KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAM
Korupsi menjadi suatu istilah yang sangat ekspresi dominan kini ini, dan diberitanya tidak kalah heboh dan menarinya untuk disimak, tidak kalah dengan diberita-diberita infotaimen yang sedang mencuat kini ini.
Korupsi dari doloe sudah ada dan hingga kini juga tetap ada. Walaupun perbuatannya sangat menakutkan, tetapi banyak yang menyukai dan malah merindukan, entah tanda-tanda dan fenomena apa yang terjadi?
Korupsi ialah suatu perbuatan yang sangat seram bagi orang yang mendengarnya. Saking menakutkannya, di setiap periode pemerintahan selalu dicanangkan upaya penegakan aturan secara konsisten dalam pemberantasan korupsi, baik korupsi yang kecil maupun korupsi yang besar (di badan swasta maupun badan pemerintah). Termasuk pada periode pemerintahan SBY kini ini, sanggup kita lihat banyak sekali upaya sudah dilakukan untuk sanggup mengungkap perbuatan-perbuatan korupsi yang sudah melanda Negara ini (upaya penanggulangan sudah dilakukan semenjak dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer Tahun 1957 hingga dengan sekarang).
Masalah korupsi ternyata tidak spesialuntuk menjadi problem Negara Indonesia saja, tetapi kasus korupsi ini sudah menjadi kasus dunia, hal ini sanggup kita lihat dari fokusnya PBB menangani problem ini yaitu dengan didirikannya suatu organ PBB yang berjulukan Centre for International Crime Prevention (CICP) yang berkedudukan di Wina. Pengertian korupsi apabila kita lihat dari sudut pandang ruang lingkupnya, maka betul apa yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita[1]
Korupsi diakui sebagai kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistematik dan meluas, dan sudah ialah suatu hewan gurita yang mencengkramkan seluruh tatanan social dan pemerintahan.
Selain itu juga sudah secara luas mendefinisikan korupsi sebagai misusse of (public) power for privat gain. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap (bribery), pengpetangan (embezzlement) penipuan (farud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion), memanfaatkan kedudukan seseorang dalam aktifitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interests, insider trading), nepotisme, komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commission); dan bantuan ulang secara illegal untuk partai politik.
Korupsi yang sudah berkembang kini ini sudah sangat pesat, baik yang kini sudah terungkap mapun diperkirakan masih banyak yang belum terungkap. Dapat kita lihat dari diberita-diberita baik diberita media cetak maupun diberita media elektronik, ataupun kabar yang berkembang di masyarakat tentang bagaimana hebatnya korupsi yang melanda negeri ini, baik korupsi di tingkat bawah hingga korupsi di tingkat atas. Korupsi ternyata bukan spesialuntuk ialah kasus aturan semata-mata, melainkan sudah menjadi problem pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia, sehingga akhir pengaruh dari pelanggaran tersebut mengakibatkan kemiskinan dan kesentidakboleh sosial yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat secara luas, alasannya sebagian terbesar masyarakat tidak sanggup menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dari problem di atas, maka sanggup kita lihat bahwa korupsi sanggup dianggap sebagai perbuatan pelanggaran hak asasi manusia.
Korupsi dan Hak Asasi Manusia
Di dalam penlampauan sudah disinggung bagaimana problem korupsi sanggup menjadi problem yang sangat luas, yaitu tidak spesialuntuk menjadi problem aturan tetapi juga sudah menjadi problem ekonomi dan sosial bangsa, sehingga apabila itu dibiarkan sanggup menjadikan problem pelanggaran hak asasi manusia.
Apabila kita menyidik dari semangat Deklarasi PBB tentang human right, maka di sana sudah diakomodir tentang hak asasi insan yang sangat penting, yaitu bahwa hak asasi insan adalah[2] “Semua hak yang diharapkan setiap orang sebagai manusia. Secara garis besar maka hak asasi insan dibagi atas dua rumpun, yaitu hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kedua penggolongan ini mempunyai kedudukan yang sangat penting, alasannya sangat diharapkan oleh manusia”.
Apabila problem korupsi kini ialah problem pelanggaran HAM, maka perlakuan terhadap perbuatan ini juga harus sama dengan perlakuan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya, walaupun perbuatannya secara eksklusif tidak sama dengan perbuatan pelanggaran HAM yang ada, yaitu menyerupai genosida, atau menyerupai pembunuhan masal. Tetapi pengaruh atau akhir dari perbuatan korupsi secara tidak eksklusif dan secara terus menerus (sistemik) sanggup membunuh manusia, sehingga pelaku korupsi sanggup dikategorikan sebagai pelaku kejahatan luar biasa atau yang sering disebut dengan istilah pelaku Extra Ordinary Crimes.
