-->
Perencanaan Pembelajaran Adaftif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengertian Pembelajaran Adaftif

Pembelajaran adaftif ialah pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan dirancang sedemikian rupa sehingga sanggup dipelajari, dilaksanakan dan memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Makara Pembelajaran adaptif bagi Anak Berkebutuhan khusus hakekatnya yaitu Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebab di dalam pembelajaran adaptif bagi Anak Berkebetuhan khusus yang dirancang yaitu pengelolaan kelas, acara dan layanan.

Pendidikan Luar Biasa yaitu pendidikan biasa yang dirancang, diadaptasikan sesuai dengan karakteristik masing-masing kelainan anak sehingga memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan khusus.

Rancangan Pendidikan Luar Biasa yaitu terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kelas, acara dan layanan. Ketiga komponen tersebut bila dirancang dengan baik dan tepat akan memenuhi kebutuhan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus. melaluiataubersamaini demikian Pendidikan Luar Biasa yaitu Pembelajaran yang dirancang untuk merespon atau memehuni kebutuhan anak dengan karakteristik yang unik dan tidak sanggup dipenuhi kurikulum sekolah biasa, sehingga perlu disesuaikan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

 
Prinsip penyesuaian dalam pembelajaran

Yang membedakan antara pembelajaran yang ramah terhadap anak berkebutuhan khusus dan pembelajaran konvensional yaitu setting pembelajaran yang adaptif untuk tiruana peserta didik. Telah disahkan bahwa setiap peserta didik mempunyai perbedaan individu, namun terdapat toleransi sejauh mana pembelajaran  itu diharapkan adaptasi. Jika pembelajaran konvensional sudah mengakomodasi tiruana kebutuhan khusus peserta didik, maka penyesuaian tidak diperlukan.  Variabel penyesuaian sangat tergantung dari jenis dan tingkat karakteristik peserta didik khususnya kelainan yang disandang, baik kelainan fisik, emosi, sosial dan intelektual.

Adaptasi tersebut mempunyai empat tahap sebagai diberikut:
 
1.Melakukan duplikasi, artinya mengambil seluruh materi dan seni administrasi pembelajaran pada anak ”normal” ke dalam pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus tanpa melaksanakan perubahan, penambahan,  dan pengurangan apa pun.

2.Modifikasi terhadap materi, media  dan seni administrasi pembelajaran yaitu sebagian atau keseluruhan materi, media, mekanisme dan seni administrasi pembelajaran yang dipergunakan pada pembelajaran anak “normal” disesuaikan sedemikian rupa sehingga baik materi, media, dan seni administrasi pembelajarannya sesuai dengan karakteristik anak.

3.Substitusi, yaitu mengganti materi, media, dan seni administrasi pembelajaran yang berlaku pada  pembelajaran anak “normal”, bahkan mengganti  mata pelajaran  tertentu, contohnya mata pelajaran menggambar untuk anak tunguatra diganti dengan apresiasi seni bunyi atau sastra. Memdiberikan pemanis pembelajaran/ kegiaatan ekstra kurikuler yang berkaitan dengan acara kompensatif yang tidak ada pada kurikulum reguler. Misalnya kursus  orientasi mobilitas, Activity of dailly living (ADL), computer bicara, terapi wicara, bina gerak, bina diri dan sosial, bina komunikasi, dll.

4.Omisi, yaitu penghilangan  materi tertentu yang berlaku pada pembelajaran anak “normal”. Hal tersebut dilakukan apabila ketiga prinsip di atas sudah tidak sanggup dilakukan, misalnya   meniadakan materi pembiasan, proyeksi warna,   pada mata pelajaran tertentu, dan lain sebagainya. Prinsip  terakhir tersebut jarang dilakukan oleh sebagian besar pendidik, dengan pertimbangan  sesusah apa pun tiruana materi tetap didiberikan tetapi menurunkan  sasaran daya serap pembelajaran. Misalnya materi pembiasan pada peserta didik tunguatra, seyogyanya pendidik tetap menyampaikannya  secara informatif, alasannya yaitu sanggup bermanfaa untuk komunikasi dengan anak “normal” lain. Sekalipun konsep dipahami secara verbalisme namun dimanfatkan dalam berkomunikasi dengan peserta didik lain.


