-->
Definisi Komunikasi Organisasi Pace Dan Faules
A. Landasan Konseptual
1 Komunikasi Organisasi
Definisi komunikasi organisasi Pace dan Faules dalam (Rohim, 2009:110) mengemukakan definisi komunikasi organisasi dari dua perspektif yang tidak sama. Pertama, perspektif tradisional (fungsional dan adil), mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang ialah cuilan dari suatu organisasi tertentu. Kedua, perspektif interpretif (subjektif) memaknai komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan makna atas interaksi yang ialah organisasi. Atau berdasarkan perspektif ini ialah “perilaku pengorganisasian” yang terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu diberinteraksi dan memdiberi makna atas apa yang sedang terjadi. Jadi, dalam pengertian ini komunikasi organisasi sanggup dimaknai dari dua perspektif yang tidak sama. Sebagai penafsiran pesan di antara unit-unit dan sebagai proses penciptaan makna atas interaksi.

Komunikasi organisasi berdasarkan Deddy Mulyana, ialah komunikasi terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan juga informal, dan berlangsung dalam jaenteng yang lebih besar daripada komunikasi kelompok. Oleh alasannya ialah itu, organisasi sanggup diartikan sebagai kelompok dari kelompok-kelompok. Komunikasi organisasi sering melibatkan komunikasi diadik, komunikasi antarpribadi. Komunikasi formal ialah komunikasi berdasarkan struktur organisasi yakni komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, dan komunikasi horisontal, sedangkan komunikasi informal tidak bergantung pada struktur organisasi, menyerupai komunikasi antarsejawat, juga termasuk selentingan dan gosip (Mulyana, 2007 : 83).

1.1 Konsep Komunikasi Organisasi
Goldhaber dalam (Romli, 2014:13) menyampaikan bahwa “organizational communications is the process of creating and exchanging messages within a network of interdependent relationship to cope with environmental uncertainty”. Jadi, berdasarkan definisi tersebut komunikasi organisasi ialah proses membuat dan saling menukar pesan dalam satu jaenteng kekerabatan dan didiberi batasan sebagai arus pesan yang sifat hubungannya saling bergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak niscaya atau selalu berubah-ubah.

Ronald Adler dan George pada understanding human communication dalam (Rohim, 2009:111) menguraikan masing-masing fungsi dari dua arus komunikasi dalam organisasi. Pertama ialah downward communication. Komunikasi ini berlangsung dikala orang-orang yang berada pada tatanan administrasi mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah diantaranya pemdiberian atau penyampaian intruksi kerja, klarifikasi dari pimpinan wacana mengapa suatu kiprah perlu untuk dilaksanakan, penyampaian informasi terkena peraturan-peraturan yang berlaku dan pemdiberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.

Sedangkan upward communication terjadi dikala bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini ialah penyampaian informasi wacana pekerjaan ataupun kiprah yang sudah dilaksanakan, penyampaian informasi wacana persoalan-persoalan pekerjaan ataupun kiprah yang tidak sanggup diselesaikan oleh bawahan, penyampaian masukan-masukan perbaikan dari bawahan, penyampaian keluhan dari bawahan wacana dirinya sendiri maupun pekerjaanya.

Arus komunikasi diberikutnya ialah horizontal communication. Tindak komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan ataupun cuilan yang mempunyai kedudukan yang sama. Fungsi arus komunikasi horisontal diantaranya untuk memperbaiki koordinasi tugas, sebagai upaya pemecahan masalah, saling menyebarkan informasi, sebagai upaya memecahkan konflik, dan membina kekerabatan melalui acara bersama.

