-->
Pengertian, Abjad Dan Istilah Pendidikan Pkn
Pendidikan Kewargguagaraan dan Pembangunan Karakter
1 Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan
Kewargguagaraan Dalam Kajian terkena Pendidikan Kewargguagaraan, terdapat tiga istilah teknis yang banyak digunakan, yakni civics, civic education, dan citizenship education. Istilah civics ialah istilah yang paling bau tanah semenjak digunakan pertama kalinya oleh Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri (1989:62) untuk mengatakan the science of citizenship yang isinya antara lain mempelajari relasi antar masyarakat negara dan relasi antara masyarakat negara dengan negara. Saat ini istilah itu masih digunakan sebagai nama mata pelajaran yang berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura, Spanyol, dan USA (Kerr,1999:152). Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum PPSP IKIP Bandung tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA diperkenalkan istilah citizenship education dan civic education yang digunakan secara bertukar-pakai, untuk mengatakan aktivitas pendidikan karakter, adat dan kebajikan (Berst:1960:167) atau pengembangan fungsi dan tugas politik dari masyarakat negara dan pengembangan kualitas langsung (Somantri, 1989:74). Sedangkan Allen (1960:89) dan NCSS (Somantri, 1972:27) menggunakan istilah citizenship education dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai produk keseluruhan aktivitas pendidikan atau all positive influences yang hadir dari proses pendidikan formal dan informal.

Kini istilah civic education lebih banyak digunakan di USA serta beberapa negara gres di Eropa timur yang menerima training profesional dari Center for Civic Education dan Universitas kawan kerjanya di USA, untuk mengatakan suatu aktivitas pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih digunakan untuk label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan nama LSM Center for Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung digunakan secara spesifik sebagai mata pelajaran dalam konteks pendidikan formal. Sedangkan istilah citizenship education cenderung digunakan dalam dua pengertian. Pertama, digunakan di UK dalam pengertian yang lebih luas sebagai overarching concept yang di dalamnya termasuk civic education sebagai unsur utama (Cogan,1999; Kerr: 1999; dan QCA:1999) disamping aktivitas pendidikaan kewargguagaraan di luar pendidikan formal ibarat site of citizenship atau situs kewargguagaraan, ibarat juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh (1962:84) dan NCSS (1972:34). Kedua, digunakan di USA, terutama oleh NCSS, dalam pengertian sebagai the essence or core atau inti dari social studies (Barr et. all: 1978; NCSS :1985;1994). Di Indonesia istilah citizenship education belum pernah digunakan dalam tataran formal instrumentasi pendidikan, kecuali sebagai wacana akademis di kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Sebagai batasan penulis menerjemahkan civic education dan citizenship education ke dalam istilah yang sama namun tidak sama dalam cara penulisannya. Istilah civic education diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewargguagaraan (memakai karakter besar di pertama) dan citizenship education diterjemahkan menjadi pendidikan kewargguagaraan (tiruananya dengan karakter kecil).

Istilah Pendidikan
Kewargguagaraan (PKn) menunjuk pada suatu mata pelajaran, sedangkan pendidikan kewargguagaraan (PKn) menunjuk pada kerangka konseptual sistemik aktivitas pendidikan untuk kewargguagaraan yang demokratis. Konsep pendidikan kewargguagaraan disebut juga sistem pendidikan kewargguagaraan (spkn/SPKn) yang sanggup ditulis dengan tiruananya karakter besar atau karakter kecil. Cogan (1999:78), dalam artikelnya Developing the Civic Society: The Role of Civic Education, mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan (1999:79) digunakan sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang lebih luas yang meliputi beberapa aspek "...both these in-school experiences as well as out-of school or nonformal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen". Quigley (2000:15), Executive Director Center for Civic Education, dalam seminar yang diselenggarakan oleh CICED di Bandung menyatakan bahwa “During the 1990s there appears to have been a rapidly growing interest throughout the world in the development and implementation of educational programs in schools that are designed to help young people become competent and responsible citizens in democratic political sistems. This interest has been most directly focused on civic education programs at the pre-collegiate level although attention is increasingly being focused on students in colleges and universities and in some places in community or adult education.”

