Tragedi dan Komedi
Tragedi dan dagelan ialah dua genre besar pertunjukan pada zaman Yunani kuno. sepertiyang setiap bentuk ekspresi seni, peristiwa dan dagelan menjadi tema besar pertunjukan yang berupaya memahami insan dengan menggandakan (mimesis) dan menyimbolkan seluruh sikap hidup manusia. Sebagai upaya memahami dirinya, insan membuat jarak antara kesadarannya dan fenomena biar mengerti dirinya secara lebih utuh. Sehingga melalui narasi tersebut ia bisa melihat dirinya dengan lebih jelas. Kedua genre besar ini jikalau dicermati ialah cerminan kehidupan manusia, semacam tema refleksi dan abstraksi kehidupan insan yang di pahami sebagai sebuah cara insan diberinteraksi dengan situasi lingkungan, sesama insan dan dirinya sendiri.
Tragedi secara etimologis berangkat dari kata tragoidia, berasal dari kata tragos yang artinya kambing dan aeidein yang artinya nyanyian, menggambarkan nyanyian yang mengiringi nasib sebuntut kambing yang dikorbankan dalam kegiatan ritual dalam budaya Yunani kuno. Tragedi melambangkan kefokusan seorang tokoh berkarakter baik, yang berupaya untuk menelaah pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia. Tragedi mengisahkan seseorang berkarakter baik yang menghadapi penderitaan dan tantangan terbesar dalam kehidupannya. Kemudian si abjad baik ini menghadapinya entah dengan gagah berani atau justru melarikan diri dalam ketakutannya, penonton yang menatap akan mempersembahkan simpati dan hormat kepada perjuangannya[3].
Aristoteles beropini bahwa peristiwa dan dagelan ialah sebentuk mimesis insan atas alamnya. Namun Aristoteles membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa peristiwa lebih mewakili “kebaikan” dan “kehormatan” sementara dagelan mewakili “kelucuan” dan “hina-dina”. Dalam cuilan 4 karya Aristoteles yang berjudul Poetics, ia menuliskan bahwa kenikmatan esensial yang dicapai setiap insan ketika mimesis ialah “belajar dan berpikir”. Aristoteles beropini bahwa mimesis literer ialah untuk mewakili sebuah agresi yang lengkap dan sinambung dari mulai penlampauan, isi dan penutup. Ketiganya dihubungkan oleh keniscayaan dan kemungkinan[4].
Menurut Aristoteles, emosi yang muncul dalam peristiwa ialah kepiluan dan ketakutan. Ia mendefinisikan kepiluan sebagai perasaan yang muncul dari orang yang menatap insiden menyedihkan tersebut kepada orang lain yang tidak sepantasnya mencicipi kemalangan tersebut. Sementara takut ialah emosi yang dirasakan penonton ketika mereka menyaksikan bahwa diri mereka bisa saja menemui kemalangan yang sama. Ketika penonton menatap lakon berkarakter baik dengan kualifikasi menyerupai dengan keseharian mereka diperlakukan tidak adil, mengalami nasib buruk, menderita dan sengsara, penonton tidak lagi sekedar menatap, namun mereka menginternalisasi si abjad ke dalam kehidupan mereka dan mulai terpengaruh dan terbawa narasi dan plot yang terdapat dalam cerita. Saat pilu dan takut terjalin dalam sebuah lakon tragis, sebuah struktur pemuasan kenikmatan penonton mulai terbentuk[5].
Tahap pemuasan dan pelepasan inilah yang dinamakan katharsis oleh Aristoteles. Namun demikian term inilah yang selalu menjadi topik perdebatan ahli-ahli filsafat maupun seni. Setidaknya ada 3 macam analisis terhadap konsep katharsis, yaitu secara medis, moral dan kognitif, namun sejauh ini spesialuntuk analisis kognitif saja yang dianggap cukup penting untuk dicermati. Berangkat dari konsep mimesis, semenjak kanak-kanak insan memang berguru untuk menirukan dunia dan pengalaman inderawi ini memang menimbulkan kesenangan dan kenikmatan tersendiri[6]. Penonton yang menatap tragedi, terdorong untuk mencermati setiap penderitaan dan sengsara si tokoh berkarakter baik, spesialuntuk untuk sekedar menghibur diri, lantaran dengan menatap pertunjukan tersebut ia sanggup menjadi dirinya sendiri secara lebih utuh. Karena penonton sanggup menempatkan diri dengan lebih baik dalam korelasi sosial antar individu, sekaligus memperoleh kemampuan untuk melaksanakan abstraksi berupa refleksi atas kesadaran diri dan posisinya sebagai mahluk sosial sekaligus individual.