1.2 Arah Aliran Informasi Organisasi
Arah Aliran Informasi dalam Organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Pace dan Faules (2010 : 184) sebagai diberikut:
1. Komunikasi ke Bawah
Komunikasi ke bawah dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Katz dan Kahn dalam ( Pace dan Faules, 2010:185) mengemukakan ada lima jenis informasi yang biasanya dikomunikasikan dari atasan kepada bawahan:
(1) Informasi terkena bagaimana melaksanakan pekerjaan, (2) Informasi terkena dasar pemikiran untuk melaksanakan pekerjaan, (3) informasi terkena kebijakan dan praktik-praktik organisasi (4) informasi terkena kinerja pegawai dan (5) informasi untuk mengembangkan rasa mempunyai kiprah (sense of mission).

2. Komunikasi ke atas
Komunikasi ke atas dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (Pace dan Faules, 2010:189). Pentingnya komunikasi ke atas sebagaimana diungkapkan alasannya ialah beberapa alasan:
  1. Sharma dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan anutan informasi ke atas memdiberi informasi berharga untuk pembuatan keputusan oleh mereka yang mengarahkan organisasi dan mengawasi acara orang-orang lainnya.
  2. Planty dan Machaver dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan komunikasi ke atas memdiberitahukan kepada penyelia kapan bawahan mereka siap mendapatkan informasi dari mereka dan seberapa baik bawahan mendapatkan apa yang dikatakan kepada mereka.
  3. Conboy dalam (Pace dan Faules, 2010:190), mengemukakan komunikasi ke atas memungkinkan- bahkan mendorong omelan dan keluh kesah ke permukaan sehingga penyelia tahu apa yang mengganggu mereka yang paling dekat dengan operasi-operasi sebenarnya.
  4. Planty dan Machaver dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan komunikasi ke atas menumbuhkan apresiasi dan loyalitas ke pada organisasi dengan memdiberi peluang kepada pegawai untuk mengajukan pertanyaan dan menyumbang gagasan serta masukan-masukan terkena operasi organisasi. 
  5. Planty dan Machaver dalam (Pace dan Faules, 2010:190), mengemukakan komunikasi ke atas mengizinkan penyelia untuk memilih apakah bawahan memahami apa yang diperlukan dari anutan informasi ke bawah.
  6. Harriman dalam (Pace dan Faules, 2010:190) mengemukakan komunikasi ke atas memmenolong pegawai mengatasi perkara pekerjaan mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dengan pekerjaan mereka dan dengan organisasi tersebut.
3. Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu-individu yang ditempatkan pada tingkat otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama (Pace dan Faules, 2010:190). Tujuan Komunikasi Horizontal diantaranya untuk mengkoordinasikan penugasan kerja.


Para anggota saling bertemu untuk mengkoordinasikan pertolongan tugas, untuk menyebarkan informasi terkena planning dan kegiatan. Bila gagasan dari beberapa orang menjanjikan hasil yang lebih baik daripada gagasan satu orang, komunikasi horisontal menjadi amat penting. Selain itu untuk memecahkan masalah, untuk memperoleh pemahaman bersama.

Kemudian untuk mendamaikan, berunding dan menengahi perbedaan dimana individu-individu sering mengembangkan pilihan dan prioritas yang kesannya menimbulkan ketidaksepakatan. Maka, komunikasi horisontal di antara para pegawai ialah hal pokok dalam mendamaikan perbedaan. Serta untuk menumbuhkan tunjangan antarpersonal dimana komunikasi horizontal bertujuan untuk memperkuat ikatan dan kekerabatan antarpersonal, membina kekerabatan antar pegawai dan membuat unit kerja yang padu (Pace dan Faules, 2010 : 196).

Metode Komunikasi Horizontal
Komunikasi horisontal paling sering terjadi dalam rapat komisi, interaksi pribadi, selama waktu istirahat, dialog di telepon, memo, dan catatan, acara sosial dan bundar kualitas. Lingkaran kualitas ialah sebuah kelompok pekerja sukarela yang menyebarkan wilayah tanggung jawaban. Para anggota kelompok mengadakan pertemuan setiap ahad untuk berdiskusi, menganalis, dan mengemukakan gagasan untuk menyempurnakan pekerjaan mereka. Hambatan-hambatan pada komunikasi horisontal banyak persamaannya dengan kendala yang mempengaruhi komunikasi ke atas dan komunikasi ke bawah. Ketiadaan kepercayaan di antara rekan-rekan kerja, perhatian yang tinggi pada mobilitas ke atas, dan persaingan dalam sumber daya sanggup mengganggu komunikasi pegawai yang sama tingkatnya dalam organisasi dengan sesamanya (Pace dan Faules, 2010:197).

