-->
Pengertian Sastra Profetik
Kuntowijoyo Sastrawan Profetik
Sastra profetik yaitu sastra yang berjiwa transendental dan sufistik alasannya yaitu berangkat dari nilai-nilai ketauhidan, tetapi yang setelah itu juga mempunyai semangat untuk terlibat dalam mengubah sejarah kemanusiaan yang alasannya yaitu itu mempunyai semangat kenabian. Sebagai anutan di dalam tradisi intelektual Islam, sastra sufistik sanggup disebut juga sebagai sastra transendental alasannya yaitu pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, ibarat ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (Hadi, 1999:23). 

Sastra transendental memang sudah mempunyai perjalanannya sendiri yang panjang. Dua pola sastrawan Islam yang menulis secara sufistik dan transendental yaitu Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.

Jalaluddin Rumi (1207-1273) yaitu penyair dari Persia yang populer sebagai sastrawan yang mendalami tasawuf. Salah satu karya Jalaluddin Rumi yaitu Diwan-i Syams Tabriz yang berupa 33.000 bait puisi berbentuk lirik. Puisi-puisi ini pada pertamanya yaitu lontaran impulsif yang muncul dari lisan Jalaluddin Rumi saat ia berada dalam situasi ekstase. Lontaran-lontaran itu kemudian dicatat oleh para anakdidiknya yang mengelilinginya. Puisi-puisi dalam Diwan-i Syams Tabriz ini meliputi renungan-renungan ilahiyah dan persatuan mistikal.

Muhammad Iqbal (1873-1938) dari Pakistan ialah sosok lain dari sastrawan transendental dalam tradisi sastra Islam. Puisinya menampakkan kekentalan permenungan filsafat, ini tampak di antaranya dalam kumpulan puisinya yang berjudul Asrar-i Khudi. Muhammad Iqbal juga yaitu pengagum Jalaluddin Rumi dan menganggap Jalaluddin Rumi sebagai guru spiritualnya.

Dalam sastra Indonesia modern, warna transendental juga banyak ditemukan. Karya-karya Amir Hamzah ialah pola sastra transendental yang berbobot dari tradisi sastra Angkatan Pujangga Baru. Chairil Anwar pelopor Angkatan 45 pun juga menulis puisi transendental, contohnya puisi “Kepada Peminta-minta”. Dalam tradisi yang lebih baru, sastrawan-sastrawan yang menulis tema transendental banyak bermunculan. Di antara mereka itu yaitu Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, K.H. Mustofa Bisri, dan kemudian diikuti pula oleh yang lebih muda dari mereka, ibarat Mustofa W. Hasyim, Mathori A. Elwa, Amien Wangsitalaja, Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy.

Kuntowijoyo, lahir 18 September 1943, ialah sastrawan Indonesia yang sanggup digolongkan sebagai penulis sastra transendental ini. Sastra bagi Kuntowijoyo harus bisa mempersembahkan keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, antara pelibatan diri dalam problem kemanusiaan dengan kesuntukan diberibadah, antara yang bersifat dunyawiyah dan ukhrawiyah, antara aktivisme sejarah dengan pengalaman religius. 

Kuntowijoyo mendasarkan perumusan sastra profetik (dan profetisitas secara umum) kepada Al Alquran surah Ali Imran: 3. Bagi Kunto (1997), ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surah Ali Imran ini, yaitu (1) konsep wacana umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etik profetik.

Pertama, konsep wacana umat terbaik (the choosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut oleh ayat tersebut. Jadi, sebuah umat tidak akan secara otomatis menjadi the choosen people. Konsep the choosen people dalam Islam ini tidak sama dengan konsep the choosen people dari Yudaisme. Konsep Yudaisme mengakibatkan rasialisme, sedangkan konsep umat terbaik dari Islam justru berupa sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras ke arah aktivisme sejarah. 

Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah insan (ukhrijat li an nas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan gaib yang berlebihan yang melupakan keduniaan bukanlah kehendak Islam, alasannya yaitu Islam yaitu agama amal. 

Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiyah menjadi rujukan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etik Islam dari etik materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstruktur (kesadaran) ditentukan oleh struktur (basis sosial, kondisi material) berperihalan dengan pandangan Islam wacana independensi kesadaran. Demikian pula, pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) berperihalan dengan Islam, alasannya yaitu yang memilih bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme, ia berperihalan dengan kesadaran Ilahiyah. 

Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik individu (orang awam, ahli, superahli), forum (ilmu, universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat). Semua diharuskan untuk mengamalkan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan kepercayaan (tu’minuna) bi Allah (diberiman kepada Allah). Ketiga hal ini yaitu unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. 

Asal-usul pikiran wacana etik profetik ini, berdasarkan Kuntowijoyo, bisa ditelusuri dalam tulisan-tulisan Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa Nabi Muhammad SAW sudah hingga ke daerah paling tinggi yang menjadi dambaan andal gaib (dalam insiden Isra Mi’raj), tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak bisa menarik hati Nabi untuk berhenti. Akan tetapi, ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk perubahan kemanusiaan. melaluiataubersamaini kata lain, pengalaman religius itu justru menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah, sebuah aktivisme sejarah. Sunnah Nabi tidak sama dengan jalan seorang mistikus yang puas dengan pencapaiannya sendiri. Sunnah Nabi yang demikian ini yang disebut dengan etik profetik. 

Selanjutnya, dari Roger Garaudy, filosof Perancis yang menjadi muslim, etik profetik juga memperoleh penegasannya. Roger Garaudy menulis Janji-Janji Islam (1982). Menurutnya, filsafat Barat tidak memuaskan alasannya yaitu terombang-ambing antara dua kubu, idealis dan materialis. Filsafat Barat lahir dari pertanyaan wacana bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Ia menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana wahyu dimungkinkan. Menurutnya, satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran peradaban ialah dengan mengambil kembali warisan Islam. Filsafat Barat sudah “membunuh” Tuhan dan manusia, alasannya yaitu itu ia menganjurkan supaya umat insan menggunakan filsafat kenabian (profetik) dari Islam dengan mengakui wahyu (Kuntowijoyo, 1997).

Kuntowijoyo tergolong sebagai sastrawan yang bisa menulis dalam banyak sekali genre. Sebagai penyair ia sudah menghasilkan tiga kumpulan sajak, yaitu Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Sebagai cerpenis ia menghasilkan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), fabel Mengusir Matahari (2000), dan beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas yang kemudian diterbitkan oleh Kompas dalam Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997). Dalam bidang drama ia menghasilkan “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968), “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma”, “Barda”, dan “Cartas” (1972), dan Topeng Kayu (1973). Sebagai novelis ia sudah menulis “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari” (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), dan Impian Amerika (1998). Dari banyak karyanya itu Kuntowijoyo juga sudah memperoleh banyak sekali penghargaan sastra.

Kumpulan puisi Makrifat Daun Daun Makrifat (selanjutnya disingkat MDDM) ialah kumpulan puisi paling selesai yang dihasilkan Kuntowijoyo. MDDM diterbitkan oleh Gema Insani Press (1995), memuat 47 sajak-sajak pendek dengan nafas religiusitas yang kental yang tetap tidak mengabaikan kenyataan horisontal. MDDM bisa digunakan untuk melacak adanya tema sastra profetik yang dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Dalam pengantar untuk MDDM sendiri Kuntowijoyo juga secara tegas menulis.

“Sajak-sajak ini yaitu serbuan dari langit. Akan tetapi, ia tidak menimbulkan sastra terpencil. Lihatlah ia juga berbicara wacana pemogokan, kalau yang dimaksud dengan kenyataan ialah penderitaan. Sajak-sajak ini yaitu sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme....” (Kuntowijoyo, 1995:5).

melaluiataubersamaini demikian, MDDM mempunyai kekhasan sebagai sebuah khazanah pemikiran dan pola ucap dalam sejarah perpuisian Indonesia, yaitu hadirnya semangat profetik. Karenanya, perlulah sebagian puisi-puisi Kuntowijoyo dari kumpulan puisi MDDM tersebut dibedah untuk menelusuri adanya etika profetik di dalamnya. Uraian di bawah ini ialah citra ringkas terkena pengungkapan etika profetik dalam puisi Kunto tersebut.