Sementara itu, lawakan, berdasarkan Aristoteles, ialah mimesis untuk orang-orang inferior. Inferior atau “hina-dina” dilawankan dengan “terhormat” dalam konteks tragedi. Makara term “hina-dina” ini diberimplikasi moral dan sosial sekaligus, lantaran tokoh sentral dagelan berasal dari kelas rendah, menyerupai petani dan budak, yang spesialuntuk menjadi semacam komplemen dalam tragedi. Karakter lucu, bodoh, hina atau bahkan mengalami ketaknormalan badan maupun mental ini bertingkah laris seenaknya, kadang melampaui batas-batas tata krama dan sopan santun menyerupai lazimnya kelas sosial mereka[7].
Komedi mungkin memang praktis dinikmati, tetapi ia sangat susah didefinisikan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh keterbatasan definisi itu sendiri. Sebuah pola definisi tentang lawakan:
dagelan /komédi/n sandiwara yg penuh dng kelucuan-kelucuan (yg tidak masuk akal); sandiwara besar hati komidi n 1 pertunjukan dongeng yg dimainkan oleh orang; sandiwara; 2 pertunjukan[8]
Setidaknya syarat dagelan adalah: 1) menjadikan ketawa, 2) tamat dongeng yang gembira, 3) representasi dari kehidupan sehari-hari. Tapi sekalipun ketiga syarat ini dipenuhi, usaha untuk memerikan dagelan masih agak susah dikatakan berhasil.
Komedi memang ditujukan untuk menghibur penonton yang menatapnya. Teknik yang ditempuh ialah dengan membengkokkan budi dan daypikir sehari-hari. Dalam lawakan, pernyataan-pernyataan para tokoh yang bermain saling serang, bahkan saling menjatuhkan, namun argumentasi memang sengaja tidak dibangun secara utuh. Seringkali kesan yang muncul ialah ketidaksinambungan dalam percakapan, namun hal ini memang disengaja untuk memancing tawa penonton.
Komedi Slapstick, OVJ dan Srimulat
OVJ menjadi buah bibir justru bukan lantaran penemuan atau up to date dalam hal lawakannya, namun justru lantaran dagelan yang diusung memakai pola lama, yaitu slapstick. Definisi dagelan slapstick yang dikemukakan dalam ensiklopedi spesialuntuk sanggup mempersembahkan citra sedikit tentang fenomenon tersebut. Komedi slapstick dimengerti sebagai:
Comedy characterized by broad humour, abnormal situations, and vigorous, often violent action. It took its name from a paddlelike device, probably introduced by 16th-century commedia dell'arte troupes, that produced a resounding whack when one comic actor used it to strike another.[9]
Apabila OVJ digolongkan dalam genre dagelan slapstick, hal ini disebabkan oleh penerapan dagelan yang bersifat fisik.
Pergantian tugas para pemain film memang lebih bervariasi dalam setiap episode OVJ dibandingkan dengan kelompok lawak Srimulat. Sule dan Azis Gagap tidak selamanya menjadi sekedar komplemen untuk memancing kelucuan, namun seringkali menjadi tokoh utama. Sementara Srimulat memang lebih terkesan monoton dalam hal casting karakter. Seorang aktor/aktris yang memang tidak berwajah ganteng maupun cantik, akan selalu menduduki posisi sebagai lawakanan. Artinya, ia spesialuntuk akan menjadi seorang komplemen atau “umpan” dalam setiap adegan, dan ia spesialuntuk akan didiberi tugas sebagai pemmenolong rumah tangga. Oleh lantaran itu, apabila kebetulan Sule dan/atau Azis Gagap muncul sebagai pemeran utama, baik protagonist maupun antagonis, rangkaian dongeng bisa melenceng tak tentu arah hingga Parto Patrio sebagai sang dalang naik ke panggung untuk meluruskan, namun seringkali pula sang dalang justru terlibat dalam memancing kelucuan-kelucuan baru.