Berbagai model adaptasi

Berdasarkan grand design pendidikan inklusi nasional yang sudah disahkan di Palembang tanggal  27-30 November 2007 bahwa yang menjadi substansi implementasi pendidikan inklusi yaitu adaptasi. Adapun penyesuaian itu mencakup kurikulum, pembelajaran, media dan alat pembelajaran, materi ajar,  evaluasi serta pelaporan hasil belajar.
Dalam makalah ini pembahasan penyesuaian pembelajaran, media/ alat, materi ajar, evaluasi dan hasil berguru akan dikemas dalam satu bahasan yaitu penyesuaian pembelajaran sehingga secara substansional yang amat diharapkan dalam penyesuaian pada pendidikan inklusi yaitu penyesuaian kurikulum dan penyesuaian pembelajaran.

A. Adaptasi Kurikulum

1) ABK (anak berkebutuhan khusus) dengan kecerdasan rata-rata sanggup memakai kurikulum reguler.
2) ABK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) sanggup diikutkan acara akselerasi.
3) ABK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) sanggup memakai mengadaptasi kurikum reguler sesuai dengan karakteristik ABK.
4)Jenis ABK tertentu memerlukan acara kurikulum plus yaitu acara kurikulum pemanis yang bersifat rehabilitatif-kompensatif  dan tidak ada di sekolah reguler. Adapun kurikulum plus itu adalah:
• Tunguatra à  orientasi dan mobilitas, Braille
• Tunarungu à bina wicara
• Tunagrahita à bina diri
• Tunadaksa à  bina gerak
• Tuna laras à bina sosial/ pribadi
• Autis à bina komunikasi dan social.
• Gifted à akselerasi dan pengayaan
5) ABK yang tidak bisa mengikuti alternatif a), b), c) di atas sanggup dipakai acara pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar karakteristik ABK secara individual. Adapun pola yang sanggup diterapkan sebagai diberikut:
•Memmembuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang penting bagi kehidupan anak.
•memmembuang sebagian kompetensi dasar
•Menggunakan potongan pertama dan memmembuang di potongan simpulan baik pokok bahasan  dan atau sub pokok bahasan.
•Memmembuang potongan pertama dan menggunakan  di potongan simpulan baik pokok bahasan  dan atau sub pokok bahasan.

B. Adaptasi  Pembelajaran
 
Variabel penting dalam pembelajaran, adalah: a) kondisi pembelajaran, b) metode pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran.

1) Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata pelajaran, kendala, dan karakteristik peserta didik.  Adaptasi yang  sanggup dilakuan yaitu sebagai diberikut:
(a) mengambil standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler maupun PLB) namun menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).
(b) Mengambil standar kompetensi yang sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri standar kompetensinya.
(c)  Adaptasi materi pelajaran
Tidak tiruana mata pelajaran dan atau materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata pelajaran dan atau meteri pelajaran yang menjadikan kesusahan sebagai akhir eksklusif dari kelainannya yang membutuhkan adaptasi. Sebagai contoh sanggup disajikan hal-hal sebagai diberikut :
(1)  Anak tunguatra mempunyai keterbatasan dalam persepsi visual, sehingga pelajaran menggambar sanggup disesuaikan dengan pelajaran ekpresi lain berkaitan dengan nilai seni. Kemudian materi pelajaran yang banyak membutuhkan fungsi visual disesuaikan dengan memanfaatkan indra pendengaran, taktual, penciuman serta indra lain non visual. Kebanyakan tunguatra kesusahan dalam pembentukan konsep global, mereka memulai pengertian dengan dipertamai pembentukan konsep detail per detail gres kemudian global.
(2)  Anak tunarunguwicara mempunyai keterbatasan dalam persepsi bunyi dan irama, dengan acara bina wicara mereka masih bisa berbicara secara terbatas  sekalipun mereka  tidak sanggup mendengar terhadap apa yang mereka sendiri ungkapkan.
Materi pelajaran sebaiknya disajikan dalam bentuk gambar-gambar, terutama dalam pembentukan konsep yang berurutan Hindarkan kata-kata yang belum dikenal anak, kecuali kata yang sukar tersebut sebagai upaya untuk menambah kekayaan bahasa mereka. Pertanyaan/ soal hendaknya ringkas/ pendek tetapi cukup representatif.
(3)   Anak tunagrahita, (antara lain lamban belajar) kesusahan yang amat menonjol yaitu fungsi kognisi dan bahkan bila tingkat ketunagrahitaannya berat juga fungsi aspek lain mengalami kelainan. Sebagai contoh bila anak itu mengalami lamban berguru bila dibanding dengan mitra rata-rata lain sanggup hal-hal sebagai diberikut:
• Materi disajikan dalam bobot yang tidak sama dengan mitra rata-rata lain. Sekalipun dalam satu tujuan pembelajaran yang sama atau dengan kata lain penyederhanaan materi pelajaran sehingga sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
• Materi disajikan dengan pendekatan konseptual, maksudnya sebelum anak dituntut untuk menguasai pengertian secara abnormal harus dilampaui dengan penanaman konsep secara kongkrit dan berulang-ulang.
• Adaptasi materi pelajaran spesialuntuk dilakukan terhadap materi-materi yang menjadikan kesusahan anak.
(4)  Bila dalam kelas terdapat peserta didik  gifted, maka materi pembelajaran harus dikembangkan/ diperkaya secara horisontal dengan bobot yang lebih susah. Percepatan (akselerasi)  penyajian materi secara vertikal dimungkinkan  dengan menaikkan kelas yang lebih tinggi yang tidak perlu menunggu pada simpulan tahun pelajaran. Pendidik dalam pembelajaran terhadap anak ini spesialuntuk bertindak sebagai fasilitator. Perlu diperhatikan bahwa usia sosial dan emosinya sebetulnya masih sama dengan perkembangan emosi dan sosial anak rata-rata, dan spesialuntuk perkembangan kognisinya yang lebih  cepat bila dibanding dengan anak seusianya.
(5)   Anak dengan variabel ketunaan yang lain contohnya tunadaksa dengan kondisi tanpa kaki/ polio pada kedua kaki tentu tidak dibutuhkan penyesuaian materi pelajaran.

