-->
Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Pembangunan Karakter
Peran Pendidikan Kewargguagaraan dalam Pembangunan Karakter 
Berkowitz mewaspadai efektifitas dari pendidikan huruf di kalangan peserta didik di sekolah.
“It is difficult to discuss the effectiveness of character education without first considering its goals. The central goal of character education is the development of character in students. Therefore,before we address the research on effective character education, we need to consider what we mean by character and its development. Character can be defined in various ways and is indeed used I different ways in common speech. We consider someone “a character”if they act a typically. We also commonly refer to “having character”,but sometimes that character is good or bad. It is unlikely that a school that proposes a charactereducation initiative is interested in either generating a “bunch of characters” or promoting the development of “bad character” in students. What we really mean in the field when we invoke character is sociomoral competency”. (Berkowitz et. all., 2004: 73) 

Keraguan Berkowitz ibarat diungkapkan di atas berangkat dari suatu pandangan bahwa huruf mempersaratkan menyatunya ucapan dan tindakan dalam kategori “baik”, yang kemudian diejawantahkan dalam relasi kehidupan sosial. Oleh lantaran itu bagi Berkowitz, pendidikan huruf berarti pula kompetensi sosiomoral. Secara etimologis, istilah “karakter” lebih dekat pada perspektif psikologis atau sifat kejiwaan. Karakter berkaitan eksklusif dengan aspek kepribadian (personality), sopan santun atau kebijaksanaan pekerti, tabiat, watak, sifat kualitas yang membedakan seseorang dan yang lain atau kekhasan (particular quality) yang sanggup menjadikan seseorang terpercaya dalam kehidupan bersama orang lain.

Karakter berkenaan dengan keseluruhan performance seseorang dalam diberinteraksi dengan lingkungannya. Oleh lantaran itu di dalam huruf ini terkandung unsur moral, sikap, hingga pada perilaku. Sulit rasanya mendeteksi seseorang mempunyai huruf yang baik atau jelek, mabadunga lantaran untuk memilih apakah seseorang mempunyai sopan santun atau kebijaksanaan belum menyaksikan dan mencicipi perbuatan atau sikap tertentu dari orang tersebut. Dalam tiga dekade terakhir, konsep “karakter” menerima perhatian yang fokus dari para mahir terutama pakar Psikologi (Cronbach, 1977; Lickona, 1992; Sparks, 1991) yang mengkhususkannya pada upaya mendefinisikan huruf untuk tujuan pendidikan hingga pembentukan masyarakat negara yang mempunyai huruf yang baik (good character). Oleh lantaran itu, huruf sebagai kualitas moral akan selalu terintegrasi dengan kematangan intelektual dan emosional. Menurut Cronbach (1977:53) “character, however; is evidenced in the way a person handles dilemas, especially those where his wishes run counter to the interests of other persons”. Dari definisi tersebut memang Cronbach tidak mengeksplisitkan kemampuan mengatasi dilema sebagai syarat yang memilih kesuksesan. Namun demikian, ia mengakui bahwa keputusan yang ia pilih tergantung pada konsep (concepts), sikap (attitudes), kebutuhan (needs) dan perasaannya (feelings). Selanjutnya dalam mempersembahkan citra lebih lanjut terkena karakter, Cronbach menguraikan sebagai diberikut. 

“Character is not a cumulation of separate habits and ideas. Character is an aspect of the personality. Beliefs, feelings, and actions, are linked; to change character is to reorganize the personality. Tiny lessons on principles of good conduct will not be effective if they cannot be integrated with the person’s sistem of beliefs about himself, about others, and about the good community”. (1977:57). 