Seperti halnya Srimulat, OVJ selain mengandalkan pemain film inti yang terdiri dari para pelawak, juga sering ada bintang tamu para selebritis, baik dari kalangan aktor/aktris film/sinetron maupun musisi. Para bintang tamu seringkali tidak bertingkah laris guah dan hina. Mereka spesialuntuk tampil untuk melengkapi kegiatan tersebut untuk peran-peran yang lebih fokus dan tidak ugal-ugalan dibanding para pemain film inti yang memang komedian profesional. Nampak dalam episode yang ditayangkan tanggal 24 oktober 2009, Sandy Nayoan yang berperan sebagai seorang pemilik sebuah perusahaan terlihat spesialuntuk sebagai figuran yang berperan fokus[10].
Persoalan Etis
Kekerasan untuk memancing kelucuan yang ditayangkan dalam setiap episode OVJ menimbulkan permasalahan etis yang perlu dikaji lebih jauh. Permasalahan etis yang selalu menyangkut sikap para pemain film maupun kelucuan yang ditimbulkannya, atau keterhiburan penonton yang tertawa ketika menyaksikan kelucuan akhir kekerasan pun perlu dipertanyakan lebih jauh. Karena berbicara tentang permasalahan etis akan selalu bersinggungan dengan daypikir dan norma-norma moral yang dianggap akan membuat kehidupan insan lebih baik dan lebih bermakna.
Etika ialah salah satu ranting dalam cabang aksiologi pada ilmu filsafat yang menelaah predikat ‘benar’ (right) dan ‘salah’ (wrong) dalam arti ‘susila’ (moral) dan ‘taksusila’ (immoral). melaluiataubersamaini demikian yang dimaksud dengan adat adalah:
- Sebuah paradigma / metode kritis yang digunakan untuk menganalisis suatu perbuatan / tindakan seseorang, sekelompok orang, atau negara.
- Metode kritis yang digunakan untuk mereview sebuah evaluasi seseorang, sekelompok orang atau negara[11].
Etika sebagai sebuah ranting dalam filsafat, berusaha mengungkap hingga pada tingkat terdalam hakikat suatu pedoman dan/atau tindakan seseorang. Etika mereview tentang etis tidaknya klaim / evaluasi / pemaknaan seseorang terhadap suatu fenomena, dan sekaligus mereview perbuatan dan sikap seseorang tersebut. Misalnya, adat menyoroti tentang pandangan si A terkena aborsi, menyoroti pula tindakan A ketika melaksanakan aborsi, menyoroti tindakan pengguguran itu sendiri, sekaligus menyoroti pandangan masyarakat dan negara terhadap aborsi, dan tindakan negara dan masyarakat yang menjatuhkan hukuman terhadap si A.
Bicara tentang permasalahan etis dalam perkara OVJ kita perlu menelaah dengan lebih teliti terkena kelucuan/lucu. Sebagai sebuah metode kritis yang digunakan untuk menilai sebuah tayangan televisi, kiranya perlu ditelaah secara mendalam pengertian tentang kelucuan dan aspek-aspek yang berkutat di sekeliling pengertian kelucuan itu sendiri. Hal ini bisa ditempuh dengan menyoroti tentang evaluasi subyek yang menatap adegan kelucuan yang diperagakan oleh obyek.
Kelucuan dalam OVJ dan Katharsis a la Aristoteles
Lucu memang tak bisa didefinisikan dengan tegas, lantaran insan akan lebih memahami kelucuan ketika mencerapnya sendiri. Sekaligus kelucuan sangat terikat dengan konteksnya, menyerupai budaya setempat, ruang dimana kelucuan dibangun dan daerah yang tepat untuk munculnya kelucuan. Namun demikian insan tetap harus menelaah kelucuan itu lantaran tanpa memahaminya, insan tak akan bisa membedakan antara lelucon dan gas ketawa. Dapat ditetapkan bahwa insan tidak seharusnya tertawa ketika ia tidak mengerti apa yang ia tertawakan[12].
