-->
Pengertian Pesona Selebritas Demokrasi
Pesona Selebritas dalam Panggung Demokrasi 
Maraknya para artis mencalonkan diri sebagai calon kepala tempat yaitu fenomena yang merambah panggung demokrasi di Indonesia. Seolah-olah panggung hiburan bermetamorfosis media yang kurang menarikdanunik, sehingga panggung politik mulai menjerat para artis untuk mengekspresikan dirinya. Sebut saja 'si ratu goyang ngebor' Inul Daratista, Ayu Azhari, dan juga Julia Perez. Mereka berlomba menggoyang panggung demokrasi di Indonesia dengan pesonanya masing-masing yang penuh semangat dan ambisi menata pemerintahan tempat pemilihannya. Fenomena tersebut mulai marak seiring dengan munculnya usaha kebebasan perorangan mengekspresikan diri, sehingga setiap orang merasa layak dan bisa bahkan cenderung menganggap dirinya kapabel dalam memimpin pemerintahan di suatu daerah. Namun, benarkah pemilihan eksklusif kepala tempat (pilkada) yaitu bentuk dari penyelenggaraan demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam konstitusi? Bukankah pemilihan eksklusif kepala tempat tersebut spesialuntuk sebatas pada upaya seleksi, bukan eleksi? 

Arti demokratis dalam konstitusi 
Dalam Pasal 18 ayat (4) Perubahan UUD 1945 ditetapkan bahwa: 'Gubernur, bupati, wali kota sebagai kepala tempat provinsi, kabupaten/kota, dipilih secara demokratis.' Selanjutnya dalam ayat (7) Perubahan UUD 1945 menegaskan bahwa 'Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan tempat diatur dalam undang-undang.' Sebagai derivasi ayat tersebut diputuskanlah UU Nomor 32/2004 yang sudah mengalami beberapa kali perubahan. 

Dalam konstitusi tidak satu pun norma yang secara tegas menyatakan bahwa kepala tempat dipilih secara langsung, sehingga pemilihan kepala tempat diserahkan para pengubah konstitusi dalam bentuk hukum pelaksanaan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat daerah, yakni dalam bentuk undang-undang. Arti demokratis dalam konstitusi yaitu aliran penyelenggaraan pemilihan kepala tempat yang harus berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi, baik demokrasi eksklusif maupun demokrasi perwakilan. Pemdiberian arti kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) Perubahan UUD 1945 sama dengan pemilihan eksklusif yaitu penafsiran yang tendensius dan emosional, sehingga pengaturan lebih lanjut arti demokratis diserahkan dalam bentuk undang-undang. 

Pilkada, seleksi atau eleksi? 
UU Nomor 32/2004 sebagai undang-undang organik yaitu derivasi dari norma pemilihan kepala daerah, sehingga arti demokratis sanggup ditemukan dalam undang-undang tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, pemilihan kepala tempat yaitu suatu proses penyeleksian (bukan eleksi) sehingga pengertian demokratis dalam pemilihan kepala tempat sebagaimana dimaksud dalam konstitusi yaitu demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung(BPHN: 2009). 
Hal tersebut tampak pada pengaturan Pasal 109 ayat (3) UU Nomor 32/2004 yang menyatakan bahwa 'Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut diberita program penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapat pengakuan pengangkatan.' Untuk calon bupati dan wakil bupati berlaku ketentuan Pasal 109 ayat (4) UU Nomor 32/2004, bahwa, 'Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur menurut diberita program penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk mendapat pengakuan pengangkatan. 
Mengacu pada norma tersebut, penafsiran formal tentang makna 'pemilihan' pada pilkada lebih sempurna ditetapkan sebagai, seleksi bukan eleksi, sehingga pilkada yaitu proses pelibatan masyarakat dalam menyeleksi calon kepala daerah. melaluiataubersamaini demikian, penafsiran pilkada yaitu proses eleksi kepala tempat harus dikembalikan pada ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Konksekuensi demokrasi langsung 
Kecenderungan penafsiran bahwa pilkada yaitu proses eleksi kepala tempat di antaranya dipengaruhi oleh prosedur pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sedangkan dalam peraturan pelaksana pilkada bukan yaitu eleksi. Namun, proses demokrasi eksklusif yang dianggap sebagian pakar yaitu tingkat proses demokrasi terbaik, perlu dikaji kebenarannya dikaitkan dengan pelaksanaannya. 