1.3 Komunikasi Kelompok
Kelompok ialah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang diberinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama (adanya saling ketergantungan), mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka cuilan dari kelompok tersebut, meskipun contohnya ialah keluarga, tetangga, kawan-kawan terdekat, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. melaluiataubersamaini demikian, komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil, jadi bersifat tatap muka. Umpan balik dari seorang penerima dalam komunikasi kelompok masih bisa diidentifikasi dan ditanggapi pribadi oleh penerima lainnya (Mulyana, 2007:82).

Komunikasi kelompok ialah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka di mana anggota-anggotanya saling diberinteraksi satu sama lain. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan pula komunikasi antarpribadi. (Rohim, 2009:87) . Little John dalam (Mulyana, 2007:82) menyatakan bahwa komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan juga komunikasi antarpribadi, alasannya ialah itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.

1.4 Komunikasi Informal
Informasi informal atau personal muncul dari interaksi di antara orang-orang, informasi ini sepertinya mengalir dengan arah yang tidak sanggup diduga, dan jaentengnya digolongkan sebagai selentingan (grapvine) (Pace dan Faules 2010:199). Komunikasi informal, bagaimanapun juga, ialah cuilan penting dari anutan komunikasi organisasi, bentuk-bentuk komunikasi ini timbul dengan banyak sekali maksud yang meliputi: pemuasan kebutuhan-kebutuhan manusiawi, menyerupai kebutuhan untuk bekerjasama dengan orang lain, perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh yang monoton atau membosankan, pemenuhan keinginan untuk mempengaruhi sikap orang lain, serta pelayanan sebagai sumber informasi kekerabatan pekerjaan yang tidak disediakan saluran-saluran komunikasi formal.


Tipe komunikasi informal yang paling populer ialah “grapevine” yang cenderung dianggap merusak atau merugikan, alasannya ialah tidak jarang terjadi penyebaran informasi yang tidak sempurna atau menyimpang. Di sisi lain, komunikasi grapevine mrmpunyai peranan fungsional sebagai alat komunikasi tambahan bagi organisasi. Komunikasi grapevine lebih cepat, lebih akurat dan efektif dalam menyalurkan informasi. Manajer harus menyadari bahwa komunikasi informal dan grapevine tidak sanggup dihilangkan. Bahkan sebaliknya manajer perlu memahami dan memakai grapevine sebagai komplemen komunikasi formal (Romli, 2014:192-193).

B. Teori Sistem ( Teori Komunikasi Organisasi)
Scott dalam (Pace dan Faules) menyatakan bahwa “satu-satunya cara yang bermakna untuk mempelajari organisasi ialah sebagai suatu sistem” (Pace dan Faules, 2010: 63). Ia mengemukakan bahwa bagian-bagian penting organisasi sebagai sistem ialah individu dan kepribadian setiap orang dalam organisasi; struktur formal, contoh interaksi, contoh status dan peranan yang menimbulkan pengharapan-pengharapan dan lingkungan fisik pekerjaan. Jadi, dalam penelitian ini, gaya kepemimpinan yang termasuk dalam sebuah peranan yang menimbulkan pengharapan-pengharapan dan ialah cuilan penting dalam organisasi.

Proses penghubung utama dalam bagian-bagian tersebut ialah komunikasi. Konsep sistem berserius pada bagian-bagian dan dinamika kekerabatan yang menumbuhkan kesatuan atau keseluruhan. Setiap pembahasan terkena sistem menyangkut interdependensi.