Dari uraian kedua tersebut, Cronbach semakin memperjelas bahwa huruf sebagai satu aspek dan kepribadian terbentuk oleh kebiasaan (habits) dan gagasan (ideas) yang keduanya tidak sanggup terpisahkan. Untuk membentuk karakter, maka unsur-unsur keyakinan (beliefs), perasaan (feelings), dan tindakan (actions) ialah unsur-unsur yang saling terkait sehingga untuk mengubah huruf berarti melaksanakan reorganisasi terhadap kepribadian. melaluiataubersamaini kata lain, kondisi proses pendidikan untuk membangun huruf masyarakat negara sanggup diberimplikasi terhadap mutu huruf masyarakat negara. Prinsip-prinsip pembelajaran yang baik mustahil berjalan efektif apabila tdak sanggup dintegrasikan dengan sistem keyakinan diri sendiri, diri orang lain, dan diri masyarakat yang baik.

Bagi Cronbach (1977:59), nilai dan bentuk kehidupan yang terbaik ialah “in terms of the choices the individual makes when his actions affect the welfare of others: the person of good character generally tries to choose acts that promote the welfare of others as well as of himself”. Dalam kehidupan sehari-hari, orang seringkali dihadapkan pada sejumlah pilihan yang harus diputuskan. Ketika ia dihadapkan pada pilihan perubahan yang baik bagi sesama, maka huruf orang yang baik ialah yang berupaya untuk mendorong keselamatan orang lain dan dirinya. Sebaliknya, sikap bersifat amoral apabila pelaku tidak menyadari atau tidak peduli dengan jawaban dari tindakannya terhadap orang lain. Bayi, yang belum mempunyai pemahaman wacana konsep “baik dan buruk” ialah amoral. Seorang yang bijaksana (expedient) ialah orang yang berpusat pada dirinya namun perilakunya jauh terkendali (be controlled). Ia tahu pentingnya memperhatikan reaksi orang lain untuk mengenal lebih jauh lagi. Berbeda dengan Cronbach, ialah Lickona (1992:37) yang memandang huruf terbagi ke dalam tiga bidang yang saling terkait yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior.

Oleh lantaran itu, huruf yang baik mengandung tiga kompetensi, yakni mengetahui hal yang baik (knowing the good), ada impian terhadap hal yang baik (desiring the good), dan melaksanakan hal yang baik (doing the good) sehingga pada gilirannya ia akan menjadi kebiasaan berpikir (habits of the mind), kebiasaan hati (habits of heart), dan kebiasaan bertindak (habits of action). Pandangan Lickona ini didasarkan atas pendapat filsuf Yunani, Aritoteles, yang menyatakan bahwa “... good character as the life of right conduct - right conduct in relation to other persons and in relation to oneself”. Secara visual, pandangan Lickona terkena huruf sanggup digambarkan sebagai diberikut.

Sebuah huruf dikatakan baik, kalau keseluruhan performance seseorang yang baik terdiri atas moral knowing, moral feeling, dan moral action, ialah baik. Moral knowing mencakup beberapa aspek aspek-aspek: (1) Moral awareness, (2) Knowing moral values, (3) Perspective-taking, (4) Moral reasoning, (5) Decision-making, dan (6) Self-knowledge; Moral Feeling mencakup beberapa aspek aspekaspek(1) Conscience, (2) Self-Esteem, (3) Emphaty, (4) Loving the good, (5) Self-control, dan (6) Humility; sedangkan Moral Action mencakup beberapa aspek aspekaspek: (1) Competence, (2) Will, dan (3) Habit. Persoalan wacana apa itu huruf pernah mengemuka dan menjadi tema sentral dalam National Conference on Character Building. yang diselenggarakan oleh International Education Foundation bekerjasama 

dengan DEPDIKNAS, BKKBN, DEPAG, UNDP dan sejumlah LSM di Jakarta tahun 2000. melaluiataubersamaini serius kajian mengkhususkan diri pada The Need for Character Education, seminar tersebut mempersembahkan kesimpulan wacana huruf sebagai

“Character has been defined as the inner disposition conductive to right conduct. It is a person’s collection of attitudes and habits which enable and facilitate moral action. It is the foundation for all activity in the world; even,’ task and even,’ achievement bears the imprint of one’s character Moreover, as we shall see, one result of attaining good character i5 that individuals are able to love others well and become more productive citizens. Good character is thus the foundation for all human endeavors”. (National Conference on Character Building, 2000:14).