(d) Untuk menghadapi banyak sekali hambatan perlu penyesuaian media, alat dan materi ajar.
Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil penyesuaian yang khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut sudah dirasakan keuntungannya oleh mereka yang menggunakan. Komputer untuk tunguatra yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara), kalkulator bicara, mount botten, laser can untuk memmenolong tunguatra berjalan dll. Alat menolong dengar untuk anak tunarunguwicara.
Adaptasi masukana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini yaitu penyesuaian yang setiap ketika sanggup melaksanakan pendidik dalam pembelajaran di kelas. Melalui penyesuaian tersebut anak dengan kebutuhan khusus sanggup melakukan/ merasakan/ mengamati ibarat apa yang dilakukan oleh belum dewasa lain.

Di bawah ini beberapa contoh yang mungkin sanggup diterapkan dalam pembelajaran:
(1)   Adapatasi materi ajar
•    untuk peserta didik tunguatra sanggup materi latih disesuaikan dengan buku braille, buku bicara, buku digital, dll
•    untuk peserta didik tunarungu sanggup disertai gambar/ visualisasi yang sanggup mewakili narasi/ teks.
(2)   Dalam mempelajari berdiri geometri anak tunguatra harus mempelajari benda asli/ model/ setidaknya gambar timbul, sehinga anak tunguatra sanggup meraba, begitu pula mempelajari peta suatu wilyah juga harus berupa peta timbul.
(3)   Anak lamban berguru menulis harus dilihat masalah demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak sanggup membedakan antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.
(4)   Anak autis perlu meja khusus yaitu meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.
(5)   Anak polio (kursi roda) diharapkan dingklik dan meja yang sanggup dijangkau (diturunkan) dan ruang yang cukup untuk menempatkan dingklik roda.
(6)   Penempatan masukana dan alat/ buku-buku praktis dijangkau untuk tiruana anak
(e) Karakteristik peserta didik mencakup perbedaan individual dalam hal fisik (fisik normal, tunguatra, tunarungu, dunadaksa, warna kulit, ras, dll); emosi dan sosial (anak soleh, anak badung, autis, maldjusted,  anak miskin, anak beresiko, dll); intelektual (anak cerdas, rata-rata, anak bodoh, tunagrahita); kepribadian (introvert, ekstrovert, dll); minat; bakat; dll.