Interdependensi menandakan bahwa terdapat kesalingbergantungan di antara komponen-komponen suatu sistem. Suatu perubahan dalam suatu komponen membawa perubahan pada setiap komponen lainnya. Pemahaman atas konsep interdependensi ini ialah cuilan integral dari pendefinisian sistem dan teori sistem (Pace dan Faules, 2010: 63). Penggunaan teori sistem dalam penelitian ini didasarkan pada adanya kesalingtergantungan antara pimpinan dan bawahan dan bawahan kepada pemimpin dalam divisi Humas dalam hal penyelesain tugas, kolaborasi dan sebagainya.

1 Teori Sistem Sosial Katz dan Kahn
Katz dan Kahn dalam (Pace dan Faules, 2010 : 66) menyatakan bahwa “Hubungan-hubungan antara orang-orang, bukan orang-orang itu sendiri, memungkinkan suatu organisasi bertahan jauh lebih usang daripada orang-orang biologis yang menduduki jabatan-jabatan dalam organisasi”. Maksud dari pernyataan ini ialah kekerabatan di antara orang-orang dalam suatu organisasi penting dibandingkan dengan kekerabatan yang berdasarkan jabatan-jabatan atau kekerabatan secara mekanisme formal. Katz dan kahn menerangkan bahwa kebanyakan interaksi dengan orang lain ialah tindakan komunikatif. Mereka menyatakan bahwa ialah mungkin untuk menggolongkan bentuk-bentuk interaksi sosial menyerupai “Penggunaan kerja sama, pengaruh, penularan sosial atau peniruan, dan kepemimpinan ke dalam konsep komunikasi” (Pace dan Faules, 2010; 66).

Jadi, pada pandangan ini komunikasi dianggap sebagai proses penghubung utama dalam organisasi. Dan ditetapkan bahwa salah satu bentuk interaksi sosial yaitu kepemimpinan. Dalam penelitian terkena anutan informasi vertikal dan horizontal dalam divisi humas ini, tentunya komunikasi ialah proses penghubung yang juga penting dan di dukung oleh salah satu bentuk interaksi sosial yaitu kepemimpinan.

Hawes dalam (Pace dan Faules, 2010: 67) menyampaikan bahwa “Suatu kolektivitas sosial ialah sikap komunikatif yang terpolakan, sikap komunikatif tidak terjadi dalam suatu jaenteng kekerabatan tetapi ialah jaenteng itu sendiri”. Maksud pernyataan ini ialah sikap komunikatif berupa komunikasi ialah organisasi itu sendiri. Daniel Katz bahu-membahu dengan Herbert A. Simon, Robert L. Kahn dan James G.Miller ialah figur utama dalam anutan sikap organisasi dengan pendekatan sistem.

Pendekatan sistem khususnya memusatkan perhatian pada sistem terbuka (Open Sistem). Katz dan Khan dalam (Romli, 2014:51-52) memaparkan bahwa suatu sistem terbuka mempunyai batas-batas yang fleksibel yang memungkinkan komunikasi mengalir dengan praktis ke dalam dan keluar organisasi. Dalam pendekatan ini, komunikasi ditempatkan sebagai sesuatu yang penting. Komunikasi dalam organisasi menghubungkan beberapa subsistem. Ditemukannya kiprah penting komunikasi membawa tunjangan yang tinggi pada penampahan informasi sebagai jalan keluar untuk banyak perkara organisasi. Komunikasi yang makin meningkat dan makin baik, ialah slogannya (Romli, 2014:51-52).

Penelitian ini memakai teori sistem sosial katz dan kahn alasannya ialah dalam teori ini disebutkan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial menyerupai “Penggunaan kerja sama, pengaruh, penularan sosial atau peniruan, dan kepemimpinan ke dalam konsep komunikasi” (Pace dan Faules, 2010; 66). Terdapat kepemimpinan sebagai salah satu bentuk interaksi sosial dalam konsep komunikasi. Selain itu teori sistem yang memusatkan perhatian pada sistem terbuka dengan slogan “komunikasi makin meningkat dan makin baik” sesuai dengan kiprah pemimpin dalam pendistribusian pesan kepada bawahan guna mendukung anutan informasi vertikal dan horisontal.