Lebih lanjut, dalam dokumen konferensi tersebut dibahas pula perbedaan pengertian antara personality dan character “Personality is unique. It varies from person to person, as do talents and general abilities. Character, on the other hand, can be shared by many people. It is composed of virtues that are universal (National Conference on Character Building, 2000:16). Dari kesimpulan seminar tersebut diperoleh citra bahwa personality menawarkan kekhasan yang dimiliki oleh seseorang atau perseorangan (individual) lantaran aspek pembawaan atau talenta dan kemampuan umum, sedangkan istilah character menawarkan kekhasan yang dimiliki oleh sejumlah orang termasuk kebajikan-kebajikan yang bersifat universal. Karakter yang baik berada tertanam secara baik dalam hati, yang disebut pula

 “moral head”. Secara khusus ditetapkan bahwa “head is the source of the mendasar impulse for relatedness. It is what motivates a person to yearn for the joy of loving and being loved, the satisfaction of valuing and being valued” (National Conference on Character Building, 2000:29). 

Dalam tinjaun psikologis, Berkowitz meneropongnya sebagai sesuatu yang rumit. 
“Character is the complex set of psychological characteristics that enable an individual to act as a moral agent. In other words, character is multifaceted. It is psychological. It relates to moral functioning. In the first author’s moral anatomy, seven psychological aspects of character are identified:moral action, moral values, moral personality, moral emotions, moral reasoning, moral identity and foundational characteristics”. (Berkowitz et. all., 2004: 73) 

Jika pengertian huruf menunjuk pada kekhasan suatu komunitas, maka “karakter bangsa/national character”, sangat erat kaitannya dengan kasus psikologi sosial. Beberapa mahir mendefinisikan huruf bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation-state) sebagai salah satu unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antarbangsa. DeVos (1968:63) mendefinisikan huruf bangsa sebagai diberikut: The term “national character” is used to describe the enduring personality characteristics and unique life style found among the populations of particular national states. Artinya, istilah huruf bangsa dipakai untuk mendeskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas yang dijumpai pada penduduk negara bangsa tertentu. Karena terkait dengan kasus kepribadian yang ialah cuilan dan aspek kejiwaan, maka diakui oleh DeVos bahwa dalam konteks perilaku, huruf bangsa dianggap sebagai istilah yang abstak yang terikat oleh aspek budaya dan termasuk dalam prosedur psikologis yang menjadi karakteristik masyarakat tertentu. 

Menurut DeVos (1968:70) pula bahwa secara historis, munculnya kesadaran adanya perbedaan kebangsaan bermula di Eropa “... the differences between Dguas and Swedes, between Belgians and Dutch, between Germans and Italians, or even between northern and southern Italians, northern and southern Belgians, or northern and southern Dutch”. Namun, persepsi wacana perbedaan sikap yang menimbulkan kesan mulut yang berusaha sungguhsungguh mengkaji secara sistematis wacana persepsi perbedaan dalam konfigurasi kepribadian, gres muncul pada tahun 1940-an. Secara natural, pembangunan huruf bangsa bukanlah monopoli misi dari Pendidikan Kewargguagaraan. Setiap mata pelajaran di sekolah bahu-membahu mempunyai peluang pula untuk membinakan huruf bangsa. 

