-->
Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Kedudukan Kelembagaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu lembaga (tinggi) negara yang gres yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara eksklusif mendapatkan kewenangan eksklusif dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu;
  •  Tentara Nasional Indonesia, 
  • Negara Republik Indonesia, 
  • (Pemerintah Daerah, (
  • Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan ditetapkan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: 
  1. bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan 
  2. (komisi pemilihan umum yang juga bukan nama lantaran ditulis dengan aksara kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang kini menyelenggarakan aktivitas pemilihan umum ialah lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang. 
Karena itu, kita sanggup membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang spesialuntuk berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. misal yang terakhir ini contohnya yaitu pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkan referensi lembaga-lembaga yang kewenangannya didiberikan oleh Undang-Undang, misalnya, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).

Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi sanggup dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama ialah pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan aturan di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan tidak sama sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang ialah puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal meliputi beberapa aspek lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. 

Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung sanggup digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan usaha keadilan bagi orang per orang ataupun subjek aturan lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma aturan yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau masalah demi masalah ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling spesialuntuk yang berkenaan dengan kasus ‘impeachment’ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh lantaran itu, pada pokoknya, menyerupai yang biasa saya sebut untuk tujuan megampangkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya yaitu ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi yaitu ‘court of law’[1]. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem aturan dan sistem keadilan itu sendiri. 

Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan aturan manajemen yang berlaku umum, ketentuan terkena organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta manajemen kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku terkena hal itu. Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. 

Dalam hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, sanggup digambarkan sebagai diberikut. 

Tiga Lembaga Pengisi Jabatan 
Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung[1]. Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut yaitu lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. melaluiataubersamaini kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berafiliasi erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.

Hubungan dengan Mahkamah Agung
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi kasus pengujian undang-undang. Setiap kasus yang sudah diregistrasi wajib didiberitahukan kepada Mahkamah Agung, supaya investigasi atas kasus pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung tidak boleh sementara hingga putusan atas kasus pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi perperihalan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu berdasarkan ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[2], Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan terkena pihak yang sanggup berperkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan kasus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan semacam ini kurang tepat, lantaran sebetulnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam kasus sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah lantaran pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, menyerupai halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan lantaran itu dikuatirkan kalau Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran kalau Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh lantaran itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan terkena pihak yang sanggup berperkara dalam masalah sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi. 

Padahal, dalam kenyataannya sanggup saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain berdasarkan Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul perdebatan, lembaga manakah yang berwenang menentukan Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, berdasarkan ketentuan UU yang usang tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika perdebatan itu berlanjut dan menjadikan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi. 

Namun demikian, terlepas dari masalah tersebut di atas, yang terperinci ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung menyerupai itu sanggup diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri gres didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya sudah berkembang sedemikian rupa, bukan mustahil suatu dikala nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi terkena hal tersebut sanggup disempurnakan sebagaimana mestinya. melaluiataubersamaini demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang. 

Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat 
Dewan Perwakilan Rakyat yaitu organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam mengusut undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik verbal maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, menyerupai sudah dikemukakan di atas, DPR juga ialah salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara menentukan calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya. 

Dewan Perwakilan Rakyat juga sanggup bertindak sebagai pihak dalam persidangan kasus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR sanggup saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR sanggup saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang didiberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini yaitu anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang. 

melaluiataubersamaini perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat sanggup berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang didiberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang besar lengan berkuasa terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wapres sudah melanggar aturan atau sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Dasar 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK. 

Hubungan dengan Presiden/Pemerintah 
Selain bertindak sebagai penyelenggara manajemen negara tertinggi dan lantaran itu, tiruana pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri didiberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan terkena struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan manajemen negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap ialah bab dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawaban kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawaban umum manajemen negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi. 

Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai kiprah sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional yaitu DPR, tetapi lantaran kiprahnya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga sanggup disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini contohnya tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU sudah disahkan oleh DPR sebagai tanda sudah menerima persetujuan bersama, maka dalam 30 hari semenjak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditanhadirani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 pasca Perubahan[1]

Sebagai ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik verbal ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga ialah salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti terkena latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh lantaran ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah menyerupai halnya keterangan dari pihak DPR sangat dibutuhkan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang berdasarkan evaluasi MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR. 