C. Public Relations
Definisi public relations berdasarkan (British) Institute of Public Relations “PR ialah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka membuat dan memelihara niat baik (goodwill) dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya” (Jefkins, 2004:9). Menurut Jefkins “PR ialah tiruana bentuk komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun keluar, antara suatu organisasi dengan tiruana khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian” (Frank Jefkins, 2004:10). Oxley dalam (Iriantara, 2004:17) mengemukakan tujuan acara PR ialah “mengikhtiarkan dan memelihara saling pengertian antara organisasi dan publiknya”. Dimana berdasarkan Lesly dalam ( Iriantara, 2004:17), tujuan PR salah satunya ialah good will karyawan atau organisasi.

1 Khalayak Public Relations
“Khalayak (Public) ialah kelompok atau orang-orang yang berkomunikasi dengan suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal” (Jefkins, 2004:81).

Dalam penelitian ini, akan berserius pada khalayak utama yaitu administrasi atau pimpinan dan bawahan atau anggota suatu divisi perusahaan/organisasi. Berdasarkan adanya dua jenis publik bagi suatu tubuh atau perusahaan maka tujuan Public Relations pun diarahkan melalui dua macam tugas, yaitu dikenal dengan sebutan Public Relations Internal dan Public Relations Eksternal. Pada penelitian ini, akan berserius pada Public Relations Internal. PR Internal penting untuk memastikan komunikasi antara pimpinan atau atasan dengan bawahan terjalin dengan dekat dan tidak kaku serta meyakini rasa tanggung balasan akan kewajibannya terhadap perusahaan.

2 Internal Public Relations 
J Jefkins (2004 : 195) mengemukakan tingkat efektivitas PR internal sangat dipengaruhi oleh hal pokok yaitu keterbukaan pihak administrasi serta kesadaran dan ratifikasi pihak administrasi akan nilai dan arti penting komunikasi dengan para pegawai (Jefkins, 2004 : 195). PR harus menyadari bahwa sikap, sifat, tingkah laris dan perbuatan pimpinan dan bawahan sanggup mempengaruhi nama baik instansi atau perusahaan di mana mereka bekerja. melaluiataubersamaini kesadaran tersebut diperlukan muncul kegairahan kerja dari para pegawainya. Keadaan demikian sanggup diciptakan apabila perusahaan memperhatikan kepentingan pegawainya baik secara ekonomi, sosial maupun secara psikologis (Suhandang, 2004:73-74). Keserasian kekerabatan di antara para anggota dalam divisi, baik vertikal maupun horizontal diperlukan akan memperkuat tim kerja dalam perusahaan. Adapun yang sanggup dilakukan PR Internal perusahaan untuk membuat keadaan tersebut salah satunya dengan penghargaan terhadap para pegawai yang memperlihatkan prestasi, baik dalam kerja sehari-hari maupun dalam acara lainnya yang menguntungkan perusahaan, seyogianya didiberikan hadiah-hadiah atau penghargaan-penghargaan.


Hal demikian sanggup merangsang para pegawai lainnya (rekan sekerja) untuk berusaha menjiplak akan berbuat menyerupai pegawai yang terbaik itu (Suhandang, 2004:73-74). Suhandang (2004:191) menyatakan Public Relations harus berusaha membuat iklim pergaulan kerja yang di dalamnya terdapat : pergaulan yang luwes dan tidak kaku di antara mereka, penyampaian informasi yang terang dan tepat, kesadaran bahwa tiruana kiprah sama pentingnya, saling percaya satu sama lain. Adapun komunikasi ke atas sering mengalami kendala antara lain alasannya ialah adanya perbedaan kedudukan/pangkat, pendidikan. Merupakan kewajiban Public Relations untuk menembus hambatan-hambatan itu. Sebab, kurangnya komunikasi dari bawah ke atas sanggup mengakibatkan pimpinan akan kehilangan partisipasi bawahan, wangsit bawahan yang bermanfaa tak sanggup dikembangkan, pimpinan akan buta terhadap permasalahan dan pendapat bawahan, serta kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk menilai dan memilih suatu keputusan atau peraturan. Sebaliknya, komunikasi yang diadakan pimpinan kuat besar kepada para karyawannya. Keharmonisan dari komunikasi sanggup diusahakan PR melalu cara yang formal dan informal menyerupai rapat-rapat, diskusi, pertandingan-pertandingan, darmawisata, dan sebagainya (Suhandang, 2004:191). Keberhasilan departemen PR akan didasarkan pada kolaborasi tim yang dibuat dan proses-proses yang diletakkan untuk memastikan adanya tujuan, motivasi dan organisasi (Beard, 2004:100).