2) Metode pembelajaran terdiri dari seni administrasi pengorganisasian, metodologi, dan pengelolaan.
Berkaitan dengan metode pembelajaran sanggup dilakukan beberapa penyesuaian antara lain:
a)   Adaptasi  waktu pembelajaran
Akan lebih bijaksana bila dalam pemdiberian setiap kiprah ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesusahan yang dialami anak, waktu didiberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan anak rata-rata lain. Mereka didiberikan peluang untuk berprestasi ibarat yang lain sekalipun dalam waktu yang tidak sama. Misalnya anak tunguatra dalam mengerjakan soal-soal ujian didiberikan kelonggaran 20% dengan waktu yang dipakai oleh anak “normal”. Anak tunarunguwicara didiberikan peluang yang longgar dalam memahami isi bacaan/ membaca. Anak lamban berguru berhitung, bila pendidik menuntut sejumlah soal yang sama dengan anak rata-rata lain waktu hendaknya didiberikan kelonggaran yang cukup sesuai dengan tingkat kelabubanannya atau jumlah soal dikurangi.
b)   Adaptasi pengelolaan kelas
Dalam pengorganisasian kelas membutuhkan seni administrasi yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan daerah duduk terhadap belum dewasa yang mengalami kelainan harus mendapat prioritas khusus, sehingga mereka ibarat halnya mitra yang lain. Tanpa penyesuaian pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan mitra yang lain.
Dibawah ini daerah duduk yang dimasukankan untuk anak dengan kebutuhan khusus.
                        
  O  O          O  O          O  O    
                    
  O  O          O  O         O  O    
                    
  X  O          O  X          X  O    
                    

Keterangan:
X yaitu daerah duduk anak dengan kebutuhan khusus
O yaitu daerah duduk anak rata-rata/ normal
V meja/ dingklik pendidik

Pembuatan kelompok belajar/ kelompok apapun sebaiknya anak dengan kebutuhan khusus tidak dijadikan satu kelompok , mereka harus menyebar keseluruh kelompok yang ada. Sejauh anak dengan kebutuhan khusus masih sanggup mengerjakan tugas-tugas ibarat anak yang lain sekalipun minimal, mereka mendapat kiprah ibarat anak yang lain. Kelas-kelas yang terdapat peserta didik berkelainan sebaliknya tidakboleh diciptakan situasi berguru yang kompetitif, namun hendaknya anak yang unggul sanggup dimanfaatkan untuk mempersembahkan/ memmenolong kesusahan yang dihadapi mempersembahkan/ memmenolong kesusahan yang dihadapi oleh belum dewasa yang berkelainan secara kooperatif. Bila kelas dikondisikan kompetitif maka anak dengan kebutuhan khusus akan selalu ketinggalan dan tidak pernah memperoleh peluang untuk berprestasi sesuai dengan kemampuannya

c) Adaptasi  metodologi
Adaptasi  metodologi sebetulnya tidak akan membebani  pendidik dan peserta didik lain, namun justru akan lebih menguntungkan anak normal pada umumnya, disamping sanggup melayani anak dengan kebutuhan khusus pada khususnya. Proses pembelajaran dengan banyak sekali metode sudah dikuasai oleh seluruh pendidik, namun penyesuaian yang bisa menyentuh anak dengan kebutuhan khusus dalam kelas reguler memang memerlukan kecermatan tersendiri.