Dalam hal kasus pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon yaitu pemerintah. Sedangkan dalam kasus perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, lantaran Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota yaitu pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun bemasukannya sudah diputuskan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan derma pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mensugesti keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mensugesti atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kiprah konstitusional di bidang peradilan. 

Hubungan dengan Komisi Yudisial 
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat berdikari yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta sikap hakim”. Dalam ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Dibaca secara harfiah, maka subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini yaitu tiruana hakim berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, tiruana hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengertian hakim berdasarkan Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun demikian, kalau ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut, ketentuan Pasal 24C yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B tentang Komisi Yudisial. Fungsi komisi ini tiruanla spesialuntuk dimaksudkan terkait dengan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan lantaran itu subjek aturan yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga yaitu para hakim agung pada Mahkamah Agung. 

Namun demikian, lantaran secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 spesialuntuk menyebut perkataan “... serta sikap hakim”, bukan “... serta sikap hakim agung”, maka tafsir fungsi Komisi Yudisial berdasarkan ayat ini mau tidak mau tidak terbatas spesialuntuk pada hakim agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi, keseluruhan hakim yang dimaksudkan itupun spesialuntuk terbatas pada jajaran hakim di lingkungan Mahkamah Agung, dan tidak meliputi beberapa aspek pengertian hakim konstitusi. Baik secara historis (historical interpretation) maupun secara sistematis (systematic interpretation) yaitu dengan melihat urutan sistematis pasal demi pasal, hakim konstitusi memang tidak termasuk subjek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Namun demikian, berdasarkan penafsiran harfiah, hakim konstitusipun sanggup pula dimasukkan ke dalam pengertian hakim yang diawasi berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut. Oleh lantaran itulah Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menafsirkan kata ‘hakim’ dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 secara luas sehingga meliputi beberapa aspek seluruh jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung dan tiruana hakim pada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan terkena hal ini sanggup dilihat dalam Bab III terkena wewenang dan kiprah Komisi Yudisial, yaitu dalam ketentuan Pasal 13 hingga dengan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2004 tersebut. melaluiataubersamaini demikian, Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta sikap para hakim konstitusi sebagaimana mestinya. 

Susunan Organisasi 
Organisasi Mahkamah Konstitusi Republiki Indonesia terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) para hakim, (ii) sekretariat jenderal, dan (iii) kepaniteraan. Organisasi Pertama yaitu para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana aturan yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa dedikasi untuk lima tahun dan sesudahnya spesialuntuk sanggup dipilih kembali spesialuntuk untuk satu periode lima tahun diberikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang tidak sama, yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Sesudah terpilih, kesembilan orang tersebut diputuskan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin supaya kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat spesialuntuk kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar sanggup bersifat independen dan imparsial. 

Kesembilan orang hakim itu bahkan sanggup dipandang sebagai sembilan institusi yang bangkit sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan sanggup mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai putusan simpulan yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian kalau ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, sanggup dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi spesialuntuk mengenal satu majelis hakim, tidak menyerupai di Mahkamah Agung

Organisasi Kedua yaitu sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan ketentuan UU No. 24 Tahun 2003[1] dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan kiprah dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dimenolong oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”. Penjelasan pasal ini menegaskan: “Sekretariat Jenderal menjalankan kiprah teknis administratif, sedangkan Organisasi Ketiga yaitu kepaniteraan menjalankan kiprah teknis manajemen justisial”. Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin supaya manajemen peradilan atau manajemen justisial di bawah kepaniteraan tidak tergabung-aduk dengan manajemen non-justisial yang menjadi tanggungjawaban sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang diputuskan dengan Keputusan Presiden. melaluiataubersamaini demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang ialah jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan lantaran itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN[2]

Mengapa Mahkamah Konstitusi Perlu Dibentuk? 
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan lantaran bangsa kita melaksanakan perubahan fundamental atas Undang-Undang Dasar 1945[3]. Dalam rangka Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, bangsa kita sudah mengadopsikan prinsip-prinsip gres dalam sistem ketatguagaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai penggganti sistem supremasi DPR yang berlaku sebelumnya. Sebagai tanggapan perubahan tersebut, maka (a) perlu diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (b) perlu dilembagakan adanya peranan aturan dan hakim yang sanggup mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang spesialuntuk mendasarkan diri pada prinsip ‘the rule of majority’.[1] Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian aturan atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wapres dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (c) juga dibutuhkan adanya mekanisme untuk menetapkan aneka macam persengketaan yang timbul yang tidak sanggup diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, menyerupai sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para wargguagara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.