Hal ini terkait dengan sisi afeksi yang ialah cuilan integral dari tujuan pembelajaran, selain khazanah keilmuan yang menjadi domain utamanya. Kerapkali sisi afeksi ini disebut dengan nurturent effect, sedangkan domain utama keilmuannya dikenal dengan instructional effect. Pada aspek nurturent effect inilah, setiap mata pelajaran sanggup memainkan kiprah pembangunan huruf bangsa. Menurut Branson (1998:79) atas dasar pengalamannya pada pendidikan huruf di Amerika Serikat, dikatakan bahwa kiprah membuatkan pendidikan huruf dan PKn dilakukan secara bersama-sama dan bertujuan untuk membuatkan sifat-sifat huruf pribadi dan huruf publik. Ciriciri huruf pribadi mencakup tanggung jawaban moral, disiplin pribadi, dan hormat kepada orang lain dan martabat manusia. Sedangkan ciri-ciri huruf publik mencakup public-spiritedness, civility, respect for law, criticalmindedness, and a willingness to negotiate and compromise. (Branson, 1998:81). Karakter publik ini sering dinamakan pula huruf kolektif atau huruf bangsa. Lebih lanjut Branson menegaskan bahwa hasil penelitian mata pelajaran di sekolah ibarat pemerintahan, kewargguagaraan, sejarah dan sastra bila diajarkan secara baik akan mempersembahkan kerangka konseptual yang diharapkan untuk pendidikan karakter. Dalam konteks kerangka konseptual untuk terbangunnya pendidikan karakter, Berkowitz mempersembahkan taktik sebagai diberikut:

Character education has been demonstrated to be associated with academic motivation and aspirations, academic achievement, prosocial behavior, bonding to school, prosocial and democratic values,conflictresolution skills, moral-reasoning maturity,responsibility, respect, selfefficacy,self-control,self- esteem, social skills and trust in and respect for teachers”. (Berkowitz et. all., 2004: 80) 

Hal ini berarti bahwa pendidikan huruf sanggup dilakukan bukan spesialuntuk melalui mata pelajaran PKn melainkan melalui mata pelajaran lain juga. Feith dan Castles (1970:58) menegaskan bahwa “it is not enough for love of nation and country to be fostered by the study of civics”. Menurut Feith dan Castles, pendidikan huruf sanggup diselenggarakan juga melalui mata pelajaran lain yang membuatkan dimensi emosional, seni, mengajarkan wacana kebebasan warisan nenek moyang, keindahan ibu pertiwi, budaya dan kesenian. Hal ini sejalan dengan pernyataan Coles (dalam Branson, 1998:92) bahwa: 

“Character is ultimately who we are expressed in action, in how we live, in what we do and so the children arounds us know, they absorb and take stock of what they observe, namely us-we adults living and doing things in a certain spirit, getting on with one another in our various ways”. 

Begitu pula dengan pendapat Bates, yang menegaskan bahwa era pendidikan modern akan selalu memperkenalkan duduk kasus kemauan, kebiasaan, dan lingkungan sosialnya. “The new education is everywhere recognizing the importance of the education of the will, and of leading the will to express it self in outward habits and customs” (R.C. Bates, 1998: 577). Kendatipun demikian misi pembangunan huruf bangsa yang diemban oleh Pendidikan Kewargguagaraan mempunyai karakteristik sendiri yaitu diarahkan pada pembentukan persatuan nasional. Penelitian yang dilakukan oleh seorang Indonesianis Reid (2005:174) wacana national building di Indonesia dan sudut pandang sejarah kemerdekaan Indonesia, menemukan beberapa hal menarikdanunik sebagai diberikut; 

“the heroic ideals of the nationalist movement, sanctified during the revolutionary struggle of the 1940s, were about national unity in opposition to dutch oppresions . The nationalists of the 1920s and 1930s, raised on colonial texbooks about the rise of Dutch power over the archipelago, already decided that the most interesting characters of that story were the “rebels” who had opposed the Dutch, and in prehistory the builders of great “empires” which most nearly coincided with that of the Dutch.” 

