lagi beranggapan, postmodernisme yaitu pengembangan dari modernitas[10]. Perbedaan pendapat dua kelompok terkena pemahaman Post-modernisme cukup tidak sama secara signifikan. Satu konsep menyampaikan bahwa modernisme berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks yang kontras. Sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme yaitu bentuk tepat dari modernisme, menyerupai pijakan tangga yang satu dengan tangga diberikutnya secara berurutan. Dalam konsep ini kita tidak sanggup masuk jenjang tangga postmodernisme tanpa melalui tahapan tangga modernisme.[11]

Di tengah perdebatan dua konsep di atas, terdapat pendapat ketiga yang ingin menengahi dua pendapat yang kontradiktif tadi. Kata “Post” dalam sebutan postmodernisme bukan spesialuntuk berarti “sesudah” (masa diberikutnya), postmodernisme yaitu usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis yaitu akhir dari tekanan yang bersumber dari budi intelektual insan yang terus bermetamorfosis. Disinilah postmodernisme muncul sebagai sebuah ide ke dalam kancah perdebatan dengan banyak sekali lingkup Diskursus dan dengan segala dimensinya.

C. Lingkup Discourse[12] dan Dimensi Postmodernisme
Fenomena postmodern mencakup beberapa aspek banyak dimensi dari masyakat kontemporer. Postmodern yaitu suasana intelektual yang bersifat Ide atau ”isme” postmodernisme. Para hebat saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernisme. Tetapi mereka sudah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universalisme ilmu pengetahuan modern. Postmodem menolak klarifikasi yang harmonis, universal, dan konsisten yang ialah pecahan identitas dasar yang membuat kokoh dan tegaknya modernisme. Kaum postmodernis mengKoreksi dan menggantikan tiruana itu dengan sikap menghargai kepada perbedaan dan penghormatan kepada yang khusus (partikular dan lokal). Lalu memmembuang yang universal. Postmodernisme menolak pemfokusan kepada inovasi ilmiah melalui metode sains. Metode ilmiah ini ialah fondasi intelektual dari modernisme untuk membuat dunia yang seakan-akan lebih baik pada masa-masa pertama masa pencerahan. Metode ilmiah sudah mengantarkan modernisme dalam bentuk praktisnya banyak sekali teknologi.

Dari paparan ini dimaksudkan bahwa ciri dari postmodern yaitu melingkupi hal-hal secara konseptual ide yang meliputi[13]: Pertama Ide yang menghendaki penghargaan besar terhadap alam ini sebagai Koreksi atas gerakan modernisme yang mengeksploitasi alam. Kedua Ide yang menekankan pentingnya bahasa (Hermeneutik, Filologi) dalam kehidupan insan dengan segala konsep dan analisanya yang kompleks, ini sebagai antitesa atas kondisi modernisme atas kuasa tafsir oleh mesin birokrasi ilmu pengetahuan. Ketiga, Ide besar untuk mengurangi kekaguman terhadap ilmu pengetahuan, kapitaslisme, dan teknologi yang muncul dari perkembangan modernisme. melaluiataubersamaini alasan bahwa tiruana itu sudah melahirkan konstruksi insan sebagai obyek yang mati dalam realitas kehidupannya. Sehingga menjauhkan insan dari humanismenya itu sendiri. Keempat, ide pentingnya inklusivitas dalam mendapatkan tantangan agama lain atas agama dominant sehingga terbuka munculnya ruang dialogis. Ini muncul sebagai akhir menjamurnya dan tumbuhkembangnya realitas modernis yang menempatkan ideologi sebagai alat pembenar masing-masing. Kelima sikap yang cenderung permisive dan mendapatkan terhadap ideologi dan juga agama lain dengan banyak sekali penafsiran. Keenam,secara kasuistik munculnya ide pergeseran dominasi kulit putih di dunia barat. Keenam, ialah ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong kebangkitan golongan tertindas, menyerupai golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang tersisihkan. Ketujuh Ide ihwal tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari tiruana pihak dengan cara yang sanggup dan memungkinkan terpikirkan oleh insan secara menyeluruh.