3. Hubungan Public Relations dengan Human Relations
Di dalam suatu perusahaan kekerabatan humanis penting artinya untuk menumbuhkan suatu group feeling di kalangan para pegawainya, dari tingkat bawah hingga pada tingkat pimpinan. melaluiataubersamaini perasaan segolongan, atau group loyalty, maka tiruana pegawai dari perusahaan itu akan selalu menjaga, memelihara, dan memupuk nama baik perusahaannya. Suasana demikian akan tercapai bila ada kekerabatan internal yang serasi di antara mereka, dengan kata lain, muncul kekerabatan yang manusiawi atau kekerabatan antar menusia di antara mereka, atau adanya kekerabatan kemanusiaan yang didasari oleh: Harga menghargai satu sama lain, pergaulan yang tidak kaku, pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan , kecakapan dan kemampuan masing-masing serta jaminan kesejahteraan yang masuk akal (Suhandang, 2004 : 186-187).

Mengenai kekerabatan manusiawi dalam suatu lingkungan pekerjaan, Keith Davis melalui Human Relations at Work dalam (Suhandang, 2004 : 187) menyatakan bahwa “from the view point of a manager who has responsibility for leading a group, human relations is the interactions of people into a work situation that motivates them to work together productively, cooperatively, and with economic, psychological, and social satisfactions”.

Dari pengertian tersebut maka ditinjau dari sudut pimpinan yang bertanggung balasan dalam hal memimpin kelompoknya, human relations ialah interaksi antara orang-orang ke dalam suatu kerja yang mendorong mereka untuk bekerja secara produktif, kooperatif, sehingga memperoleh kepuasan secara ekonomi, psikologi, dan sosial.

D. Kepemimpinan
Beberapa definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh para jago :
Stephen P. Robbins dalam (Fahmi, 2012 : 15) mengatakan, kepemimpinan ialah “kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan”.

Ricky W. Griffin dalam (IFahmi, 2012 : 15) mengatakan, pemimpin ialah “Individu yang bisa mempengaruhi sikap orang lain tanpa harus mengandalkan kekerasan, pemimpin ialah individu yang diterima orang lain sebagai pemimpin”. 

Fahmi (2012:16) mengemukakan “pemimpin dan kepemimpinan dilihat sebagai suatu kesatuan. Seorang pemimpin harus mempunyai jiwa kepemimpinan” (Fahmi, 2012:16).

Lindgren dalam (Suhandang, 2004: 200) mengemukakan pemimpin yang efektif ialah “ leadership which helps the members of a group or organization to meet their individual needs and to achieve the purpose that brought them together”. 

Berdasarkan pengertian Lidgren di atas, disebutkan bahwa kepemimpinan yang memmenolong anggota kelompok untu mencapai kebutuhan pribadi dan meraih tujuan kelompok secara bersama-sama. Hersey dan Blanchard dalam (Romli, 2014: 107-108) memformulasikan kiprah pimpinan yang perlu dijalankan ialah telling, selling, participating dan delegating. 

Pertama, telling. Pemimpin perlu mendifinisikan secara praktis dan menerangkan kiprah atau kiprah yang dibutuhkan untuk mengerjakan kiprah kepada bawahan. melaluiataubersamaini demikian karyawan tidak menemukan kebingungan dan salah arah dalam menuntaskan aktifitas organisasi.

