-->
Pengertian Implementasi Berdasarkan Ahli
Pengertian Implementasi
Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi ialah proses umum tindakan administratif yang sanggup diteliti pada tingkat acara tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan ialah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi gres akan dimulai apabila tujuan dan samasukan sudah diputuskan, acara kegiatan sudah tersusun dan dana sudah siap dan sudah disalurkan untuk mencapai samasukan. Menurut Lgua, implementasi sebagai konsep sanggup dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi ialah fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi ialah persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini yaitu kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21-48). Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa kiprah implementasi yaitu membangun jaenteng yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui acara instansi pemerintah yang melibatkan banyak sekali pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).

Perspektif Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik sanggup dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan duduk kasus implementasi dengan terlebih lampau mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: 
  1. Faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? 
  2. Faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? 
Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang ialah syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.Komunikasi suatu acara spesialuntuk sanggup dilaksanakan dengan baik apabila terang bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan isu dan konsistensi isu yang disampaikan. Sumber daya, mencakup empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), isu yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan kiprah atau tanggung balasan dan akomodasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana ialah komitmen pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.

Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: 
  1. Adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk mengambarkan perlunya secara budbahasa mematuhi undang-undang yang dibentuk oleh pihak berwenang; 
  2. Adanya kesadaran untuk mendapatkan kebijakan. Kesadaran dan kemauan mendapatkan dan melaksanakan kebijakan terwujud mabadunga kebijakan dianggap logis;
  3. Keyakinan bahwa kebijakan dibentuk secara sah; 
  4. Awalnya suatu kebijakan dianggap perdebatanal, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif manajemen publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif manajemen publik, implementasi pada pertamanya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada selesai Perang Dunia II banyak sekali penelitian manajemen negara menawarkan bahwa ternyata distributor manajemen publik tidak spesialuntuk dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota forum legislatif dan banyak sekali faktor dalam lingkungan politis.

Perspektif ilmu politik menerima kontribusi dari pendekatan sistem terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seperti mematahkan perspektif organisasi dalam manajemen publik dan mulai mempersembahkan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, menyerupai ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi gres dan preferensi masyarakat. Perspektif ini terserius pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.

Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur manajemen publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan distributor atau individu bawahan terhadap distributor atau individu atasan. Perspektif kepatuhan ialah analisis huruf dan kualitas sikap organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua belum sempurnanya perspektif kepatuhan, yakni: 
  • Banyak faktor non-birokratis yang besar lengan berkuasa tetapi justru kurang diperhatikan,  
  • Adanya acara yang tidak didesain dengan baik. 
Perspektif kedua yaitu perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor biar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja distributor administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak berperihalan dengan perspektif faktual yang juga memseriuskan perhatian pada banyak sekali faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual sanggup ditetapkan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu:
  1. Kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan 
  2. Kemampuan implementor melaksanakan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi efek eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.
Keberhasilan kebijakan atau acara juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, acara pemerintah dikatakan berhasil jikalau pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibentuk oleh pembuat acara yang mencakup beberapa aspek antara lain cara pelaksanaan, distributor pelaksana, kelompok samasukan dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, acara sanggup dinilai berhasil mabadunga acara membawa dampak menyerupai yang diinginkan. Suatu acara mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

Model Implementasi Kebijakan
Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai citra pembuatan kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan citra model bottom up sanggup dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan.

Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh bermacam-macam aktor, dimana keluaran jadinya ditentukan oleh baik materi acara yang sudah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik sanggup terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak sekali pemain film kebijakan, sedangkan proses manajemen terlihat melalui proses umum terkena agresi administratif yang sanggup diteliti pada tingkat acara tertentu.

T.B. Smith mengakui, dikala kebijakan sudah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan (Naengkaura dan Smallwood, 1980: 2). Pada gambar 01 terlihat bahwa suatu kebijakan mempunyai tujuan yang terang sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam acara agresi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau acara – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran acara berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran acara dilihat melalui dampaknya terhadap samasukan yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan yaitu perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok samasukan.