Ciri yang cukup lebih banyak didominasi dari postmodern yang sudah disebutkan diatas yaitu mengacu pada ide besar untuk mengurangi kekaguman dan mempersembahkan Koreksi terhadap ilmu pengetahuan, dan teknologi, ini berarti mengambarkan adanya pergeseran yang siginifikan atas era modernitas menuju era postmodernisme. Realitas yang cukup terang bagi gerakan postmodernisme yaitu sikapnya dalam memahami fenomena modern yang berjulukan "pengetahuan", khususnya yang menyangkut pengetahuan sosial. Ia memperkarakan ihwal "Apa itu pengetahuan yang benar" secara genealogis dan arkeologis. Artinya, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu sudah beroperasi dan menyebarkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual dengan segala macamnya contohnya ihwal "kegilaan", "seksualitas", "manusia", ”gender” dan sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya yaitu situs-situs produksi pengetahuan. Hal ini membawa implikasi tumbuhnya gerak mekanisme-mekanisme terselubung sebagai aparatus kekuasaan. Yakni kekuasaan untuk "mendefinisikan" siapa kita, untuk menerangkan posisi dan kedudukan kita, untuk menggambarkan kita dan mereka, untuk mendeskripsikan yang superior dan inferior dan lain-lain. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan yaitu agen-agen kekuasaan yang demikian itu. Meski kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif melainkan juga kadang positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru). Akan tetapi secara umum kuasa ilmu pengetahuan sudah memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan. Modernitas atas kuasa ilmu pengetahuan ternyata sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillance), lewat "penormalan", regulasi dan disiplin untuk masing-masing posisi.

Untuk itulah kehidupan dunia harus diselamatkan dari proses kolonialisasi ilmu pengetahuan. Postmodernisme dengan gerakan postkolonialismenya menggempur habis-habisan jerat kuasa pengetahun yang bersembunyi atas nama bendera modernisme. Disinilah bisa kita temukan tabiat menonjol dari era postmodernisme mengandung kecenderungan diantaranya; mengangkat konsep pluralisme, Mengacu nilai yang bersifat A Historis, pemfokusan pada konsepsi empiris dalam arti konsep fenomenologi dialektis, dan Penekanan pada nilai individualitas diri insan sebagai sang otonom sehingga postmodernisme menolak nilai-nilai absolutisme, universalitas, dan homogenitas.[14] Watak utama postmodernisme tersimpul dalam konsep Koreksi ideologi besar atas ilmu pengetahuan yang disebut dengan dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida . Konsep dekonstruksi Derrida ini ialah penyempurnaan dari ide destruksi yang dipelopori oleh Heidegger. Meski diantara derrida ada sejumlah persamaan dan perbedaannya dalam memandang realitas sebagai sebuah wangsit pemikiran manusia.

D. Persoalan – Persoalan Postmodernisme 
Beberapa kecenderungan umum yang mendasari gerakan postmodernisme yang bisa dianggap sebagai kerangka konseptualisasi, muculnya gerakan postmodernisme yaitu kasus – kasus yang menyangkut hal - hal sebagai diberikut: pertama, segala ‘realitas’ yaitu konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis. Kedua, sikap Skeptis dan kritis diri terhadap segala bentuk keyakinan ihwal ‘substansi’. Ketiga, Realitas bisa ditangkap dengan banyak cara (pluralisme). Keempat, segala ‘sistem’ konotasi otonom dan tertutup, diganti dengan ‘jaenteng’, ‘relasionalitas’ ataupun ‘proses’ yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis. Kelima, segala unsur ikut saling memilih dalam interaksi jaenteng dan proses dalam interelasinya dengan bebagai aspek, tidak spesialuntuk sebagai oposisi biner (either-or ) dengan dua sisi saja. Keenam, segala hal harus dilihat secara holistik banyak sekali kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya, emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan sebagainya. Ketujuh, segala hal dan pengalaman yang selalu dimarginalisasi oleh pola ilmu pengetahuan modern dikembalikan ke tengah menjadi fream pemikiran.[15] Misalnya, gender, feminisme kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama. 

Dalam diskusi lanjutan seringkali kata postmodernisme dan postmodernitas diperdebatkan. Walaupun bekerjsama konseptualisasi ini cukup bisa dimengerti bahwa modernisme berarti isme pemahaman ihwal ranah ide kognitif. Sementara Postmodernitas, ialah istilah yang biasanya dipakai untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat post-industri. Sedangkan postmodernisme dimengerti sebagai wacana pemikiran gres yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep (isme-isme) modernisme menyerupai adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa ihwal dunia, dan sejarah linier[16] 

Persoalan-persoalan postmodernisme muncul, ialah gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial gres yang tidak sama dengan institusi-institusi modernitas. Postmodernisme prinsipnya yaitu sejajar dengan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang tak bisa lagi dikendalikan. Suatu dunia yang mrucut (runaway world). Kaprikornus apa yang terjadi kini ini yaitu “modernitas yang sadar diri[17]” 

Postmodernisme memang bagaikan rimba belantara, postmodernisme suatu istilah yang “memayungi” segala anutan pemikiran yang satu sama lain seringkali tak persis saling berkaitan. Dalam postmodernisme gagasan-gagasan menyerupai “filsafat”,“rasionalitas”, dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara radikal. Problem kasus postmodernisme yaitu problem keterbatasan bahasa, khususnya keterbatasan fungsi deskriptif bahasa yang sangat terbatas. Bahasa haruslah dilihat melalui fungsi transformatifnya. Muncullah metafor mula-mula diperkenalkan oleh Ricoeur—yang sanggup menjadi titik terang untuk melihat persoalan-persoalan yang diajukan oleh postmodernisme. Metafor tidak menyampaikan suatu kebenaran absolut, melainkan suatu “kebenaran yang bertegangan” (tensional truth)[18]. 