Kedua, selling. Pemimpin disini perlu mempersembahkan petunjuk yang terang bagaimana organisasi harus dijalankan serta mempersembahkan tunjangan yang sanggup memacu produktifitas. Ketiga, participating. Dalam acara organisasi antara pimpinan dan bawahan harus terjalin kerjasama baik. Keduanya menyebarkan informasi, pandangan, pengalaman untuk menetapkan langkah terbaik yang sanggup ditempuh dalam rangka meraih kualitas yang prima. 

Keempat, delegating. Dalam prinsip ini pemimpin harus seminimal mungkin mengambil kiprah dalam pengambilan keputusan teknis. Dalam menetapkan operasioanl yang perlu dilakukan maka pimpinan perlu mempersembahkan instruksi dan tunjangan secara personal kepada bawahan untuk sanggup memutuskannya (Romli, 2014:107-108).

1 Gaya Kepemimpinan
Gaya ialah sikap, gerakan, tingkah laris sikap yang elok, gerak gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Sedangkan gaya kepemimpinan ialah sekumpulan ciri yang dipakai pimpinan untuk mempengaruhi bawahan biar samasukan organisasi tercapai atau sanggup pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan ialah contoh sikap dan taktik yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari sikap seseorang (Rivai dan Mulyadi, 2012 : 42).

Kepemimpinan yang baik ialah keinginan untuk mendengar, dan kepemimpinan yang baik (good leadership) ialah kunci keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi. Kepemimpinan yang baik juga memdiberi kebebasan pada orang untuk mengemukakan pendapat, tidak melihat jabatan atau posisi orang tersebut (Mulyana, 2004: 186).

E. Teori Empat-Sistem
Likert dalam (Pace dan Faules, 2010: 287-288) mengungkapkan salah satu teori gaya kepemimpinan yang dikemukakan Likert (1967). Terdapat empat gaya atau sistem manajerial. Likert membagi gaya manajerial tersebut sebagai diberikut :
1) Penguasa mutlak
Gaya ini berdasarkan pada perkiraan Teori X McGregor. Manajer atau pemimpin memdiberi bimbingan sepenuhnya dan pengawasan ketat pada pegawai dengan anggapan bahwa cara yang terbaik untuk memotivasi pegawai ialah dengan memdiberi rasa takut, bahaya dan hukuman. Interaksi atasan-bawahan amat sedikit; tiruana keputusan berasal dari atas dan komunikasi ke bawah semata-mata meliputi instruksi dan perintah.

2) Penguasa semi-mutlak
Gaya ini intinya bersifat otoritarian, tetapi mendorong komunikasi ke atas untuk ikut beropini maupun mengemukakan keluhan bawahan; namun interaksi di antara tingkatan-tingkatan dalam organisasi dilakukan melalui jalur resmi. Komunikasi yang terjadi jarang bersifat bebas dan terus terang.

3) Penasihat
Gaya ini melibatkan interaksi yang cukup sering pada tingkat pribadi hingga tingkat moderat, antara atasan dan bawahan dalam organisasi. Informasi berjalan baik ke atas maupun ke bawah, tetapi dengan sedikit penitikberatan pada gagasan-gagasan yang berasal dari atas. Manajer menaruh kepercayaan besar, meskipun tidak mutlak dan keyakinan kepada bawahan.

4) Pengajak Serta
Gaya ini amat sportif, dengan tujuan biar organisasi berjalan baik melalui partisipasi kasatmata pegawai. Informasi berjalan ke segala arah, dan pengendalian dijalankan di setiap tingkatan. Orang berkomunikasi dengan bebas, terbuka, dan berterus terang hampir tanpa rasa takut terhadap hukuman. Secara umum, sistem komunikasi formal dan informal identik, dan ini menjamin integrasi tujuan pribadi dan tujuan organisasi yang sebenarnya.