Di bawah ini beberapa masukan yang sanggup dipertimbangkan:
1) Metode pembelajaran untuk anak reguler pada prinsipnya sanggup diterapkan terhadap peserta didik  berkebutuhan khusus dengan meadaptasi  biar sesuai dengan karakteritik anak, tanpa mengurangi hak-hak anak reguler..
2) Metode ceramah: kata-kata gila atau kata lain yang belum dikenal hendaknya pendidik mengulangi dan mengeja huruf-demi huruf. Jika antara ucapan dengan goresan pena tidak sama maka pendidik harus mengeja karakter demi huruf.
misal:
•    Kalau (kalo) , what  pendidik tidak mengeja anak tunguatra akan menulis kalo, wot , dll,
• Untuk anak tunarungu ketika berbicara memakai metode ceramah tidakboleh membelakangi anak, kalau perlu ditulis di papan tulis kemudian anak disuruh menirukan berulang-ulang. hindarkan penerapan metode ceramah tanpa dilengkapi dengan demonstrasi di depan  kelas , denah di papan tulis, atau tanpa dilengkapi dengan gerakan anggota tubuh yang mendukung. Hindarkan pembicaraan yang membelakangi peserta didik/ menghadap papan tulis. Hal ini anak tidak akan sanggup menangkap kesan melalui membaca bibir.  Karena anak ini menyerap proses pembelajaran persentase terbesar yaitu sejauh yang mereka lihat. Pembicaraan dengan istilah gres sebaiknya ditulis dipaan tulis
3)  Metode demonstrasi  untuk anak tunguatra tidak  boleh dilakukan dengan visualisasi, tetapi yang didemonstrasikan pendidik harus sanggup didengar, diraba, dirasakan anak. Untuk anak tunagrahita diberikan peluang untuk mendemosntrasikan dengan instruksi pendidik atau  mitra lain.
4)  Praktikum di laboratorium IPA, seklipun anak tunguatra tidak sanggup melihat proses kimiawi, tetapi anak harus didiberi informasi setiap perubahan yang terjadi kalau perlu anak tunguatra didiberi kiprah mencatat tragedi yang diucapkan mitra kelompoknya.
5) Peragakan setiap gejala/ fakta  secara individual, upayakan setiap anak  berkebutuhan khusus akseptor satu alat peraga. Berikan waktu yang cukup untuk mengidentifikasi secara keseluruhan. akseptor satu alat peraga. Berikan waktu yang cukup untuk mengidentifikasi secara keseluruhan. Rangsang anak untuk mengasosiasikan benda tersebut dengan benda/ fakta/ tanda-tanda lain.
6)  Bila dalam kelas terdapat anak tunguatra hindarkan kata-kata ini, itu, untuk mewakili suatu konsep tertentu. Ini ,itu yang dimaksud harus diucapkan lengkap dengan bahasa ujaran, sehingga anak tunguatra memahami. Misalnya ini ditambah ini sama dengan ini alangkah bijaksana bila disesuaikan menjadi dua ditambah empat sama dengan enam.
Garis AB = 8 cm , Garis AC = 6 cm, berapa panjang garis BC bila segitiga itu siku-siku?. Akan lebih terang bila soal itu diadaptasikan menjadi  menjadi Sisi tegak AB = 8 cm, sisi ganjal AC = 6 cm, berapa panjang sisi miring BC, bila segi tiga itu siku-siku?
3) Hasil pembelajaran  yaitu tiruana pengaruh yang sanggup dijadikan sebagai indikator wacana nilai dari penerapan suatu metode di bawah kondisi yang tidak sama. Efek ini bisa berupa pengaruh yang sengaja dirancang, alasannya yaitu itu ia ialah pengaruh yang diinginkan, dan bisa juga berupa pengaruh nyata sebagai hasil penerapan metode pembelajaran tertentu. Bila contoh pembelajaran yaitu pada pengaruh atau hasil pembelajaran yang diinginkan, maka hasil ini harus diputuskan lebih doloe sebelum tetapkan metode pembelajaran.  Hasil pembelajaran sanggup diketahui melalui evaluasi hasil belajar.

a) Adaptasi menilai hasil belajar
 
(1) Tunguatra
(a) Tunguatra total
•    Menghindari penerapan kata-kata visual.
•    Gambar dua dimensi disajikan dalam bentuk gambar timbul/ taktual.
•    Benda-benda tiga dimensi disajikan dalam bentuk orisinil atau model.
•    Tambahan  waktu  sedikitnya 20% dari waktu yang ditentukan.
•    Semua indra non visual dimanfaatkan untuk keperluan penilaian.
•    Penilaian kinerja dengan memperhatikan kemampuan anak.
•    Posisi daerah duduk anak memperhatikan kemampuan indra pendengaran.
 
(b) Low Vison.
•    Memperhatikan kemampuan visual (ketajaman penglihatan) yang dimiliki anak
•    Posisi daerah duduk anak memperhatikan hal-hal diberikut ini:
o    jarak
o    ukuran
o    pencahayaan
o    kekontrasan
o    Penilaian kinerja dengan memperhatikan kemampuan anak.
o   Menggunakan alat menolong optik atau non optik yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak.
 
(2)  Tunarungu
•  Menggunakan bahasa yang singkat dan jelas.
•  Banyak memakai prinsip keterarahan wajah, keterarahan bunyi dan keperagaan.
•  Menggunakan gambar-gambar, grafis, dan komunikasi total.
•  Hindari tes yang bersifat listening diganti tes yang sesuai dengan kondisi siswa.
•  Menilai kemampuan berbahasa dengan mempertimbangkan usang pendidikan siswa (tidak dilihat dari umurnya atau jenjang kelasnya).
•  Memperhatikan derajat sisa indera pendengaran siswa (kurang dengar enteng, kurang dengar berat atau tergolong tuli)
• Mempertimbangkan pemakaian alat menolong mendengar (ABM) lamanya pemakaian, jenis, kondisi, dan keteraturan pemakaian.
•  Menilai kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif siswa dilakukan secara seimbang.
 