Postmodernitas harus dimengerti sebagai gaya berpikir yang curiga terhadap pengertian klasik ihwal kebenaran, rasionalitas, identitas, obyektivitas, curiga terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan satu kerangka kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan. Berlawanan dengan norma-norma pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia sebagai yang kontigen, tak berdasar, tak seragam, tak stabil, tak sanggup ditentukan, seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme terhadap obyektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang terdiberikan serta koherensi identitas. Postmodernisme juga dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan, ketakberdamasukan; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian. Demikian inilah segala aspek yang mennjadi persoalan-persoalan dalam mendiskusikan posmodernisme.

E. Kritik Postmodernisme atas Ideologi Ilmu Modern
Postmodernisme ialah suatu fenomena yang menggejala dalam kancah ide dan pemikiran. Kelahiran postmodernisme ialah akumulasi faktual atas Koreksi modernisme yang dirasakan kurang memenuhi tuntutan inteletual dalam menuntaskan problem-problem sosial dan kemanusian. Di tengah pemikiran dan ide postmodernisme yang carut marut, minimal sanggup dikemukakan sejumlah Koreksi ideologis yang diajukan oleh pemikir postmodernis atas gerakan modernisme,yang mencakup beberapa aspek hal-hal sebagai diberikut :[19]
  • Pertama, penafian atas ke-universal-an suatu pemikiran (totalism). Para penganut postmodernisme beranggapan, tidak ada realita yang berjulukan rasio universal. Yang ada yaitu relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, perlu dirubah dengan cara berpikir dari “totalizing” menuju “pluralistic and open democracy” dalam segala aspek kehidupan. Dari sini sanggup diketahui, betapa postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis. Ini terang sangat tidak sama dengan konsep metode ilmiah dan tanda-tanda ilmu pengetahuan modern yang menitikberatkan pada konseptualisasi dan universalisasi teori. Misalnya kita mengenal konsep induksi, deduksi, silogisme dan lain sebagainya yang menjadi contoh pokok untuk menemukan ide universal akan sebuah pengetahuan modern. Disinilah postmodernisme beropini tiruananya itu hatus ditinggalkan dan ditinjau ulang.
  • Kedua, pemfokusan adanya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus-menerus yang tiada henti. Hal itu sebagai solusi dari konsep yang permguan dan mapan yang ialah hasil dari kerja panjang modernisme. Postmodernis mempersembahkan Koreksi bahwa spesialuntuk melalui proses berpikirlah yang sanggup membedakan insan dengan makhluk lain. Jika pemikiran insan selalu terjadi perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis akan sanggup menjadi penggerak untuk perubahan dalam disiplin lain. Postmodernisme menolak segala bentuk konsep mendasar —bersifat universal—yang bernilai sakralitas seolah menempati posisi sebagai referensi atas konsep-konsep lain. Manusia postmodernis diharuskan selalu kritis dalam menghadapi tiruana permasalahan, termasuk dalam mengkritisi prinsip-prinsip dasar – dasar pengetahuan modern yang dianggap baku dan mapan.
  • Ketiga, tiruana jenis ideologi harus dikritisi dan ditolak. Selayaknya dalam konsep diberideologi, ruang lingkup dan gerak insan akan selalu dibatasi dengan mata rantai keyakinan prinsip yang permguan. Sedang setiap prinsip permguan dengan tegas ditolak oleh kalangan postmodernis. Oleh karenanya, insan postmodernis dilarang terikat pada ideologi permguan apapun, termasuk ideologi agama sekalipun.
  • Keempat, setiap eksistensi obyektif dan permguan harus diingkari. Atas dasar pemikiran relativisme, insan postmodernis ingin membuktikan tidak adanya tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran,kebenaran agama sekaligus. Ini tentu sangat tidak sama dengan paradigma modernisme pada ilmu pengetahuan modern yang sangat menekakan obyektifitas dalam prosesdur ilmiah untuk mendapatkan kebenaran. Ungkapan Nietzsche(1844-1900), “God is Dead”[20]. Atau ungkapan lain menyerupai “The Christian God has ceased to be believable”, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak kalangan di banyak negara Barat, Sebagai bukti atas usaha propaganda mereka yang mengusung tema konsep nihilisme dalam filsafat posmodernisme[21].
  • Kelima, tiruana jenis epistemologi harus dibongkar. Kritik tajam secara terbuka ialah asas pemikiran filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap postulat—yang bersifat prinsip—yang berkaitan dengan keuniversalan, kausalitas, kepastian dam sejenisnya akan diingkari. Berbeda halnya pada zaman Modernis, tiruana itu sanggup diterima oleh insan modernis. Ini mengandung arti bahwa rencana postmodernisme yaitu dalam rangka mengevaluasi kembali segala pemikiran yang pernah diterima pada masa modernisme, dengan cara mengkritisi dan menguji ulang. Meskipun pada prakteknya susah sekali untuk menemukan kerangka epistemologi yang terang dari gaya pemikiran posmodernisme itu sendiri.
  • Keenam, postmodernisme mempunyai ide besar melaksanakan pengingkaran penerapan metode permguan dan paten dalam menilai fakta dan realitas serta ilmu pengetahuan. Jika dilihat secara spintas, postmodernist cenderung menerapkan metodologi berpikir “asal comot” dengan mainstream pemikiran yang kurang terang dan tidak beraturan. Postmodernisme seolah tampak menghalalkan segala cara sehingga cenderung bebas nilai. Namun ini perlu disadari bahwa postmodernisme hakekatnya Postmodernisme ingin membuka banyak sekali penafsiran gres atas kekakuan yang diciptakan oleh paham modern. Era postmodernisme yaitu era pemikiran dengan pola penggabungan dari banyak sekali jenis pondasi pemikiran filosofis. Posmodernist tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat. Hal ini dilakukan untuk menentang kaum tradisional yang tidak mempunyai pemikiran maju sebab mengacu pada satu asas pemikiran saja. Postmodernisme mengakui bahwa apa yang ada kini ini yaitu apa yang disebut dengan post philosophy, puncak perbedaan dengan filsafat modernis. melaluiataubersamaini jenis filsafat inilah, mereka ingin meyakinkan kaum intelektual bahwa dengan berpegangan prinsip tersebut sanggup meraih banyak sekali hal yang menjadi impian dalam kehidupan era kontemporer[22].
Demikian inilah poin-poin penting Koreksi ideologis ilmu pengetahuan modern yang digencarkan oleh kaum posmodernisme. Dari paparan tersebut tema besar yang diusung oleh kaum posmodernisme yaitu kerangka dekonstruktif (perombakan total) atas kuasa ilmu pengetahuan modern yang berbasis rasionalisme, obyektivitas, strukturalis, sistematisasi, totalisasi, universalisasi dan mengenyampingkan nilai – nilai lain yang justru cukup siginifikan menghipnotis realitas. Hal –hal lain inilah yang dipikirkan oleh postmodernisme sehingga menjadi gosip sentral dalam merumuskan kerangka konseptual ide dan pemikirannya. 