F. Teori Kepribadian Perilaku
Pada final tahun 1940-an, terdapat penelitian yang mulai mengeksplorasi pemikiran bahwa bagaimana sikap seseorang sanggup memilih keefektifan kepemimpinan seseorang. Dan ditemukan sifat-sifat, dan pengaruhnya pada prestasi dan kepuasan dari pengikut-pengikutnya. Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Riset University Of Michigan, dengan samasukan: melokasikan karakteristik sikap kepemimpinan yang dikaitkan dengan keefektifan kinerja. Melalui penelitian mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yang tidak sama, disebut sebagai job-centered yang berorientasi pada pekerjaan dan employee-centered yang berorientasi pada karyawan.

Pemimpin yang job-centered ialah pemimpin yang berorientasi pada kiprah menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melaksanakan tugasnya dengan memakai mekanisme yang sudah ditentukan. Pemimpin ini mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan, dan eksekusi untuk mempengaruhi sifat-sifat dan prestasi pengikutnya. Perhatian pada orang dilihat sebagai suatu hal yang glamor yang tidak sanggup selalu dipenuhi pemimpin. Sedangkan pemimpin yang berpusat pada bawahan, ialah pemimpin yang mendelegasikan pengambilan keputusan pada bawahan dan memmenolong pengikutnya dalam memuaskan kebutuhan dengan cara membuat lingkungan kerja yang mendukung. Pemimpin yang berpusat pada karyawan mempunyai perhatian terhadap kemajuan, pertumbuhan dan prestasi pribadi pengikutnya. Tindakan-tindakan ini diasumsikan sanggup memajukan pembentukan dan perkembangan kelompok (Rivai dan Mulyadi, 2012:8).

G. Teori Kontinum
Tannenbaum dan Schmidt (1957) dalam (Pace dan Faules, 2010:288-289) mereview pengambilan keputusan sebagai konsep utama dalam kontinum sikap kepemimpinan mereka. Mereka mengemukakan butir-butir sikap pada suatu kontinum, dari kepemimpinan terpusat pada atasan, kepada kepemimpinan yang terpusat pada bawahan. Ketujuh butir ini memperlihatkan sifat pemimpin mulai dari mereka yang mempertahankan tingkat pengendalian ketat hingga mereka yang melepaskan kendali kepada bawahan. Kontinum ini sanggup dijelaskan sebagai diberikut:
  1. Manajer membuat keputusan dan mengumumkannya.
  2. Manajer membuat keputusan dan menawarkannya.
  3. Manajer mengemukakan keputusannya dan memdiberi peluang untuk mempertanyakannya.
  4. Manajer mengemukakan keputusan sementara, yang masih sanggup diubah.
  5. Manajer memilih beberapa batasan dan meminta bawahan untuk membuat keputusan.
  6. Manajer mengizinkan bawahan untuk membuat keputusan.
Kerangka Pemikiran
Pada kerangka pemikiran diatas, yang pertama melihat bagaimana gaya kepemimpinan kepala divisi humas Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan berdasarkan teori empat gaya kepemimpinan yang dikemukakan Likert, yakni gaya penguasa mutlak, semi mutlak, penasihat atau pengajak serta. Kemudian, bagaimana gaya kepemimpinan tersebut sanggup mendukung anutan informasi vertikal dan horizontal, dilihat melalui empat pertanyaan penelitian. Gaya Kepemimpinan memperlihatkan bagaimana anutan informasi secara horizontal meliputi fungsi komunikasi horizontal dan metode komunikasi horizontal. Kemudian gaya kepemimpinan memperlihatkan anutan informasi vertikal diantaranya apa saja jenis informasi vertikal (informasi dari pimpinan kepada bawahan dan informasi dari bawahan kepada pimpinan) dan juga melihat bagaimana pimpinan mengendalikan, mengarahkan, mendorong, melibatkan serta memdiberi ganjaran kepada bawahannya untuk sanggup mengidentifikasi gaya kepemimpinan kepala divisi humas Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.

LihatTutupKomentar