Penanganan terhadap pelaku kejahatan yang luar biasa harus dilakukan dengan sangat luar biasa, yaitu perangkat undang-undangnya harus sanggup memadai (dapat menjangkau segala perbuatan korupsi dalam banyak sekali jenis dan banyak sekali tingkatan), perangkat pelaksana undang-undangnya juga harus orang-orang yang terpilih, yaitu orang-orang yang sangat professional dalam bidang itu dan beresih dari korupsi, termasuk budaya hukumnya (kesadaran aturan masyarakat) harus sanggup mendukung terlaksananya problem tersebut.
Indonesia kini ini sedang berusaha melakukan itu, hal itu sanggup dibuktikan dengan terus dilakukannya amandemen terhadap pertauran perundang-undangan yang mengatur kasus korupsi, yaitu dari mulai perubahan terhadap Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1975 oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat AD No. PRT/PEPERPU/03/1958, selanjutnya diubah dengan UU No. 24/Prp/1960, selanjutnya diubah dengan UU No. 3 Tahun 1971, selanjutnya pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, maka Undang-undang No. 3 Tahun 1971 diubah dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagai penyempurnaan dari undang-undang di atas, maka dilengkapi dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001.
Di dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 terdapat 4 (empat) pembaruan mendasar, yaitu:[3]
- Tindak pidana korupsi sudah dirumuskan secara formal, yaitu meskipun hasil korupsi sudah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap dituntut dan diajukan ke siding pengadilan dan sanggup dipidana (didiberi hukuman pidana);
- dianutnya sistem pembuktian terbalik murni yang mewajibkan kepada terdakwa di muka siding pengadilan untuk menandakan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil korupsi. Jika ia sanggup menandakan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil korupsi, dan hakim yakin atas bukti-bukti yang diajukannya, maka terdakwa dibebaskan. Sebaliknya bila ia tidak sanggup membuktikannya dan hakim yakin bahwa terdakwa bersalah atas perbuatannya, maka ia dijatuhi pidana yang bervariasi,paling singkat 1 (satu) tahun hingga dengan 3 (tiga) tahun, dan paling usang antara 10 tahun atau 15 tahun atau pembuktian berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana yang selama ini dianut dalam proses peradilan pidana kurang lebih 20 tahun yang lalu;
- Pemdiberian uang di atas jumlah tertentu (Rp. 10.000.000,-) harus dianggap suap, kecuali sanggup dibuktikan sebaliknya. Dalam kaitan ini maka perbuatan suap sudah ialah delik formil.
- Penyitaan atas harta kekayaan terdakwa sanggup dilaksanakan baik sebelum maupun setelah dijatuhkannya putusan pengadilan dan tidak dibatasi oleh masa daluwarsa.
Selanjutnya di tingkat perangkat pelaksana undang-undang, maka kini sudah dibuat suatu forum penyidik tindak pidana korupsi, yang mempunyai wewenang sebagai petugas penyidik dan penuntut pelaku tindak pidana yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan yang terakhir yang harus diperhatikan ialah budaya hukum, hal ini sangat penting dikarenakan bahwa penanggulangan korupsi tidak akan berhasil tanpa adanya pemberian dan kesadaran aturan masyarakat, menyerupai yang dikemukakan oleh Sudarto,bahwa:[4]
Suatu clean government dimana tidak terdapat atau setidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bias diwujudkan spesialuntuk dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu aturan pidana dengan hukuman yang tajam. Jangkauan aturan pidana ialah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak eksklusif sanggup dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya.
Penutup
Korupsi sudah menjadi bab dari problem negara Indonesia, dan tidak spesialuntuk kiprah pemerintah untuk memberantasnya, tetapi kiprah kita tiruana, alasannya perbuatan korupsi sudah melanggar hak asasi kita sebagai manusia.
Daftar Pustaka;
- Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta Rineka Cipta, 1991
- Bardawi Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.
- ----------------------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998.
- Romli Atmasasmita, Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Makalah Kuliah Umum Semester Genap 2003/2004 Fakultas Hukum Unpas, Bandung, 2004.
- ----------------------------, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional Jilid ke 2, Jakarta, IKAPI, 2004.
*) Sekretaris Program Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpas
[1] Romli Atmasasmita, Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Makalah Kuliah Umum Semester Genap 2003/2004 Fakultas Hukum Unpas, Bandung, 2004, hlm. 1
[2] Perhimpunan pertolongan Hukum dan HAM Indonesia Jawa Barat, Hak Asasi insan (Seri Bacaan Hak Asasi Manusia), Bandung, 2003, tanpa halaman.
[3] Romli Atmasasmita, Op. Cit. hlm. 5.
[4] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 87.