F. Teori-Teori dan Teroritikun Postmodernisme 
Teori sosial postmodern mengalami keterpecahan pendapat dan anutan diantara masing-masing tokohnya. Berkaitan dengan kasus ini posisi utama tokoh-tokoh teoritikus sosial postmodern dikelompokkan dalam kategori sebagai diberikut [23]
  • Pertama, disebut sebagai postmodernis ekstrem, yang beropini bahwa masyarakat modern sudah digantikan oleh masyarakat postmodern. Jean Baudrillard yaitu pemikir yang sering dikategorikan sebagai kelompok ini, sebab ia percaya bahwa masyarakat sudah berubah secara radikal. Paul Virilio juga termasuk pemikir yang sering dikategorikan dalam kelompok ini. 
  • Kedua yaitu postmodernis moderat, yang mengungkapkan bahwa perubahan memang sudah terjadi, dan postmodernitas tumbuh-berkembang bersama dengan modernitas. misal dari tokoh ini yaitu Frederic Jameson, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe [1985], David Harvey [1989] serta para feminis postmodern menyerupai Nancy Fraser, Donna Haraway dan Linda Nicholson. 
  • Ketiga disebut sebagai posisi teoritis, Kelompok ini berpendapat: ketimbang mempersoalkan modernitas dan postmodernitas sebagai era kesejarahan atau waktu, lebih baik melihat modernitas dan postmodernitas sebagai kekuatan yang selalu menjalin korelasi seiring sejalan satu sama lain. Dengah menempatkan postmodernitas secara berkesinambungan berupaya untuk selalu menyampaikan keterbatasan–keterbatasan modernitas. posisi ketiga ini sanggup dianggap sebagai alternatif di luar sikap yang mendudukkan modernitas dan postmodernitas dalam kategori waktu. Representasi terpenting dari anutan ini tak lain yaitu Jean-Francois Lyotard.[24]
Disamping pembagian terstruktur mengenai teoritikus postmodernisme tersebut diatas, maka perlu rincian secara lebih konkret.walaupun untuk menemukan kekonkretan itu sendiri dalam wacana posmodernisme sangat suli. Ini menyangkut luasnya bidang kajian yang dicakupnya. Mulai dari seni, arsitektur, musik, film, sastra, sosiologi, antropologi, komunikasi, teknologi bahkan hingga pada fashion Namun diyakini bahwa paradigma teori postmodern terdapat sejumlah teori yang menjadi unsur pembangun dari kokohnya postmodernisme sebagai sebuah gerakan pemikiran dan ide gagasan di tengah-tengah masyarakat.[25] Teori – teori tersebut yaitu yaitu pertama teori dekonstruksi (Derrida), Kedua, teori estetika resepsi (Jauzz), Ketiga, teori multikultural (Storey), Keempat, teori intertekstual (Kristeva), Kelima, teori hipersemiotik/hiperealitas (Baudrillard), Keenam teori hegemoni (Gramsci), dan ketujuh Teori konsep postkolonial (E.Said)[26]. Berikut klarifikasi dari masih-masing teori dan sejumlah tokohnya.