Kelucuan seharusnya dimengerti sebagai kata kerja. Sama menyerupai kata kekuasaan, kelucuan selalu bermakna relasional. Setiap kelucuan selalu dimulai dari suatu pihak memancing gelak tawa dan pihak lain tertawa. Kelucuan selalu bersifat relasional lantaran subyek yang tertawa membutuhkan obyek tertawaan, dan apabila hal tersebut tak terpenuhi, kelucuan tidak terbentuk dan tidak sanggup dimengerti. Bahkan ketika subyek menertawakan dirinya sendiri, ia memandang dirinya sebagai obyek tertawaan. Artinya ia mengambil jarak dari dirinya, merefleksikan sebuh tindakan atau insiden yang ia lakukan, atau situasi lingkungan sekitar, baik yang sudah terjadi maupun yang sedang berlangsung, untuk kemudian ditertawakan.
Kelucuan sangat kontekstual sifatnya, lantaran sangat tergantung pada ruang, waktu dan peristiwa. Subyek spesialuntuk bisa tertawa pada sesuatu yang dianggap lucu/obyek yang memancing kelucuan, dimana insiden itu sudah berlangsung dan terekam dalam ingatan subyek, ataupun sedang berlangsung dan sanggup ditatap oleh subyek. Karena subyek tak mungkin menertawakan kelucuan yang belum terjadi. Apabila subyek menertawakan prediksi insiden yang akan terjadi, bergotong-royong ia menertawakan pikirannya sendiri yang ketika itu terlintas[13]. Pengaruh ruang dan waktu juga sangat memilih keberhasilan usaha memancing kelucuan. Apabila ruang dan waktu tidak memungkinkan, kelucuan pasti tidak efektif. Sementara itu, kelucuan sangat tidak sama dari satu budaya dengan budaya yang lain. Hal ini sangat dipengaruhi terutama oleh faktor bahasa dan pola kebudayaan masing-masing suku bangsa, atau bahkan ras. Sebuah lelucon yang “sangat Amerika” akan tidak bisa dinikmati kelucuannya oleh orang Kebumen yang “sangat Jawa pedalaman” apabila perbedaan bahasa tidak berhasil dijembatani. Oleh lantaran itu proposisi “sense of humour” sangat bisa dimengerti maknanya.
Kelucuan di sisi lain ialah tindakan yang selalu timbal balik antara subyek dan obyek. Apabila obyek yang memancing kelucuan dianggap tidak memenuhi syarat untuk dianggap lucu oleh subyek, kelucuan tidak terbangun dan dengan sendirinya tidak terjadi gelak tawa. Apabila obyek memenuhi syarat disebut lucu namun tidak ada subyek yang menatap, maka kelucuan pun gagal.
Kelucuan OVJ selain dibangun melalui “ketaklaziman” tingkah laris para aktornya, juga dilakukan melalui perbuatan yang terkesan penuh kekerasan. Para pemain film seringkali saling memukul dengan memakai property yang dibuat dari bahan-bahan lunak dan tidak berbahaya, namun dibuat serupa dengan aslinya, bahkan menghempaskan pemain film lain kearah property tersebut.
Dalam sebuah episode OVJ yang ditayangkan tanggal 5 Maret 2009 berjudul “ Drunken Master”[14], kelucuan dibangun dengan obrolan yang “tidak nyambung” antar tokohnya, dilanjutkan dengan perlakuan yang menjurus pada kekerasan oleh pemain film yang satu kepada pemain film yang lain. INI metode membangun kelucuan dalam setiap episode OVJ yang terbukti sukses menjaring penonton. Penonton menatap adegan yang mempertunjukkan patahnya segala macam kelaziman sehari-hari lantaran tingkah laris para pemain film yang menyimpang. Bahkan budi dalam dongeng dan kesinambungan plot sanggup dengan praktis diingkari, lantaran skenario setiap episode OVJ bisa berubah setiap ketika tergantung pada cita-cita dan kemampuan diberimprovisasi para aktornya.