(3)  Tunagrahita
•    Menggunakan bahasa yang singkat, sederhana dan praktis dipahami.
•    Menggunakan alat peraga yang menarikdanunik.
•    Dilakukan secara individual.
•    Disajikan dalam bentuk angka dan diskripsi/ narasi.
•    Dilakukan sepanjang waktu dan tidak dibandingkan dengan siswa yang lain.
•    Tidak ada ranking.
 
(4)  Tunadaksa
•  Guru harus pintar memahami karakteristik siswa terutama bila siswa menjawaban pertanyaan guru secara mulut (tidakboleh menyalahgunakan jawabanan siswa) alasannya yaitu pada umumnya siswa tunadaksa (CP) biasanya mengalami hambatan bicara.
•    Pada umumnya siswa Tunadaksa mengalami hambatan koordinasi mata, tangan, dan juga mengalami tremor, ataxia, sehingga evaluasi tidakboleh menitikberatkan untuk tes tertulis.

b)  Prinsip evaluasi pada pendidikan inklusi

1)  Terhadap anak reguler dan atau anak berkebutuhan khusus dengan penyesuaian pembelajaran tidak menjadikan problem (tidak memerlukan PPI), maka kreteria penilaiannya memakai kreteria peserta didik reguler.
 
2)  Terhadap anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa memenuhi sasaran kurkulum reguler sekalipun sudah diadaptasi, maka kreteria penilaiannya menurut PPI yaitu berapa persen daya serap atau pencapaian tujuan yang sudah disusun dalam PPI,  itulah nilai yang diperoleh.
 
3)  Jika setiap anak berkebutuhan khusus di kelas itu memerlukan  PPI yang tidak sama, maka penilaianya atas dasar  pencapaian tujuan masing-masing PPI untuk masing-masing anak.
 
4)  Hal ini dimungkinkan setiap anak mendapat nilai yang baik, sekalipun kemampuannya tidak sama-beda.
Misal:
Andià IQ 110à kurIkulum reguler à nilai matematika à 8
Edi à IQ 100à tunguatraà kurikulum reguler à
adaptasi pembelajaran à nilai matematika à 8
Wuri à IQ 60à PPI à nilai matematikaà 8
Nilai 8 di atas tidak sama proses pembelajarannya dan tidak sama pula kompetensi yang dicapai.
 
5)  Jika evaluasi dilakukan secara kuantitatif, maka untuk membedakan evaluasi atas dasar  individu yang kenai PPI hendaknya dilampiri evaluasi porto folio. Porto folio yaitu  penilaian  hasil kerja seseorang yang sistematis dalam satu periode tertentu.  Kumpulan hasil kerja ini memberikan prestasi dan keterampilan/ kompetensi yang dicapai seseorang. Kumpulan hasil kerja diperbaharui dan berkelanjutan untuk melihat perkembangan keterampilan/ kompetensi sehingga terlihat perbedaan-perbedaan kualitas dari waktu ke waktu, yang tidak terlihat dari hasil pengujian.
 
6) Pengumpulan dan evaluasi hasil kerja sebaiknya terus menerus dijadikan titik sentral acara pengajaran.
 
c) Pelaporan
• Setiap pelaporan evaluasi PPI untuk kepentingan kelas, forum pendidikan, maupun orang renta peserta didik hendaknya selalu dilampiri portofolio. Hal ini dimaksudkan biar para pembaca khususnya orang renta dan masyakat tidak salah persepsi terhadap kompetensi peserta didik yang sesungguhnya.
• Pemdiberian nilai dalam rapor dan ijasah hendaknya tiruana mata pelajaran dilengkapi dengan deskripsi  kompetensi yang sudah dicapai anak, sehingga dengan nilai kuantitatif (misal 8), orang akan mengetahui bahwa nilai 8 itu delapan yang tidak sama dengan 8 anak reguler.

Referensi :
Ballard, K (1995) Inclusion Paradigms, Power and participation in C Clark, A Dyson and A Millward (eds) Towards Inclusion schools ? : David Fulton
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004). Mengenal Pendidikan Terpadu, Depdiknas, Jakarta
Hallahan Daniel P dan James Kaufman,  (1998) Introduction  to Special  Education, University of Virginia
Linda Shaw, (1998) Inclusive Education a Human Rights Issue, CSIE Bristol
Subagya, (2007), Modifikasi sebagai seni administrasi pembelajaran pada sekolah inklusi, Materi diklat TOT bagi calon pelatih Pendidikan Inklusi, International Rescue Committe,  Banda Aceh
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 wacana Sistem  Pendidikan Nasional.

LihatTutupKomentar