Teori dekonstruksi sebagai teori posmodernisme yang memandang realitas sebagai ciptaan, atau ciptaan kembali. Teori ini memposisikan realitas yang akan diketahui atau dipahami sebagai realitas hasil ciptaan atau hasil ciptaan kembali[27]. Disinilah dikatakan bahwa realitas itu sebagai realitas dekonstruksi, yang secara paradigmatis ialah hasil dekonstruksi postmodernisme atas modernisme. Teori dekonstruksi Derrida berposisi sebagai teori utama dalam membentuk postmodernisme. Konsepsi dasar pemikiran dekonstruktif ini yaitu ide pemikiran yang menempatkan segala realitas sebagai ditentukan oleh tanda. Tanda tidak memungkinkan untuk sanggup menerangkan segala suasana nya secara utuh untuk itu perlu di gempur dan dipertanyakan kembali secara kritis.[28]

Teori estetika yang mengabstraksikan keindahan yang bersifat konvensional terkena estetika realisme (modernisme) Barat. Konsep teoretis estetika postmodernisme hingga ketika ini yang pernah ada antara lain estetika parodi, simulasi atau duplikasi, kitsh, pastis (pastiche), camp, skizofrenia. Secara teori, teori estetika yang selaras dengan konsep dekonstruksi yaitu teori estetika resepsi Hans Robert Jauzz, yang sesungguhnya ialah bentuk penerapan dari konsep estetika yang di dalam teori dekonstruksi Derrida gres muncul secara implisit. [29] mendiskusikan ihwal flasafaj keindahan sangat kompleks. Mengandung budi intersubyektif yang sangat luar biasa. Estetika senantiasa disusun dan ditentukan oleh sejumlah variabel yang sangat selaras dengan konsep-konsep konotasi,metaforis simbolis dan lain sebagainya.[30]

Teori multikultural memuat konsep bahwa dalam hidup ini banyak kultur, dan juga kode budaya. Kode budaya multikultur itu tidak saja berupa keaguakaragaman kode budaya belaka, yang berdiri masing-masing kode budaya dan kultur, akan tetapi juga sebagai kode budaya yang—sebagai proses komunikasi sosial dalam konteks silang budaya—sudah pula menjadi kode dan milik tiruana kultur. Kode budaya sudah diterima, dipahami, dan sudah menjadi milik tiruana kultur ini tidak lain ialah kode multikultur. Teori multikultural ini hakekatnya ialah bentuk penerapan dari konsep pemikiran utama dalam teori dekonstruksi yakni pluralisme[31]. 

Teori interteks Julia Kristeva mempunyai pandangan bahwa teks (fakta) tidak otonom (berdiri sendiri) dan individual (terpisah, terisolir), akan tetapi ada dalam korelasi adanya teks-teks (fakta-fakta) lain. Sifat interteks itu tidak saja secara antarteks (berhubungan antara teks dengan teks yang di luar), tetapi juga intrateks (berhubungan antara teks dengan teks yang sama-sama berada dalam satu teks). Teori ini juga ialah bentuk aplikasi dari konsep teori implisit yang terdapat dalam teori dekonstruksi Derrida, yaitu konsep teori trace (jejak, bekas, atau silsilah) dan present-abscent (kehadiran-ketidakhadiran).[32] Hal ini diterapkan dalam memandang dan memposisikan realitas postmodern.[33]

Teori hipersemiotik atau disebut juga hiperealitas Baudrillard—dengan mendasarkan diri pada Umberto Eco—ini menegaskan bahwa realitas yaitu tiruan, bohong. Dalam korelasi dengan realitas yang diciptakan, hal itu berarti, realitas sengaja ditiruankan demi suatu kepentingan tertentu. Dalam konteks penelitian ini, pemalsuan realitas itu dipandang dalam dua dimensi. Pertama, realitas ditiruankan penguasa yaitu demi kepentingan politik kekuasaannya, dan kedua, realitas tiruan itu wujud sebagai realitas tiruan pula oleh pihak penentang rezim penguasa.