Emosi yang muncul dalam dagelan ialah kegelian dan kemirisan.[15] Kegelian muncul ketika adegan yang dipertunjukkan berupa ketidaksinambungan percakapan antar pemain film dan kebengkokan budi dalam obrolan dan argumen. Sementara kemirisan justru muncul ketika tindakan-tindakan di luar kelaziman dan cenderung berupa kekerasan terjadi antar aktor. Azis Gagap ialah salah seorang pemain film yang selalu mendapatkan perlakuan penuh kekerasan dan siksaan oleh pemain film lain, terutama dari Sule. Nampak dalam sebuah episode OVJ berjudul “Nini Pelet” yang ditayangkan pada tanggal 7 Mei 2009, Azis menjadi korban perlakuan garang seorang bintang tamu, yaitu Olga Syahputra. Olga dengan keras menendang Azis yang sedang berperan sebagai seorang pembaca diberita. Hal ini masih dilanjutkan dengan pemukulan terhadap Azis oleh Parto dengan memakai property khusus tadi dengan keras.[16] Suasana pribadi mencair dan penonton yang menatap tertawa sehabis melihat Azis bisa berdiri dan tanpa menawarkan raut ketersinggungan ia masih berupaya meneruskan upayanya untuk terus berdialog dengan budi bengkok.
Aristoteles spesialuntuk sedikit mengulas kelucuan dalam dagelan namun ia tetap menempatkan kedudukan yang sama tentang katharsis, menyerupai halnya dalam tragedi[17]. Katharsis dalam dagelan ialah memuncaknya kepuasan penonton sehabis ia menginternalisasi adegan-adegan lucu dalam sebuah pertunjukan lawakan. Saat penonton menatap aktor/pelawak melaksanakan hal-hal yang tak lazim, obrolan yang berjalan dengan budi yang bengkok dan melaksanakan tindakan-tindakan berlebihan, bahkan cenderung melaksanakan kekerasan kepada sesama pemain film komedian ataupun kepada dirinya sendiri, para penonton akan tertawa.
Kegelian dan kemirisan yang terjalin dalam lakon dagelan kesannya memuncak dalam kesadaran subyek dan menimbulkan kenikmatan. Subyek yang menatap dagelan selalu sadar, dan oleh lantaran itu ia sanggup menarikdanunik diri dari fenomenon yang dicerap dalam inderanya untuk kemudian dipahaminya dengan lebih utuh. Subyek sanggup melaksanakan abstraksi dan refleksi atas kesadaran dirinya, dan oleh lantaran itu ia bisa menempatkan dirinya sebagai mahluk sosial di tengah kerumunan, sekaligus menjadi dirinya sendiri dengan lebih otentik.
Subyek menikmati kelucuan dengan menikmati ketaklaziman, ketidaksinambungan dan kekerasan yang terjadi dalam adegan justru lantaran mereka tidak bisa dan tidak akan sanggup melakukannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini terjadi lantaran subyek yang sadar selalu terkungkung dalam dunianya yang selalu berbatasan dengan norma dan aturan-aturan hidup bersama. Sehingga kelucuan yang bisa ditertawakan oleh subyek ialah kelucuan yang sifatnya membebaskan subyek dari belenggu dunia kehidupannya, meski spesialuntuk untuk sejenak. Keterbelengguan ini ialah dunia yang dihidupi, dunia kesadaran diri si subyek. Subyek yang menatap perlawanan terhadap norma dan kelaziman akan menemukan posisinya dalam lawakan, yaitu sebagai representasi dirinya yang sesungguhnya ingin melaksanakan perlawanan terhadap kemapanan.
Bentuk lain kelucuan yang bisa ditelaah melalui paradigma katharsis ialah ketika subyek menganggap kelucuan muncul ketika aktor-aktor yang berakting ialah sekumpulan orang yang secara fisik mengalami keterbatasan, atau mempunyai bentuk badan yang tidak lazim. Para pemain film yang mempunyai keterbatasan/ketaklaziman fisik menyerupai contohnya berkepala botak, berbibir lebar dan tebal, bergigi tonggos akan memancing kelucuan, terlebih lagi jikalau mereka menjadi samasukan hinaan dari sesama aktor. OVJ menyediakan pemain film yang secara fisik tidak lazim, menyerupai halnya Azis yang gagap dan selalu terbata-bata dalam berbicara, Sule berhidung pesek dengan potongan dan warna rambut yang guah. Keterkungkungan oleh norma moral dan sosial mengakibatkan subyek tidak sanggup menertawakan belum sempurnanya fisik subyek lain untuk memuaskan diri mereka lantaran kenormalannya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya melalui pertunjukan dagelan subyek sanggup melampiaskan kepuasan tersebut.