Oleh alasannya yaitu itu, Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat kewenangan itu[2] adalah: (1) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, (2) menetapkan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya didiberikan oleh UUD, (2) menetapkan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) menetapkan pembubaran partai politik. Sedangkan kewajibannya yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah bersalah melaksanakan pelanggaran aturan ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wapres menyerupai yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945[3]

Sengketa Kewenangan Konstitusional antar Lembaga Negara 
Pada umumnya, dalam memahami masalah sengketa kewenangan antar lembaga negara ini, orang cenderung mendekatinya dari sudut pandang lembaga negaranya. Sudut pandang demikian ini saya namakan sebagai pendekatan subjek atau subjektif. Dari sudut pandang demikian, yang dipersoalkan apa yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar dengan ‘lembaga negara’ dan tubuh atau institusi apa saja yang sanggup disebut sebagai lembaga negara menyerupai yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar? Untuk menjawaban pertanyaan-pertanyaan ini, orang seringkali tidak sanggup keluar dari paradigma usang ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diubah, yaitu bahwa pengertian ‘lembaga negara’ spesialuntuk dikaitkan dengan pengertian alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif yang biasa dikenal selama ini dengan istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. 

Oleh lantaran itu, untuk memmenolong memperluas cara pandang, sanggup dianjurkan untuk memakai pendekatan kedua, yaitu pendekatan objek atau adil. Yang dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang 

dipersengketakan, yaitu kewenangan yang didiberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang didiberikan oleh Undang-Undang Dasar kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar itu, maka Mahkamah Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi mempersembahkan kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara yang bersengketa. 

melaluiataubersamaini cara pandang demikian akan simpel bagi kita memahami lembaga-lembaga apa saja yang disebut dalam Undang-Undang Dasar dan kewenangan-kewenangan apa saja yang didiberikan kepadanya oleh UUD. Jika ternyata ada lembaga yang namanya disebut dalam UUD, tetapi kewenangannya tidak secara eksplisit ditentukan dalam UUD, melainkan spesialuntuk dikatakan akan diatur dalam UU, berarti kewenangan lembaga tersebut tidak didiberikan oleh UUD, melainkan oleh UU. Bahkan ada pula menyerupai Komisi Pemilihan Umum, yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tetapi ditulis dengan aksara kecil, sehingga penamaan resminya dan juga rincian kewenangannya diatur dan didiberikan oleh UU, bukan oleh UUD. Hal yang sama dengan Bank Indonesia, yang di dalam Pasal 23D tidak ditegaskan namanya, melainkan spesialuntuk menyatakan: “Negara mempunyai suatu ‘bank central’ yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawaban, dan independensiya, diatur dengan undang-undang”. Dari ketentuan tersebut sanggup diketahui bahwa penentuan nama dan kewenangan bank central itu diatur oleh UU bukan oleh UUD.

Akan tetapi, sebaliknya, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sama-sama disebut namanya dan pertolongan kewenangannya dalam Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Jika dalam pelaksanaannya timbul persengketaan pendapat diantara keduanya, siapakah yang harus memutus? Jawabannya tidak lain yaitu Mahkamah Konstitusi yang secara juridis dikonstruksikan sebagai lembaga yang paling tahu maksud Undang-Undang Dasar menentukan pengaturan tentang pertolongan kewenangan di antara keduanya. Meskipun Tentara Nasional Indonesia dan POLRI selama ini tidak dipahami sebagai lembaga “tinggi” negara dalam pengertian yang lazim, tetapi keduanya bukanlah lembaga di luar Negara, melainkan yaitu “lembaga negara” (state organ) yang kewenangannya ditentukan dalam dan didiberikan oleh UUD. 

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, pemilihan umum bertujuan untuk menentukan presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu (i) pasangan calon presiden/wakil presiden, (ii) partai politik penerima pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan (iii) perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum yaitu Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara penerima pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak sanggup diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu sanggup diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. 