Semangat Amar Ma’ruf (Emansipasi/Humanisasi)
Amar Ma’ruf dalam arti sederhananya yaitu menyuruh kepada kebaikan. Dalam penafsiran lebih lanjur, amar ma’ruf dimaknakan sebagai upaya “pemanusiaan” (emansipasi/humanisasi). Upaya humanisasi sanggup berarti upaya untuk melawan segala bentuk dehumanisasi dan loneliness (privatisasi dan individuasi). Dehumanisasi ini terjadi di antaranya alasannya yaitu dipakainya teknologi di dalam masyarakat, contohnya sebuah pabrik yang menimbulkan insan semata objek dan membuat otomatisme (manusia bergerak secara otomatis tanpa kesadaran) (Kuntowijoyo, 1997). 

Subjek semangat amar ma’ruf dari kumpulan MDDM sanggup ditemukan dalam puisi berjudul “(Menjadi saksi pemogokan)”. 

(Menjadi saksi pemogokan)
Kusucikan waktu dengan kata
sehingga para pekerja 
kembali ke pabrik
Aku tak pernah sangsi
kemerdekaan, tangan gaib semesta
mengalir lewat benang elektronik dan kesadaran yang mulia

Puisi di atas mengabarkan adanya saya partikular yang menegaskan kepada para pekerja untuk tidak perlu mogok kerja alasannya yaitu merasa diperbudak oleh pabrik. Aku partikular justru tidak sangsi bahwa jikalau dengan selalu mengedepankan kesadaran, maka kemerdekaan bisa ditemukan di sela-sela rutinisme kerja. 

Jika dilihat dari keseluruhan baris puisi, maka kalimat kesadaran yang mulia bisa menjadi model dari sentra makna yang ada. Kesadaran yang mulia sendiri mengambarkan adanya kualitas kemanusiaan. Manusia akan memperteguh kualitas kemanusiaannya saat ia bisa memaknai kehidupan dengan sebuah kesadaran. Dari sini inti makna puisi sanggup ditebak, yaitu humanisasi/emansipasi (pemanusiaan).

Budaya industrialisasi, yang di antara simbolnya yaitu munculnya pabrik-pabrik, sudah menggiring insan untuk cenderung menjadi mesin dan terjebak dalam rutinisme yang menyebabkannya kehilangan dimensi kemanusiaan (mengalami dehumanisasi). Dehumanisasi mengakibatkan insan kehilangan kemerdekaannya, kemerdekaan untuk memilih eksistensinya. Manusia terkungkung oleh benda-benda. 

Di sinilah diperlukannya upaya humanisasi atau emansipasi, berupa mengembalikan insan kepada kemanusiaannya. Upaya itu yaitu dengan menghadirkan kembali kesadaran yang mulia, tanpa harus menolak secara membabi-buta budaya industrialisasi, tanpa harus menghancurkan pabrik-pabrik, tanpa harus mogok kerja. 

Jika seluruh instrumen industrialisasi memahami dan dipahami secara kesadaran yang mulia, maka kemanusiaan tetap bisa ditegakkan dan kemerdekaan tetap bisa ditemukan di dalam benang elektronik. Semangat untuk menegakkan hal demikian disebut semangat amar ma’ruf.

Semangat Nahyi Munkar (Liberasi)
Secara sederhana nahyi munkar diartikan mencegah kemungkaran. Mencegah kemungkaran ini bisa berupa membebaskan kehidupan dari segala bentuk kejahatan. Ia bersifat liberatif. Liberasi bisa menyentuh ke seluruh aspek kehidupan, terutama aspek sosial-politik dan ekonomi. 

Puisi untuk mewakili semangat nahyi munkar (liberasi) dari kumpulan Makrifat Daun Daun Makrifat yaitu sebuah puisi tanpa judul yang bernomor 48. 

Sebagai hadiah malaikat menanyakan
apakah saya ingin berjalan di atas mega
dan saya menolak
alasannya yaitu hatiku masih di bumi
hingga kejahatan terakhir dimusnahkan
Sampai dhuafa dan mustadhafin
diangkat Tuhan dari penderitaan

Puisi di atas menyampaikan adanya saya partikular yang menegaskan etiknya untuk tetap terlibat dengan aktivisme sosial melebihi dari iming-iming kenikmatan asketisisme spiritual berjalan di atas mega, sehingga kejahatan terakhir musnah dan orang-orang lemah terlepas dari penderitaan. Penyampaian makna ini diperkuat oleh penghadiran beberapa polarisasi kata di dalamnya, terutama polarisasi antara mega dengan bumi. 