Persoalan-persoalan etis insan yang menatap sebuah tayangan lawakan, dalam hal ini OVJ, kiranya perlu ditinjau kembali. Sebab kelucuan yang muncul lebih banyak justru berasal dari dalam diri subyek yang spesialuntuk dipicu oleh agresi para pemain film lawakanan. Keterkungkungan oleh norma moral dan sosial, tekanan lingkungan dan pekerjaan, kehidupan berkeluarga, kemacetan jalan raya, dan seluruh aspek kehidupan sehari-hari insan seringkali membuat insan yang menatap sebuah pertunjukan dagelan meluapkan seluruh dirinya dalam kepuasan tertawa, sementara obyek yang ditertawakan sebetulnya ialah kepiluan, kepahitan, penindasan dan keterkungkungan insan lain, yaitu para aktor.
Penutup
Menatap OVJ sebagai sebuah kegiatan dagelan memang cukup menghibur, namun demikian sering kali dilupakan peluang untuk merenungkan dengan lebih mendalam kelucuan tersebut. Permasalahan etis yang seharusnya bisa ditelaah lebih jauh terkena kelucuan perlu kiranya ditelaah secara lebih mendalam, mengingat tertawa pun memang perlu diklarifikasikan segala aspeknya. Katharsis dalam pandangan Aristoteles bisa membuka sedikit selubung kelucuan sebuah tayangan dagelan berjudul Opera Van Java, serta mempersembahkan insight yang cukup menyadarkan bahwa menatap dan menertawakan sebuah adegan dagelan seharusnya dipikirkan dengan sangat fokus.
Abstract
This research is trying to comprehend the ethical problems arose from the concept of humour which were brought by an Indonesian television (Trans 7) comic kegiatan called Opera Van Java. This research begins by describing the tragedy and comedy according to Aristotle as the basic theory to analyze the concept of humour. The next task is trying use the concept of mimesis as the core understandings of katharsis as a method which could be use to achieve a much wholly understandings upon subject’s laughter and object’s humour. This research is using hermeneutic method to analyze concept of funny and humour, and using phenomenological paradigm to understands the relation between subject and object, also between laughter and humour.
The result of this research is a new and rather philosophical and serious understandings on humour and fun. This new paradigm will give a new approach upon ethical problems which should be examine first before a television kegiatan can be called as a funny, humourous, and succesfull comic program.
Keywords: humour, laughter, Katharsis, Aristotle, phenomenology
Penlampauan
Kelucuan dalam tayangan salah satu stasiun teve swasta di tanah air berjudul Opera Van Java (OVJ) ternyata menarikdanunik untuk dicermati. Rating kegiatan ini menempati posisi kedua, persis di bawah kegiatan serupa berjudul Tawa Sutra dari stasiun televisi yang lain[1]. OVJ sebagai sebuah tayangan dagelan memang ditujukan untuk menghibur seluruh penonton yang menatap layar televisi di rumah masing-masing. Ide kegiatan ini ialah menyerupai pertunjukan wayang orang pada kebudayaan Jawa. Para wayang itu diperankan oleh beberapa komedian terkenal, menyerupai Nunung Srimulat, Azis Gagap, dan Sule. Selain wayang, juga terdapat dalang yang diperankan oleh Parto Patrio serta para pemain gamelan dan sinden. Uniknya, spesialuntuk dalang yang mengetahui jalan ceritanya.[2]
Persoalan utama yang selalu akan diperdebatkan dalam sebuah tontonan lawakan, terutama yang bergenre slapstick menyerupai OVJ, ialah sikap tak lazim para pemain film dan kecenderungan penerapan bentuk-bentuk perlakuan yang tidak etis dan melanggar etiket keseharian. Sehingga acapkali penonton terpaksa menyaksikan adegan yang tidak senonoh, yang memunculkan banyak pertanyaan. Konteks televisi sebagai masukana pencerdasan kehidupan bangsa menjadi layak dikritisi, lantaran tayangan televisi ternyata sangat kuat dalam kehidupan berkelompok. Akibatnya, problem-problem etis tentang tayangan televisi mengemuka, sehingga perlu kiranya dibahas dengan menarikdanunik akar terdalam dari sebuah kegiatan televisi, yaitu tentang kelucuan dan tawa. Nilai-nilai etis, norma moral dan kesopanan yang selama ini diendorsi oleh individu dan masyarakat sanggup dengan praktis dilanggar oleh sebuah adegan dalam tayangan televisi, namun masyarakat seolah tidak peduli, lantaran khususnya dalam sebuah kegiatan lawakan, justru kelucuan lah yang dijadikan tolok ukur kesuksesannya.