Patrick (2005:134), sebagai Directur Eksekutif “Social Studies Development Center” Indiana University di Bloomington, sudah mengidentifikasi 8 ekspresi dominan yang mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi pendidikan kewargguagaraan dalam demokrasi konstitusional sebagai diberikut:
Trend
1: Conceptualization of civic education in terms of three interrelated components: civic knowledge, skills, and virtues.
Trend
2: Sistematic teaching of mendasar ideas or core concepts. Trend
3: Analysis of case studies. Trend 4: Development of decision-making skills. Trend
5: Comparative and international analysis of government and citizenship. Trend
6: Development of participatory skills and civic virtues through cooperative learning activities. Trend
7: Active learning of civic knowledge, skills, and virtues. Trend
8: The conjoining of content and process in teaching and learning of civic knowledge, skills, and virtues.

Pendidikan Kewargguagaraan (PKn) atau Civic Education didesain dalam kurikulum sebagai implementasi amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam pasal 37 Ayat (1) ditetapkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewargguagaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Selanjutnya dalam Ayat (2) ditetapkan juga bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib pula memuat; pendidikan agama, pendidikan kewargguagaraan, dan bahasa.

Penegasan tersebut ialah dasar yuridis bahwa pendidikan kewargguagaraan wajib dimuat dalam kurikulum, baik untuk pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi. Hal itu mengatakan bahwa pendidikan kewargguagaraan mempunyai peranan yang strategis untuk “membentuk penerima didik menjadi insan yang mempunyai rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” Banyak gosip dan tantangan berkaitan dengan pengembangan dan implementasi PKn. Sebagian berupa gosip dan tantangan universal dan sebagian lagi berupa gosip dan tantangan sesuai dengan konteks spesifik masyarakat Indonesia yang multikultur. Dalam tantangan universal, Pendidikan Kewargguagaraan dihadapkan pada kekuatan banyak sekali imbas masyarakat internasional yang seringkali susah untuk dihindari, ibarat berkenaan dengan percaturan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, dan keamanan global. Sedangkan gosip dan tantangan spesifik Indonesia antara lain yaitu:
  • hancurnya atau lemahnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat;
  • memudarnya nilainilai kehidupan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat;
  • meningkatnya praktek KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan;
  • kerusakan sistem dan kehidupan ekonomi; kualitas rendah dan disparitas tinggi dalam pendidikan; dan
  • pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mengantisipasi gosip dan tantangan di atas, baik yang bersifat universal maupun spesifik keindonesiaan tersebut diharapkan muatan Pendidikan Kewargguagaan yang tangguh, dinamis, dan antisipatif. Banks menyatakan alasan Pendidikan Kewargguagaraan ibarat itu alasannya ialah :
“Because of growing ethnic, cultural, racial, and religious diversity troughout the world, citizenship education needs to be changed in substantial ways to prepare students to function effectively in the 21st century. (Banks, 2001: 6)

Pendidikan kewargguagaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk menyebarkan masyarakat negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai ketika ini bidang itu sudah menjadi bab inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka aktivitas pendidikan guru. Keempat, sebagai aktivitas pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir terkena pendidikan kewargguagaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewargguagaraan sudah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas mengatakan bahwa hingga dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kemasyarakatannegaraan, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak dalam penerapan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk tiruana jenjang persekolahan yang diberlakukan secara sedikit demi sedikit mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargguagaraan mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang mencakupkan materi dan pengalaman berguru terkena Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi misi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 ihwal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s.d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya.

Kurikulum tahun 1984, yang intinya ialah penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Selanjutnya, di dalam Undang-Undang No 2/1989 ihwal Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), antara lain Pasal 39, digariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewargguagaraan sebagai materi kajian wajib kurikulum tiruana jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewargguagaraan (PPKn) yang mencakupkan materi dan pengalaman berguru yang diorganisasikan secara spiral atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Yang dimaksudkan pengorganisasian materi pelajaran secara spiral ialah mempunyai pokok kajian yang sama pada jenjang yang tidak sama, akan tetapi dengan tingkat kajian dan keluasan bahasan yang tidak sama, sesuai dengan taraf berpikir penerima didik. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan taktik pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasa warsa (1962-1998) itu, mengatakan indikasi bahwa terjadi ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan sudah terjadinya krisis konseptual.