Model Linier Implementasi Kebijakan
Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model linier, fase pengambilan keputusan ialah aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang menerima perhatian atau dianggap sebagai tanggung balasan kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya yaitu pihak manajemen yang dianggap kurang mempunyai komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

Model Interaktif Implementasi Kebijakan
(Thomas R. Dye. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall Internati
Berbeda dengan model linier, model interaktif menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis, alasannya yaitu setiap pihak yang terlibat sanggup mengusulkan perubahan dalam banyak sekali tahap pelaksanaan. Hal itu dilakukan dikala kebijakan publik dianggap kurang memenuhi impian stakeholders. Ini berarti bahwa banyak sekali tahap implementasi kebijakan publik akan dianalisis dan dievaluasi oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.meskipun persyaratan input sumberdaya ialah keharusan dalam proses implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya sanggup dipakai secara optimum jikalau dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan lingkungan yang kondusif.

Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan model implementasi kebijakan yang lain, khususnya model proses politik dan manajemen dari Grindle, terlihat adanya kesamaan dan representasi elemen yang mencirikannya. Tujuan kebijakan, acara agresi dan proyek tertentu yang dirancang dan didanai berdasarkan Grindle menawarkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting dalam model linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi acara implementasi berdasarkan Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif. Begitu pula istilah model proses politik dan proses manajemen berdasarkan Grindle, selain menawarkan dominasi cirinya yang cenderung lebih akrab kepada ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga menawarkan kelebihan model tersebut dalam cara yang dipakai untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, beserta output dan outcomesnya.

Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn berbagi Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak ialah konsep penting dalam mekanisme implementasi. Keduanya berbagi tipologi kebijakan menurut: 
  • Jumlah perubahan yang akan dihasilkan, 
  • Jangkauan atau ruang lingkup komitmen terkena tujuan oleh banyak sekali pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Tanpa mengurangi dapat dipercaya model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang memilih keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan manajemen berdasarkan Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibentuk oleh keduanya termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi berdasarkan Grindle. Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi ruang lingkup komitmen termasuk dalam konteks implementasi.

Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19) membuat Model Kesesuaian implementasi kebijakan atau acara dengan menggunakan pendekatan proses pembelajaran. Model ini diberintikan kesesuaian antara tiga elemen yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu acara itu sendiri, pelaksanaan acara dan kelompok samasukan program.

Model Kesesuaian
(Dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, h. 1
Korten menyatakan bahwa suatu acara akan berhasil dilaksanakan jikalau terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara acara dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh acara dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok samasukan (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara acara dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara kiprah yang disyaratkan oleh acara dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk sanggup memperoleh output acara dengan apa yang sanggup dilakukan oleh kelompok samasukan program.

Berdasarkan referensi yang dikembangkan Korten, sanggup dipahami bahwa jikalau tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja acara tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output acara tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok samasukan terang outputnya tidak sanggup dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana acara tidak mempunyai kemampuan melaksanakan kiprah yang disyaratkan oleh acara maka organisasinya tidak sanggup memberikan output acara dengan tepat. Atau, jikalau syarat yang diputuskan organisasi pelaksana acara tidak sanggup dipenuhi oleh kelompok samasukan maka kelompok samasukan tidak mendapatkan output program. Oleh alasannya yaitu itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak diharapkan biar acara berjalan sesuai dengan planning yang sudah dibuat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model implementasi kebijakan yang lain. Hal ini sanggup dipahami dari kata kunci kesesuaian yang digunakan. Meskipun demikian, elemen yang diadaptasi satu sama lain – program, pemanfaat dan organisasi – juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (program) dan dimensi konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes (pemanfaat) pada model proses politik dan manajemen dari Grindle.

Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan alasannya yaitu melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat sanggup berpartisipasi mempersembahkan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, dikala sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diharapkan organisasi pelaksana, alasannya yaitu di dalam organisasi ada kewenangan dan banyak sekali sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan kontribusi positif sehingga lingkungan akan besar lengan berkuasa terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jikalau lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok samasukan kebijakan ialah hasil eksklusif dari implementasi kebijakan yang memilih efeknya terhadap masyarakat.Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi berdasarkan Ripley dan Franklin (1986: 12) didasarkan pada tiga aspek, yaitu:
  1. Tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang,
  2. Adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta 
  3. Pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari tiruana acara yang ada terarah. 
Sedangkan berdasarkan Goggin et al. (1990: 20-21, 31-40), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer isu atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: 
  • Dorongan dan paksaan pada tingkat federal, 
  • Kapasitas pusat/negara, 
  • Dorongan dan paksaan pada tingkat sentra dan daerah.
Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat sentra ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sentra di mata kawasan maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan sanggup dilihat melalui:
  1. Besarnya dana yang dialokasikan, dengan perkiraan bahwa semakin besar dana yang dialokasikan maka semakin fokus kebijakan tersebut dilaksanakan dan
  2. Bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas sentra atau kapasitas organisasi sanggup dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan bisa memanfaatkan wewenang yang dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada dan bagaimana mengkoordinasikan banyak sekali sumberdaya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.
Model kesesuaian implementasi kebijakan atau acara dari Korten juga relevan dipakai (lihat kembali Gambar 3 dan penjelasannya) sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan. melaluiataubersamaini kata lain, keefektifan kebijakan atau acara berdasarkan Korten tergantung pada tingkat kesesuaian antara acara dengan pemanfaat, kesesuaian acara dengan organisasi pelaksana dan kesesuaian acara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana.Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula dipahami adanya korelasi efek antara implementasi kebijakan dengan faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (lihat Grindle, 1980: 6) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud oleh keduanya meliputi: 
  1. Ukuran dan tujuan kebijakan, 
  2. Sumber kebijakan, 
  3. Ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, 
  4. Komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi kegiatan yang dilaksanakan, 
  5. Sikap para pelaksana, dan 
  6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Menurut Quade (1984: 310), dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok samasukan dan faktor lingkungan yang menjadikan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan sanggup dipakai sebagai materi masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade mempersembahkan citra bahwa terdapat empat variabel yang harus diteliti dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu:
  1. Kebijakan yang diimpikan, yaitu referensi interaksi yang diimpikan biar orang yang memutuskan kebijakan berusaha untuk mewujudkan;
  2. Kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan sanggup mengadopsi referensi interaksi gres melalui kebijakan dan subyek yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya;
  3. Organisasi yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawaban mengimplementasikan kebijakan; dan 
  4. Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebagai komparasi sanggup dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang berbagi “kerangka kerja analisis implementasi” (lihat Wahab, 1991: 117). Menurutnya, kiprah penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: 
  1. cepatdangampang atau susahnya dikendalikan duduk kasus yang digarap; 
  2. Kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasinya; dan 
  3. pengaruh eksklusif variabel politik terhadap keseimbangan kontribusi bagi tujuan yang termuat dalam kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat.
Variabel simpel atau susahnya suatu duduk kasus dikendalikan mencakup beberapa aspek:
  1. Kesukaran teknis,
  2. Keragaman sikap kelompok samasukan, 
  3. Persentase kelompok samasukan dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan
  4. Ruang lingkup perubahan sikap yang diinginkan. 
Variabel kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasi mencakup beberapa aspek:
  1. Kejelasan dan konsistensi tujuan,
  2. Ketepatan alokasi sumber daya, 
  3. Keterpaduan hirarki dalam dan di antara forum pelaksana,
  4. Aturan keputusan dari tubuh pelaksana,
  5. Rekruitmen pejabat pelaksana, dan 
  6. Akses formal pihak luar.
 Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi mencakup beberapa aspek: 
  1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi, 
  2. Dukungan publik, 
  3. Sikap dan sumber daya yang dimiliki kelompok, 
  4. Dukungan dari pejabat atasan, dan 
  5. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana (Keban, 2007: 16). sedangkan variabel terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup beberapa aspek: 
  • Output kebijakan tubuh pelaksana, 
  • Kesediaan kelompok samasukan mematuhi output kebijakan, 
  • Dampak nyata output kebijakan,
  • Dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan 
  • Perbaikan.

LihatTutupKomentar