Dari hasil penelitian Reid tersebut tampak bahwa kaum nasionalis banyak berperan dalam membentuk persepsi bangsa terhadap kaum penjajah yang sudah ditanamkan semenjak beberapa dekade sebelumnya. Terjadi perbedaan pandangan antara seorang Indonesia dan Belanda wacana pejuang. Seorang pahlawan bagi bangsa Indonesia ialah seorang pemberontak bagi Belanda, dan begitu juga sebaliknya. Persoalan ini terkait dengan penanaman nilai kebangsaan pada diri masyarakat Indonesia, sehingga mempunyai kecintaan yang mendalam terhadap bangsa dan negaranya. 

Dennis L (2003:111) menegaskan bahwa A government statement explains, ‘Literacy in a common language is an essential basis for education leading to national unity in the Territory. Demikian pula Crampton (2003:220) pertanda kasus ini bahwa symbolically and ideologically, exhibitionary spaces were important for the state in producing national subjects and fostering a nationally unified support for imperial policies. Sesudah Indonesia mencapai kemerdekaan, persepsi yang tidak menguntungkan bagi penumbuhan rasa kebangsaan Indonesia secara perlahan diubah melalui banyak sekali upaya oleh para pendiri bangsa. Presiden Sukarno pada waktu itu mengajukan inisiatif untuk menghargai para pahlawan nasional sebagai tema revolusi. Selanjutnya dalam evaluasi Reid, pada masa Orde Baru, kiprah pembangunan huruf bangsa, banyak menerima campur tangan dari kalangan tentara (ABRI). Seorang sejarawan yang ialah militer, Brigadir Genderal Dr. Nugroho Notosusanto, ialah tokoh yang banyak berperan dalam penyusunan sejarah nasional Indonesia.

 Notosusanto yakin “that history was the way to build an integral state with the army as its backbone” (Reid, 2005:176). Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, Nugroho Notosusanto mempersiapkan sebuah kurikulum sejarah ABRI. Ia menyatakan bahwa “history is the most effective means to achieve the two (principal) goals, that is the goal of strengthening the spirit of integration in the Armed Forces, and the goal of perpetuating the precious values of the 1945 struggle. (Reid, 2005: 184). Gagasannya ini direalisasikan dalam lingkungan pendidikan dan mulai jenjang SD (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) saat ia menduduki Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1983 dengan menerapkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), “History of National Struggle” pada tahun 1985. Mata pelajaran ini tidak usang bertahan dan akibatnya dihapuskan dari kurikulum sekolah sebelum jatuhnya Presiden Suharto.

2.3.4 Proses pembelajaran sebagai upaya training huruf bagi peserta didik 
Proses pembelajaran ialah proses komunikasi yang berkarakteristikkan interaksi edukatif. Yaitu komunikasi timbal balik antara guru dengan siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Oleh lantaran itu sumber berguru yang dirancang dengan baik dalam batas tertentu akan sanggup merangsang timbulnya semacam obrolan internal dalam diri siswa yang berguru (Miarso, 1984:94). melaluiataubersamaini kata lain terjadi komunikasi bermakna antara siswa dengan sumber berguru yang dihadapinya. 

melaluiataubersamaini tercapainya obrolan internal pada diri siswa menjadikan mereka berusaha untuk menangkap pesan dari media tersebut, sehingga sudah terjadi proses pembelajaran. Media berhasil membawakan pesan sebagai sumber belajar, apabila kemudian terjadi perubahan contoh fikir, tingkah laris atau sikap berguru pada diri siswa. Proses pembelajaran di tingkat sekolah dasar semakin strategis untuk melaksanakan kongkritisasi, mengingat kondisi psikis dan intelektual mereka masih berorientasi pada hal-hal yang konkrit. Berkaitan dengan hal tersebut, perencanaan pesan-pesan pembangunan huruf dalam proses pembelajaran sangat diperlukan. Perencanaan dimaksud diadaptasi kejiwaan bawah umur sekolah dasar. 