Jika pemalsuan realitas oleh rezim penguasa mempunyai tujuan meabadikan kekuasaan, pemalsuan oleh penentang kekuasaan bertujuan membongkar (mendekonstruksi) realitas tiruan penguasa sebagai usaha membuat (atau mengembalikan) realitas yang seungguhnya yang dianggap sebagai realitas yang benar. Jika pemalsuan oleh rezim penguasa ialah cara perwujudan politik kekuasaannya, maka pemalsuan oleh penentangnya ialah cara pembongkaran politik kekuasaan rezim penguasa tersebut.[34] 

Teori hegemoni (dan dominasi) Gramsci, juga ialah bentuk penerapan dari salah satu konsep teoretis implisit dalam teori dekonstruksi Derrida, tepatnya konsep pemikirannya yang secara postmodernis menentang metanarasi[35] yang dimiliki modernisme sebagai realitas universe (semesta) yang menguasai realitas narasi-narasi kecil—karena dianggap the others. Teori hegemoni oleh Gramsci dirumuskan sebagai teori pelaksanaan politik kekuasaan otoritarianisme, totalisme, sentralisme suatu rezim penguasa secara konstitusional untuk mencapai tujuan pengakuan kekuasaan di samping kelancaraan pelaksanaan kekuasaan. Namun, meskipun pelaksanaannya konstitusional, berada di bawah (legitimasi) Undang-undang, diasumsikan masih muncul unsur-unsur tertentu yang mengganggu kelancaran kekuasaan, sebagai manifestasi ketidakpuasaan politis, maka oleh Gramsci teori ini dilengkapi dengan teori dominasi, yakni teori pelaksanaan kekuasaan secara militer untuk menumpas dengan kekerasan unsur-unsur pengganggu jalannya kekuasaan, yang berposisi menjadi komplemen pelaksanaan kekuasaan hegemoni yang konstitusional. Teori ini ialah pengungkap atau pembongkar realitas hegemoni (dan dominasi) politik kekuasaan suatu rezim penguasa.[36]

Melalui fenomena hegemoni sebagai indikasi eksistensi fenomena konflik postmodern Sesuai dengan teori dekonstruksi yang dipergunakan sebagai teori utama, dan sesuai dengan paradigma postmodernisme yang melandasi sistem berpikir keseluruhan wacana postmodernisme ini, konflik tersebut sesungguhnya ialah konflik perlawanan dan usaha (sebagai konflik dekonstruksi) kelompok inferior terhadap superior.

Konflik itu tidak lain yaitu konflik postkolonial, yakni dekonstruksi kelompok inferior terhadap cara-cara kekuasaan kolonialisme modern pihak superior sebagai koloni penguasa modern, dengan tujuan membongkar dan menghentikan kolonialisme kekuasaan tersebut, dan menggantikannya dengan cara-cara kekuasaan demokratis postmodern (postdemokrasi). Didasarkan atas fenomena itu maka teori konflik yang dipergunakan dalam analisis teori konflik postkolonial yang dikembangkan oleh Edward Said (dan Foucault) terutama atas konsep teoretis konflik politik dan kekuasaannya. Sebab, pada hakekatnya konflik tersebut ialah perperihalan antara postmodernisme dengan modernisme. Secara spesifik, teori konflik postkolonial ini mendukung teori dekonstruksi dalam mengungkap fenomena konflik wacana modernisme dan postmodern sebagai konflik postkolonial.[37] 