Beberapa hal yang terkait dengan konsekuensi demokrasi eksklusif antara lain: 
  1. Demokrasi eksklusif menuntut adanya hubungan yang bersahabat antara pemilih dan kontestan akseptor pemilihan sebagai bentuk kepercayaan antara pemilih dan kontestan. 
  2. Demokrasi eksklusif cenderung ditujukan bagi pengumpulan bunyi (kuantitas) tanpa selalu diikuti dengan kualitas kontestan. Kecenderungan ini ditambah dengan fenomena metode penghitungan cepat (quick count) oleh beberapa forum survei melalui metode polling. 
  3. Kecenderungan kuantitatif tersebut yaitu bentuk bergesernya kualitas makna demokrasi dalam abad digital (digital democracy). 
  4. Kualitas kontestan bukan yaitu faktor signifikan bagi demokrasi langsung. Pemilih spesialuntuk memilih kontestan menurut popularitas secara finansial (money politics) ataupun secara visual (image building). 
  5. Demokrasi langsung--dalam bentuk ideal--menuntut adanya keterlibatan eksklusif pemilihan, penyelenggaraan tugas, pengawasan, pelaporan, dan pertanggungjawabanan pejabat publik yang dipilih. 
Lima konsekuensi demokrasi eksklusif itulah yang memengaruhi para perumus UU Nomor 32/2004 mencantumkan Pasal 109 ayat (3) dan ayat (4) sebagai bentuk pengawasan forum perwakilan tempat bagi penetapan calon kepala tempat terpilih. Berdasarkan batasan peraturan perundang-undangan tersebut, lebih sempurna kalau istilah 'pemilihan' dalam pilkada dibaca dengan 'penyeleksian' sehingga demokrasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 yaitu demokrasi perwakilan dan bukan demokrasi langsung. Hal ini sesuai dengan sila keempat Pancasila, bahwa 'ke-(daulatan) rakyatan dipimpin oleh hikmat akal dalam permusyawaratan/perwakilan.' Demokrasi perwakilan yaitu bentuk demokrasi yang dipilih oleh para perumus UUD 1945, sebaliknya demokrasi eksklusif dipilih oleh para pengubah UUD 1945. 

Bahan introspeksi 
Mengacu pada ketentuan Pasal 109 UU Nomor 32/2004 bahwa adanya keterlibatan DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam memilih pengakuan pemenang pilkada perlu kiranya dipertimbangkan para selebiritas yang kelak berlaga di panggung demokrasi, mengingat ketenaran dan modal (secara finansial dan visual) yang dimiliki selebritas yang digadang-gadang bukan jaminan selebriti tersebut mulus melenggang sebagai pemenang dalam pilkada. 
Kecenderungan partai politik menjaring calon kepala tempat dari kalangan selebritas yaitu salah satu taktik penjaenteng bunyi (bahkan penggalangan dana) bagi kepentingan partai politik tersebut, bukan untuk kepentingan rakyat, bahkan bukan pula untuk kepentingan selebiritas yang digadang-gadang. 
Panggung demokrasi yaitu panggung yang sempurna bagi selebritas sepanjang mereka bisa menguasai pemangku kepentingan yang tidak spesialuntuk terdiri dari para sutradara, pemain lain, penonton, tapi juga para 'penumpang-penumpang petang' yang tidak bisa dibendung dengan peraturan perundang-undangan. 
Sepanjang selebritas yang dimaksud spesialuntuk terpesona dengan sorotan lampu demokrasi tanpa dibekali dengan kemampuan penataan kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintahan secara mapan, pasti selebritas itu spesialuntuk diposisikan sebagai 'golek politik' yang dikendalikan oleh sutradara dan banyak sekali kepentingan. Semoga goresan pena ini sanggup bermanfaaat sebagai materi instrospeksi bagi para selebritas yang digadang-gadang sebagai calon kepala daerah. Selamat menggoyang panggung demokrasi. 

Dr Mochamad Isnaeni Ramdhan SH MH, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pancasila 

LihatTutupKomentar