Perencanaan yang baik akan menghasilkan proses-proses pembelajaran yang aman bagi terjadinya obrolan antara peserta didik dengan sumber berguru yang ada, yang pada gilirannya akan tertanam konsep-konsep pembangunan huruf dalam tingkatannya yang sangat sederhana dan konkrit. Proses pembelajaran yang berkarakter memerlukan pengembangan materi asuh secara proporsional. Bahan asuh dalam bentuk yang sederhana dan mudah diapresiasi, di sekolah dasar sangat penting artinya bagi proses berguru mengajar. Pada anak usia sekolah dasar, materi asuh dalam bentuk yang sederhana dan mudah diapresiasi tidak spesialuntuk menjadi sumber utama berguru setelah guru, melainkan juga efektif dalam membinakan pesan pada diri peserta didik. 

Seperti hasil penelitian Unger dan Crowford (dalam Sunarto, 2000:158), menemukan bahwa salah satu lingkungan bawah umur yang besar lengan berkuasa besar bagi pembentukan huruf dalam diri bawah umur ialah cerita-cerita dan komunikasi pesan-pesan national chararacter building yang diperoleh di lingkungan keluarga, mitra bermain, sekolah, dan bacaanbacaan. Informasi wacana pembangunan huruf tersebut diterima secara mulut oral, mulut tulis, mulut audio, hingga mulut visual. Penanaman huruf pada para peserta didik ialah proses penyesuaian kepribadian yang perlu memperhatikan majemuk prinsip dasar pertumbuhan.

Satmoko (1983:216) menegaskan bahwa prosedur penyesuaian tersebut intinya ialah sebagian dari perjuangan kependidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat, serta berlangsung seumur hidup. Itulah sebabnya, perencanaan pembelajaran yang praktis, aplikabel, dan memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan peserta didik sangat diperlukan, dalam upaya pembelajaran nilai yang membawa muatan pembangunan karakter. Buku teks mata pelajaran di sekolah dasar yang ialah sumber informasi yang bersifat ferbal tulis dan visual, ialah sumber yang sangat dekat dengan peserta didik. Selain jangkauan bawah umur SD untuk mengakses sumber informasi lain yang lebih kompleks sangat terbatas, contoh fikir pun masih sangat sederhana sehingga belum memerlukan informasi-informasi yang rumit. 

Oleh lantaran itu pesan yang ada pada buku teks pelajaran SD sangat efektif dalam membentuk image anak wacana national character building. 102 Ketika seorang anak mulai dekat dengan buku-buku bacaan, ada tahapan-tahapan yang berproses dalam dirinya. Nielson (1990:37-39) mengemukakan ada tiga tahap seorang anak mengenal acara berbahasa, yaitu penikmatan tidak sadar, penikmatan bacaan secara sederhana, dan tahap apresiasi penuh pada bacaan. Pada tahap pertama, anak mengetahui apa yang disukai tetapi tidak tahu mengapa menyukai hal itu. 

Misalnya saat orang tuanya menyanyi atau menceritakan untuk mereka, mereka akan menikmatinya tanpa mereka tahu mengapa tertarik nyanyian atau dongeng itu. Hal ini terjadi saat anak masih bayi terus berlanjut hingga anak memasuki sekolah dasar. Pada tahap kedua, seorang anak mulai menikmati bacaan kendatipun dengan tingkat penerimaan yang sederhana. Pada tahap ini anak akan berusaha meningkatkan kesenangannya, sehingga kerapkali banyak mengajukan pertanyaan pada orang remaja sekitar bacaan tersebut. Tahap kedua ini terjadi biasanya pada masa tamat di sekolah dasar dan pertama sekolah menengah. Sedangkan pada tahap ketiga ialah masa di mana bawah umur mulai sanggup mangapresiasi bacaan secara sempurna. Pada tahap ini bawah umur sudah sanggup menanggapi isi bacaan, dan sudah pula mempunyai alasan kenapa menyukai bacaan tersebut. Tahap ini terjadi pada masa-masa sekolah lanjutan tingkat atas.

LihatTutupKomentar