Hal ini berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Menurut Kuhn (1970:27) krisis atau dislocation yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kemasyarakatan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pembelajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pembelajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan materi kajian Pendidikan Pancasila dan Kewargguagaraan yang tampil dalam bentuk pembelajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin pada terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari pemfokusan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.

Tampaknya tiruana itu terjadi alasannya ialah memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, alasannya ialah belum adanya suatu paradigma pendidikan kewargguagaraan yang secara ajek diterima dan digunakan secara nasional sebagai acuan konseptual dan operasional. Kini pada masa reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen gres kearah perwujudan impian dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam kepustakaan abnormal ada dua istilah teknis yang sanggup diterjemahkan menjadi pendidikan kewargnegaraan yakni civic education dan citizenship Education. Cogan (1998:39) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan masyarakat negara muda, biar kelak sehabis cukup umur sanggup berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan digunakan sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang lebih luas yang meliputi beberapa aspek "...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen".

Dalam goresan pena ini istilah pendidikan kewargguagaraan intinya digunakan dalam pengertian yang luas ibarat "citizenship education" atau "education for citizenship" yang meliputi beberapa aspek pendidikan kewargguagaraan di dalam forum pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam aktivitas pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa aktivitas penataran atau aktivitas lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari aktivitas lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai masyarakat negara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewargguagaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewargguagaran sebagai aktivitas pendidikan demokrasi. Karakteristik suatu mata pelajaran perlu diidentifikasi dalam rangka pengembangan silabus berbasis kompetensi dari mata pelajaran tersebut. Struktur keilmuan suatu mata pelajaran berkenaan dengan dimensi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok atau struktur keilmuan mata pelajaran tersebut.

Hasil identifikasi karakteristik mata pelajaran tersebut bermanfaa sebagai pola dalam menyebarkan silabus dan rencana pembelajaran. sepertiyang lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi keilmuan mata pelajaran Kewargguagaraan meliputi beberapa aspek dimensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan nilai (values). Sejalan dengan pandangan gres pokok mata pelajaran Kewargguagaraan yang ingin membentuk masyarakat negara yang ideal yaitu masyarakat negara yang mempunyai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip Kewargguagaraan. Pada gilirannya, masyarakat negara yang baik tersebut diharapkan sanggup memmenolong terwujudnya masyarakat yang demokratis konstitusional. Berbagai negara di dunia mempunyai kriteria masing-masing ihwal masyarakat negara yang baik, yang sangat bekerjasama dengan pandangan hidup bangsa yang bersangkutan yang tercermin dalam konstitusinya. Bagi bangsa Indonesia masyarakat negara yang baik tersebut tentu saja ialah masyarakat negara yang sanggup menjalankan kiprahnya dalam hubungannya dengan sesama masyarakat negara dan hubungannya dengan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstitusi negara (Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945). Sehubungan dengan itu, mata pelajaran Kewargguagaraan meliputi beberapa aspek dimensi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai kewargguagaraan, ibarat nampak pada diberikut.

Visualisasi gambar 6 mengatakan sebuah kompleksitas dari karakteristik Pendidikan Kewargguagaraan. Tiga dimensi yang ialah satu kesatuan tidak terpisahkan dari Pendidikan Kewargguagaraan, yaitu dimensi pengetahuan kewargguagaraan (civic knowledge), dimensi keterampilan (civic skills), dan dimensi nilai (civic values). Ketiga dimensi ini secara sinergis membangun core dari PKn yaitu masyarakat negara yang berpengetahuan, terampil, dan berkepribadian. Dimensi nilai akan mempersembahkan donasi rasa percaya diri dan komitmen dari masyarakat negara, dimensi keterampilan kewargguagaraan mempersembahkan donasi terbangunnya komitmen dan kopetensi kewargguagaraan, sedangkan dimensi pengetahuan kewargguagaraan akan mempersembahkan donasi tumbuh kembangnya kompetensi dan rasa percaya diri.