Sebagai inti substansi dari paparan diatas kita bisa menemukan sebuah pemahaman yang lebih komprehensip. Diyakini bahwa pertama kelahirannya postmodernisme ialah Koreksi para teoritikus terhadap arus modernism yang semakin menggusur humanism dari insan sendiri. Modernisme berbasis materialism dan konsumerisme yang merusak lingkungan dan menguras semangat serta nilai masyarakat. Posmodernisme merespon terhadap inti pilsafat modernism. Nietzsche, mengKoreksi Modernism (sains) sebagai kecurangan yang mengklaim kebenaran yang tetap, netral dan adil padahal sesuatu itu yaitu tidak bisa dibenarkan. Penjelasan ilmiah bukan klarifikasi yang sebenarnya; itu spesialuntuk menghasilakan deskripsi yang rumit. Sedangkan Foucault curiga bahwa sains bukan disiplin netral menyerupai diklaim kaum Modernis, ada banyak teori bersaing dan berkompetisi dalam birokrasi kuasa pengetahuan. Teoritikus lain semisal Baudrillard merasa curiga terhadap tugas media massa sebagai wujud dari modernisasi yang sudah banyak melaksanakan kebohongan. “Apakah kita benar-benar melihat apa yang terjadi? Siapa menyampaikan hal itu? INI seakan-akan bahasa yang sanggup diwakili untuk menerangkan kecurigaan Boudrillard. Bahkan ia curiga bahwa perang teluk spesialuntuklah drama layar kaca, tidak benar-benar terjadi. ” Peperangan modern yaitu peperangan cyber,”. Menurut kaum postmodernis tiruana fenomena modernisme yaitu sebuah rekayasa penuh kepentingan dari kegiatan kapitalisme. Baudrillard melihat kapitalisme sebagai sesuatu yang mengubah insan menjadi benda[38]. Demikian inilah Koreksi mendasar atas ideologi pengatahuan modern yang dilakukan oleh Postmodernisme. Kelompok posmodernisme meyakini bahwa kemajuan modernisme yang tidak terbendung sudah membikin dunia kacau balau yang menimbulkan dampak – dampak problem kemanusiaan yang tiada berujung. Misalnya Pertama, Pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spiritual dan material, insan dunia, dsb., sudah mengakibatkan
obyektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini sudah mengakibatkan krisis ekologi global dunia; Kedua, Pandangan modern yang bersifat obyektivitas dan positivitis jadinya menjadikan insan seolah obyek juga, dan masyarakatpun direkayasa sebagai mekanistik mesin. Akibatnya masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi; Ketiga Dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris diwajibkan menjadi standar kebenaran tertinggi. Sehingga nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Dampaknya timbullah disorientasi moral religius, yang pada gilirannya menimbulkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dst.: Keempat, Gerakan Materialisme. Materialisme secara ontologis selalu diiringi pula dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk mempunyai dan mengontrol hal-hal material. Kelima, Gerakan Militerisme. Norma-norma religius dan moral di era modern tak lagi berdaya, membendung sikap manusia, maka norma umum obyektif pun cenderung hilang juga. Akibatnya, kekuasaan yang menekan dengan bahaya kekerasan yaitu satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang dari hal ini yaitu militerisme dengan persenjataan nuklirnya sudah memporak porandakan peradaban manusia. INI fenomena masyarakat modern yang paling mengerikan. 

Maka disinilah posisi strategis semangat postmodernisme untuk menyelamatkan insan dengan segala dunianya dari kekacauan dunia yang lebih parah. Meskipun juga pada tahap tertentu ide-ide besar ihwal posmodernisme itu sendiri juga ialah gaya pemikiran yang penuh kekacauan. Diakui bahwa postmodenisme intinya mengalami absurditas secara definisi dan konseptual. Tetapi secara substansi postmodernisme secara umum mengajarkan sebuah dasar pemikiran yang menempatkan sensibilitas budaya secara proporsional dan tanpa nilai absolut.

Dalam kerangka menyandingkan paradigma modernisme dan postmodernisme diperoleh sebuah ilustrasi sebagai diberikut:[39]
  • Modernism Postmodernism
  • Purpose (Tujuan) digeser sebagai Play (Permainan) 
  • Design (Rencana) digeser sebagai Chance (Kesempatan) 
  • Hierarchy (Hirarki) digeser sebagai Anarchy (Anarkhi) 
  • Centring (Berpusat) digeser sebagai Dispersal (Tersebar) 
  • Selection (Seleksi) digeser sebagai Combination (Kombinasi) 
melaluiataubersamaini memperhatikan bagaimana kata-kata yang penerapan symbol bahasaa oleh modernisme bernuansa yang besar lengan berkuasa akan kemampuan kuasa mekanistik birokratis subyek pemikir untuk menganalisa, menyusun, mengontrol dan menguasai. Sedangkan, yang berada di bawah kategori simbol-simbol posmodernisme diberindikasi kekuatan yang sama diantara subyek ketidakmampuan (inability) dari subyek pemikir untuk menguasai atau mengontrol –sehingga mereka harus meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya dalam keberagaman. Demikian inilah titik perbandingan secara konseptual modernisme dan era posmodernisme.