Tawaran untuk menikmati indahnya pengasingan gaib berjalan di atas mega ditolak oleh saya partikular. Aku partikular menolak alasannya yaitu kakiku masih di bumi. Sebagai bukti dari penolakan kepada pengasingan gaib itu yaitu harapan saya partikular untuk menyaksikan kejahatan terakhir dimusnahkan dan dhuafa dan mustadhafin / diangkat Tuhan dari penderitaan. 

Etik menolak untuk pengasingan mistik, etik menolak kejahatan, etik menolak kependeritaanan dhuafa dan mustadzafin yaitu etik liberatif. Di dalamnya terkandung semangat untuk membebaskan, membebaskan insan dari kejahatan dan dari penderitaan. Karena itulah, inti makna dari puisi ini yaitu semangat liberasi. 

Liberasi yang muncul dari puisi ini yaitu liberasi yang bersifat sosial-politik dan ekonomi. Memusnahkan kejahatan yaitu bentuk liberasi yang bersifat sosial-politik itu. Di dalamnya terkandung hasrat untuk menegakkan HAM, melawan otoritarianisme dan kediktatoran, juga melawan segala kejahatan sosial. Mengangkat penderitaan ialah bentuk liberasi yang bersifat ekonomi. Di sini terkandung hasrat untuk menghilangkan adanya kesentidakboleh ekonomi, “Supaya harta itu tidakboleh beredar di antara orang-orang kaya di antara engkau” (Al Hasyr: 7).

Semangat Iman bi Allah (Transendensi)
Iman bi Allah berarti percaya kepada Allah S.W.T. Dikontekskan dengan pembahasan sebelumnya, maka semangat amar ma’ruf (emansipasi/humanisasi) dan nahyi munkar (liberasi) itu harus dirujukkan kepada keimanan kepada Tuhan. Puisi tanpa judul bernomor 47 representatif untuk mewakili tema ini. 

Suatu hari kutemukan
burung di kandang terdiam membungkam
saya bertanya dan dengan murung ia mengatakan
Mereka yang melupakan Tuhan
tak berhak mendengar burung bernyanyi

Puisi menampakkan adanya saya partikular yang tengah diajari oleh insiden pemberontakan sebuah burung terhadap sikap kontraliberatif dan dehumanisatif dari insan alasannya yaitu insan melupakan Tuhannya.

Karena adanya mereka (manusia) yang melupakan Tuhan mengakibatkan burung terpenjara di kandang (kontraliberatif dan dehumasisatif). Keterpenjaran ini mengakibatkan burung melaksanakan upaya protes (semangat humanisasi+liberasi), yaitu dengan terdiam membungkam dengan anggapan bahwa mereka yang melupakan Tuhan itu memang tidak pantas mendengarkan burung bernyanyi. 

Melupakan Tuhan ialah perbuatan yang kontradiktif bagi keimanan, bagi semangat transendensi. Hilangnya keimanan mengakibatkan dominannya sikap yang kontradiktif bagi semangat humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahyi munkar). melaluiataubersamaini kata lain, membangun upaya humanisasi dan liberasi harus tetap berpijak pada landasan semangat transendensi (iman bi Allah).*** 

Daftar Pustaka:
  • Hadi W.M., Abdul, 1989, “Semangat Profetik Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam majalah Ulumul Alquran No. 1, Jakarta: Aksara Buana
  • ________, 1999, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus
  • Kartguagara, R. Mulyadhi, 1986, Renungan Mistik Jalal ad-Din Rumi, Jakarta: Pustaka Jaya
  • Kuntowijoyo, 1993, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan
  • ________, 1995, Makrifat Daun Daun Makrifat, Jakarta: Gema Insani Press
  • ________, 1997, “Menuju Ilmu Sosial Profetik” dalam Republika, Kamis, 7 Agustus 1997, Jakarta
  • Luce, Miss dan Claude Maitre, 1993, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, diterjemahkan oleh Djohan Effendi, Bandung: Mizan
  • Rifai, Aminudin, 2002, “Makna Puisi ‘(Sajak-sajak yang dimulai dengan Bait Al-Barzanji)’ Kuntowijoyo Pendekatan Semiotika Riffaterre”, skripsi sarjana sastra Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM
  • Tim DKJ (ed.), 1984, Duapuluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan
  • Wangsitalaja, Amien, 2001, “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dalam Kakilangit 49 Majalah Horison XXXIV/2/2001, Jakarta: Yayasan Indonesia

LihatTutupKomentar