Yang menjadi masalah yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi yaitu soal perselisihan perhitungan perolehan bunyi pemilihan umum yang sudah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan bunyi dimaksud besar lengan berkuasa terhadap dingklik yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh bunyi tersebut tidak besar lengan berkuasa terhadap peroleh dingklik yang diperebutkan, maka kasus yang dimohonkan akan ditetapkan tidak sanggup diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka seruan dikabulkan dan perolehan bunyi yang benar diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan dingklik yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permintaannya dikabulkan. Sebaliknya, kalau seruan tersebut tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka seruan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan demikian itu berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPRD (kabupaten/kota ataupun provinsi), maupun untuk pemilihan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres). 

Pembubaran Partai Politik 
Kebebeasan Partai politik dan berpartai yaitu cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh lantaran itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam aktivitas partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan ialah tindakan yang berperihalan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin proteksi terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui mekanisme peradilan konstitusi. Yang didiberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam kasus pembubaran partai politik yaitu Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang menetapkan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu yaitu Mahkamah Konstitusi. melaluiataubersamaini demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga yaitu orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. melaluiataubersamaini mekanisme ini, sanggup pula dihindarkan timbulnya tanda-tanda dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap diberikutnya. 

Tuntutan Pertanggung jawabanan Presiden/Wakil Presiden. 
Perkara penuntutan pertanggungjawabanan presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres tidka lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden[1]. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian menentukan penggantinya yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi spesialuntuk menetapkan apakah pendapat DPR yang meliputi tuduhan (a) bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut yaitu benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR sanggup melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wapres tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

Sejauh menyangkut pembuktian aturan atas unsur kesalahan lantaran melaksanakan pelanggaran aturan atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR. INI yang banyak dipersoalkan orang lantaran ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR ialah lembaga politik yang sanggup bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat terperinci bahwa putusan MK itu secara aturan bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawaban. 

Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA 
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau sanggup pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk mengulasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang sanggup dikatakan paling banyak menerima sorotan di dunia ilmu pengetahuan yaitu pengujian atas konstitusionalitas UU. Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian sanggup dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus terperinci bab mana dari UU yang bersangkutan berperihalan dengan ketentuan mana 

SUMBER ARTIKEL;
[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
[1] Kedua istilah ini seringkali dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantive, menyerupai dalam istilah “court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”. Namun disini kedua istilah ini digunakan untuk tujuan megampangkan pembedaan antara hakikat pengertian peradilan oleh Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Konstitus
[1] Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316). Meskipun dalam Penjelasan pasal ini ditetapkan “cukup jelas”, tetapi sebetulnya pertolongan porsi kewenangan untuk mengajukan calon hakim konstitusi dari tiga lembaga ini dimaksudkan untuk menjamin supaya dalam menjalankan kiprah konstitusionalnya, para hakim konstitusi akan bersikap imparsial dan independent. Apalagi, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, sehingga mengharuskan para hakim konstitusi untuk secara moral dan aturan bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu lembaga negara yang bersengketa. Di samping itu, dejarat independensi hakim konstitusi juga diharapkan sanggup lebih terjamin lantaran yang menentukan pengangkatannya sebagai hakim bukan spesialuntuk satu lembaga, menyerupai apabila pengangkatan mereka spesialuntuk ditentukan oleh Presiden.
[2] Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 ini selengkapnya berbunyi: “Mahkamah Agung tidak sanggup menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya didiberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”. LNRI Tahun 2003 No.98.

[1] Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 selengkapnya berbunyi: “Dalam hal rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

[1] LNRI Tahun 2003 No. 98 dan Tambahan LNRI No.4316.
[2] Ibid., Pasal 9 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.
[3] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002, juga Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: PSHTN-FHUI, 2002

[1] Dalam pengertian inilah muncul kepercayaan ‘demokrasi berdasar atas hukum’ atau ‘constitutional democracy’ yang diberimbangan dengan kepercayaan negara aturan yang demokratis atau ‘democratische rechtsstaat’. Lihat juga Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy, Oxford University Press, 1996. Baca juga Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Oxford: Clarendon Press, 1989.
[2] Keempat kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, di bawah judul Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,; sedangkan ketentuan terkena kewajiban memutus pendapat DPR dalam rangka tuntutan pemberhentian Presiden dan/atau Wapres diatur dalam Pasal 7B ayat (4), yang ialah bab dari Bab III di bawah judul Kekuasaan Pemerintahan Negara.
[3] Lihat Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.

[1] Lihat Pasal 7A juncto Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

LihatTutupKomentar