G. Kesimpulan 
Perubahan dan pergeseran yaitu nafas kehidupan manusia. Perubahan demi perubahan sudah terjadi dan dialami oleh realitas pengetahuan manusia. Sejak zaman kuno, pertengahan, modern dan posmodernisme pemikiran insan mempunyai karakteristiknya masing-masing. Masing – masing periode mempunyai kecenderungan yang tidak sama – beda sesuai dengan dialektika budi yang dikembangkan oleh insan dalam menghadapi realitasnya. 

Berkaitan dengan postmodernisme mengandung sejumlah konseptualisasi yang kompleks. Postmodernisme mempunyai pengertian yang cukup ambigu. Postmodernisme ialah adonan dan peleburan dari berbagaia gaya pemikiran filosofis. Yang ketiruananya dirangkum dan diikat oleh sebuah budi unik dan seolah – olah tiada batasan dengan rambu-rambu yang faktual dan jelas. Kerangka konseptual itu contohnya ruang diskursive yang dikaji, persoalan-persoalan yang dicoba ditemukan jawabanannya oleh kaum posmodernisme dan teori-teori posmodernisme yang dilontarkan oleh para teoritikus ilmu pengetahuan. Postmodernisme yaitu suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan saints.

Tend pemikiran dan ide postmodernisme sanggup di rasakan gaungnya, khhususnya wacana pemikiran ilmu sosial. Teori-teori konseptual yang menggiring era postmodernisme menerima perhatian signifikan dalam kancah perdebatan keilmuan ketika di kalangan masyarakat dan akademisi disibukkan dengan diskusi yang menyangkut tema-tema teori dekonstruksi (Derrida), teori estetika resepsi (Jauzz), teori multikultural (Storey), teori intertekstual (Kristeva), teori hipersemiotik/hiperealitas (Baudrillard), teori hegemoni (Gramsci), dan Teori konsep postkolonial (E.Said). 

Ciri dari postmodern yaitu melingkupi hal-hal secara konseptual ide melaksanakan Koreksi ideologi iolmu pengetahuan modern yang meliputi: pengangkatan derajad martaba manusi. bahasa semoitotik Hermeneutik, Filologi sebagai language game. ialah ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong kebangkitan golongan tertindas, menyerupai golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang tersisihkan. Ide ihwal tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari tiruana pihak dengan cara yang sanggup dan memungkinkan terpikirkan oleh insan sehingga hal- hal yang mapan dan permguan harus di dekonstruksi. Wallahu a’alam bis syawab

DAFTAR PUSTAKA;
  • Benhabib, Seyla, Epistemologies of Postmodernism:A Rejoinder to Jean - Francois Lyotard,Autum:Telos press, JSTOR,1984 
  • Bertens, Hans, The Idea Of The Postmodern Canada,USA:Routledge: 1995
  • Calhoun, Craig, Postmodernism as Pseudohistory:Continuitis In the Complexities of Social Action,Chapel Hill: University of North Carolina.1992
  • Derrida, Jacques , Writing and Difference, Translated, with an introduction and additional notes, by Alan Bass,London :Routledge, 2001
  • Djelantik, A.A.M, ESTITIKA:Sebuah Pengantar, Bandung:Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, 1999.
  • Habib, M. A. Rafey, A History of Literary Criticism From Plato to the Present; (Main Street, Malden,USA: Blackwell Publishing, 2005
  • Hassan, Ihab , The Dismemberment of Orpheus: Toward a Postmodern Literature,New York: Oxford University Press, 1982
  • Jencks,Charles, The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed. ,London: Academy Editions, 1984
  • Lash, Scoot , Sosiologi Postmodernisme, Jakarta:Kanisius,2004 
  • Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri;sintesa filosofis makhluk paradoks,Jakarta: Gramedia, 1985 
  • Lyotard, Jean , The Postmodernisme and Condition, A Report on Knowledge, Oxford:Manchester University press,1984 
  • Norris, Christopher , Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Yogyakarta:Arruss, 2003
  • O’Donnel, Kevin, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius,2009
  • Peterson, Nancy J. , History,Postmodernism, and Louise Erdrich's T racks , Autum;JSTOR,2008.
  • Richhard , Karua Harland,Superstrukturalisme;Pengantar komprehensip kepada semiotika, strukturalisme dan poststrukuralisme, Yogyarta;Jalasutra, 2006.
  • Rosenberg,Alex, Philosophy of Science;A Contemporary Introduction, New York:Routledge, 2005
  • Siswanto,Joko, Sistem- system Metafisika Barat,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998 
  • Slocombe, Will, Postmodern Nihilism: Theory and Literature New york: Routledge, 2006
  • Sugiharto, Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.,Yogyakarta: Kanisius. 2000. 
  • Turner, Bryan S, Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas,Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2000.

LihatTutupKomentar