 Oleh alasannya ialah itu, masyarakat negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewargguagaraan (civics knowledge) dan keterampilan kewargguagaraan (civics skills) akan menjadi seorang masyarakat negara yang berkompeten. Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewargguagaraan (civics knowledge) serta nilai-nilai kewargguagaraan (civics values) akan menjadi seorang masyarakat negara yang mempunyai rasa percaya diri, sedangkan masyarakat negara yang sudah memahami dan menguasai keterampilan kewargguagaraan (civics skills) serta nilai-nilai kewargguagaraan (civics values) akan menjadi seorang masyarakat negara yang mempunyai komitmen kuat. Kemudian masyarakat negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewargguagaraan (civics knowledge), memahami dan menguasai keterampilan kewargguagaraan (civics skills), serta memahami dan menguasai nilai-nilai kewargguagaraan (civics values) akan menjadi seorang masyarakat negara yang berpengetahuan, terampil dan berkepribadian.

Dimensi pengetahuan kewargguagaraan (civics knowledge) meliputi beberapa aspek bidang politik, aturan dan moral. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewargguagaraan meliputi pengetahuan ihwal prinsip-prinsip dan proses demokrasi, forum pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar aturan (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan kewajiban masyarakat negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik.

Dimensi keterampilan kewargguagaraan (civics skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya: berperan serta aktif mewujudkan masyarakat madani (civil society), keterampilan mempengaruhi dan monitoring jalannya pemerintahan, dan proses pengambilan keputusan politik, keterampilan memecahkan masalahmasalah sosial, keterampilan mengadakan koalisi, kerja sama, dan mengelola konflik. Dimensi nilai-nilai kewargguagaraan (civics values) meliputi beberapa aspek antara lain percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur, nilai keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individual, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan dukungan terhadap minoritas.

Mata pelajaran Kewargguagaraan ialah bidang kajian interdisipliner, artinya materi keilmuan kewargguagaraan dijabarkan dari beberapa disiplin ilmu antara lain ilmu politik, ilmu negara, ilmu tata negara, hukum, sejarah, ekonomi, moral, dan filsafat. Kewargguagaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memegang peranan penting dalam membentuk masyarakat negara yang baik sesuai dengan falsafah bangsa dan konstitusi negara, sekali gus untuk menjawaban tantangan perkembangan demokrasi dan integrasi nasional. Oleh alasannya ialah itu kehidupan demokratis pun di lingkungan sekolah sanggup dilatihkan melalui mata pelajaran ini. Yamamoto (2007:197) menegaskan bahwa ”post-independence, many countries were confronted with the fact that modern democracy and national integration could not progress smoothly; as a result, a number of criticisms were conducted both inside and outside this schoo”.

melaluiataubersamaini memperhatikan visi dan misi mata pelajaran Kewargguagaraan yaitu membentuk masyarakat negara yang baik, maka selain meliputi beberapa aspek dimensi pengetahuan, karakteristik mata pelajaran Kewargguagaraan ditandai dengan pemdiberian pemfokusan pada dimensi perilaku dan keterampilan civics. Jadi, pertama-tama seorang masyarakat negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap ihwal konsep dan prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Sesudah menguasai pengetahuan, selanjutnya seorang masyarakat negara diharapkan mempunyai perilaku atau karakter sebagai masyarakat negara yang baik, dan mempunyai keterampilan kewargguagaraan dalam bentuk keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta keterampilan memilih posisi diri, serta kecakapan hidup (life skills). Banks menegaskan terkena pentingnya masyarakat negara yang mempunyai pemahaman, sikap, dan keterampilan kewargguagaraan, sebagai diberikut:

“Citizens in the new century need the knowledge, attitudes, and skills required to function in their ethnic and cultural communities and beyond their cultural borders and to participate in the construction of a national civic culture that is a moral and just community that embodies democratic ideals and values, such as those embodied in the universal of human right. Student also need to acquire the knowledge and skills needed to become effective citizens in the global community”. (Banks, 2001: 6)

Dalam konteks keindonesiaan, masyarakat negara yang baik ialah yang mempunyai kepribadian Pancasila. melaluiataubersamaini menggunakan kerangka all port, kepribadian Pancasila ialah kepribadian yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang memilih berupa sistem neurofisis yang digeneralisasikan dan diarahkan dengan kemampuan untuk menghadapi majemuk perangsang secara Pancasila, menilai dan membimbing tingkah laris dan ekspresi secara Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia (Satmoko, 1993:237).

LihatTutupKomentar