Tulisan ini berusaha mengulas tentang keterlibatan subyek sebagai penonton kegiatan televisi ketika ia menatap sebuah tayangan dagelan slapstick, sekaligus menggali akar permasalahan kelucuan obyek dan tawa subyek terhadap sebuah tayangan dagelan slapstick.
Daftar Pustaka;
- Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987
- Livingstone, Paisley and Plantinga, Carl (ed), The Routledge Companion to Philosophy and Film, Routledge Taylor and Francis, New York, 2009
- Situs Internet:· Aristotle, Poetics, S. H. Butcher (transltd) (http://classics.mit.edu/Aristotle/poetics.mb.txt)
- Golden, Leon, Aristotle, (http://comptalk.fiu.edu/aristotle.htm)
- Heath, Malcolm, Aristotle on Comedy, (http://www.leeds.ac.uk/classics/heath/Aristotle%20on%20comedy.pdf)
- Hikmat Budiman, Komedi, Kritik!,http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/lawakan.html
- · Kitano, Masahiro, Aristotle's Theory of Comedy, Bulletin of Gunma Prefectural Women's University, 22 (2001) http://www.gpwu.ac.jp/ kitano/papers/comic.pdf
- Larry A Brown, Aristotle on Greek Tragedy
[1] Peringkat ini diambil dari website Indorating, yang membuktikan bahwa kegiatan Opera Van Java menerima 4.9 poin dan menduduki posisi kedua di bawah kegiatan bergenre sama berjudul Tawa Sutra. (http://www.indorating.com/produk.php?vproduk_id=opera_van_java_trans7&vpid=440304)
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Opera_Van_Java
[3] Larry A Brown, Aristotle on Greek Tragedy
(http://larryavisbrown.homestead.com/Aristotle_Tragedy.html)
[4] Aristoteles, Poetics, diterjemahkan oleh S. H. Butcher http://classics.mit.edu/Aristotle/poetics.mb.txt
[5] Ibid.
[6] Leon Golden, Aristotle, http://comptalk.fiu.edu/aristotle.htm
[7] Malcolm Heath, Aristotle on Comedy, http://www.leeds.ac.uk/classics/heath/Aristotle%20on%20comedy.pdf
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2009
[9] http://www.answers.com/topic/slapstick
[10] Lihat: http://www.youtube.com/watch?v=oi7sdG3yA8A&feature=related
[11] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987
[12] Hikmat Budiman, Komedi, Kritik!,http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/lawakan.html
[13] Deborah Knight, Tragedy and Comedy, (pg 539) in Livingstone, Paisley and Plantinga, Carl (ed), The Routledge Companion to Philosophy and Film, Routledge Taylor and Francis, New York, 2009
[14] Lihat http://www.youtube.com/watch?v=F2BnJX-YwuE
[15] Masahiro Kitano, Aristotle's Theory of Comedy, Bulletin of Gunma Prefectural Women's University, 22 (2001) http://www.gpwu.ac.jp/ kitano/papers/comic.pdf
[16] Lihat: http://www.youtube.com/watch?v=2oirRGaxZMo&feature=related
[17] Aristoteles, Poetics, diterjemahkan oleh S. H. Butcher http://classics.mit.edu/Aristotle/poetics.mb.txt