-->
Filsafat Scolastisisme Dalam Pendidikan Anak Usia Dini


Istilah Skolastik ialah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berati aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, sebagai diberikut :
a. Filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.
b. Filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional.
c. Suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat.
d. Filsafat Kristen alasannya banyak dipengaruhi oleh aliran gereja.
Filsafat Skolastik ini sanggup berkembang dan tumbuh alasannya beberapa faktor diberikut :
A. Faktor Religius
Faktor religius ialah keadaan lingkungan ketika itu yang berperikehidupan religius.
B. Faktor Ilmu Pengetahuan
Masa Skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Skolastik Awal (berlangsung dari tahun 800 – 1200)
Saat ini ialah zaman gres bagi bangsa eropa. Hal ini ditandai dengan skolastik yang di dalamnya banyak diupayakan pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah. Kurikulum pengajarannya mencakup studi duniawi atau artes liberales, mencakup tata bahasa, retorika, dialektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik.
Diantara tokoh-tokohnya ialah Aquinas (735 – 805), Johannes Scotes Eriugena (815 – 870), Peter Lombard (1100 – 1160), John Salisbury (1115 – 1180), Peter Abaelardus (1079 – 1180).
2. Skolastik Puncak (berlangsung dari tahun 1200 – 1300)
Masa ini ialah kejayaan skolastik yang berlangsung dari tahun 1200 – 1300 dan masa ini juga disebut mas berbunga. Berikut ini beberapa faktor mengapa masa skolastik mencapai pada puncaknya.
a. Adanya dampak dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibu Sina semenjak masa ke-12.
b. Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Prancis.
c. Berdirinya ordo-ordo. Banyaknya perhatian orang terhadap ilmu pengetahuan. Tokoh-tokohnya memegang tugas di bidang filsafat dan teologi, menyerupai Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura, J.D. Scotus, William Ocham.
 Menurut filsafat, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat indra, kebijaksanaan dan intuisi. melaluiataubersamaini indera kita akan mendapat pengetahuan ihwal benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak sempurna. melaluiataubersamaini akl kita akan mendapat bentuk-bentuk pengertian yang abnormal berdasar pada sajian atau tangkapan indra. melaluiataubersamaini intuisi, kita akan mendapat pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi inilah kita akan sanggup mempersatukan apa yang oleh kebijaksanaan tidak sanggup dipersatukan. Manusia sharusnya menyadari akan keterbatasan akal, sehingga banyak hal yang seharusnya sanggup diketahui. Karena keterbatasan kebijaksanaan tersebut, spesialuntuk sedikit saja yang sanggup diketahui oleh akal. melaluiataubersamaini intuisi inilah diperlukan akan hingga pada kenyataan, yaitu suatu kawasan dimana segala sesuatu bentuknya menjadi larut, yaitu Tuhan.
Aliran filsafat scolatisisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup kuat terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris ialah tokoh aliran pendidikan scolatisisme yang sangat kuat di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak menyerupai tokoh-tokoh scolatisisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne ialah filosof yang mengajar filsafat beraliran scolatisisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis ihwal scolatisisme dalam pendidikan dengan imbas khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan ialah Philosophy of Education dan studi terkena pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi pendidikan alasannya berpegang pada prinsip-prinsip filsafat scolatisisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Scolatisisme sangat concern perihal keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melaksanakan oposisi secara mendasar terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai forum untuk proses pemasyarakatan insan sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat scolatisisme pada masa ke-19 secara khusus mengajarkan ihwal kebudayaan insan dan forum kemanuisaan sebagai lisan realitas spiritual.
Para anakdidik yang menikmati pendidikan di masa aliran scolatisisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapat pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru dihentikan berhenti spesialuntuk di tengah pengkelasan anakdidik, atau tidak mengawasi satu persatu anakdidiknya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru tidakboleh spesialuntuk membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran scolatisisme, anak didik ialah seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham scolatisisme senantiasa menawarkan bahwa apa yang mereka lakukan ialah lisan dari keyakinannya, sebagai sentra utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat scolatisisme ini sanggup dengan praktis ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham scolatisisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual ialah suatu kenyataan, mereka tidak melihat anakdidik sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Sejak scolatisisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas ialah pribadi, maka mulai ketika itu dipahami ihwal perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat scolatisisme berpusat dari scolatisisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada scolatisisme. Maka, tujuan pendidikan berdasarkan paham scolatisisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan adonan antara keduanya.

Konsep Pendidikan
Pendidikan scolatisisme untuk individual antara lain bertujuan biar anak didik bisa menjadi kaya dan mempunyai kehidupan yang bermakna, mempunyai kepribadian yang serasi dan penuh warna, hidup bahagia, bisa menahan banyak sekali tekanan hidup, dan pada kesannya diperlukan bisa memmenolong individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan scolatisisme bagi kehidupan sosial ialah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan insan yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran scolatisisme berfungsi sebagai: (1) guru ialah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang seorang andal dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai metode mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para anakdidik; (5) Guru menjadi mitra dari para anakdidiknya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang bisa membangkitkan gairah anakdidik untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib diberibadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi referensi para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus bisa mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi materi didik yang diajarkannya; (11) Tidak spesialuntuk anakdidik, guru pun harus ikut berguru sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa senang bila anak anakdidiknya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan menyebarkan demokrasi; (14) Guru harus bisa belajar, bagaimana pun keadaannya.

Aplikasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Para guru dihentikan berhenti spesialuntuk di tengah pengkelasan anakdidik, atau tidak mengawasi satu persatu anakdidiknya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru tidakboleh spesialuntuk membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Anak didik ialah seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham scolatisisme senantiasa menawarkan bahwa apa yang mereka lakukan ialah lisan dari keyakinannya, sebagai sentra utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat scolatisisme ini sanggup dengan praktis ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Apalagi anak usia dini (AUD) ialah individu yang masih dalam tahap perkembangan pertama dan ialah titik pertama yang memilih bagi perkembangan diberikutnya.
Kurikulum yang dipakai dalam pendidikan yang beraliran scolatisisme harus lebih memseriuskan pada isi yang adil. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.


LihatTutupKomentar