-->
Relevansi Acara Membaca Dan Kemampuan Berpikir Kritis
Relevansi Aktivitas Membaca dan Kemampuan Berpikir Kritis
Globalisasi tidak semata-mata terpusat pada ranah ilmu pengetahuan dan teknologi belaka melainkan juga mensugesti paradigma sosial, politik, ekonomi dan budaya sehingga setiap jengkal wilayah kehidupan dan setiap individu terkena imbasnya, tak spesialuntuk sisi positif melainkan juga sisi negatifnya. Imbas negatif dan positif globalisasi ini bisa diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang saling terikat sehingga keberadaan salah satu sisi tak mungkin terlepas dari yang lainnya. Pencapaian yang tinggi di banyak sekali bidang kehidupan mirip kemajuan teknologi, ekspansi jaenteng komunikasi global dan perkembangan ekonomi sebagai imbas positif globalisasi harus diimbangi dengan semakin peliknya permasalahan dan semakin tingginya tuntutan kehidupan yang dihadapi manusia. 

Manusia dalam usaspesialuntuk untuk bertahan hidup akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan dan menuntaskan permasalahan-permasalahannya melalui perjuangan kreatif dan kemampuannya memecahkan kasus (problem solving). Usaha insan untuk bertahan hidup berkaitan eksklusif dengan aspek kognitif insan yaitu kemampuan berpikir. Berpikir ialah proses internal yang di dalamnya terjadi pengubahan isu sehingga memungkinkan untuk diarahkan menuju pemecahan kasus yang menghasilkan citra mental gres (Solso, 1998). Santrock dan Halonen (1999) mengungkapkan bahwa isu yang diubah melalui proses berpikir terdapat dalam memori. Pemerolehan isu yang semakin banyak akan membuat proses berpikir semakin baik dan tindakan yang dilakukan semakin mengena (de Bono, 1990). Permasalahan yang kompleks dan tingginya tuntutan kehidupan yang dihadapi insan seiring perkembangan zaman mustahil teratasi spesialuntuk dengan mengandalkan proses berpikir yang ‘biasa’ saja, yaitu suatu proses berpikir yang kurang sistematis ataupun analitis. Proses berpikir semacam ini susah menghasilkan kesimpulan atau solusi yang mengena bagi pemecahan kasus dan pemenuhan kebutuhan. Manusia membutuhkan suatu perjuangan yang lebih aktif lagi dalam mendapatkan dan mengolah isu gres yang masuk dalaam memorinya. 

Fakta yang ada pada masyarakat remaja ini menunjukkan minimnya fungsi berpikir individu terlebih lagi kemampuan berpikir kritis berupa kemampuan memproses fakta dan data melalui tahap observasi, pengujian hipotesis serta penilaian secara sempurna dan analitis sehingga menghasilkan suatu kesimpulan akurat. Budaya kritis yang rendah pada masyarakat lebih dikarenakan kurangnya perjuangan pembentukan dan penanaman kebiasaan bersikap dan berpikir kritis semenjak dini. Keluarga dan sekolah sebagai institusi pendidikan utama dan fundamental bagi perkembangan individu kuran mengkondisikan perilaku dan pemikiran kritis secara optimal sehingga lahirlah individu-individu yang pasif, tidak cepat tanggap dan tidak bisa menuntaskan duduk kasus atau menyikapi kondisi kasatmata masyarakat secara kritis.

Berpikir kritis mengandung pengertian memahami makna kasus secara lebih dalam, mempertahankan biar pikiran tetap terbuka terhadap segala pendekatan dan pandangan yang tidak sama, berpikir reflektif dan bukan spesialuntuk mendapatkan pernyataan-pernyataan serta melaksanakan prosedur-prosedur tanpa pemahaman dan penilaian yang signifikan (Santrock, 1995). 

Seorang pakar psikologi kognitif, Robert J. Sternberg (dalam Santrock, 1995), menyatakan bahwa untuk sanggup mengolah kemampuan berpikir secara kritis maka perlu dilakukan sejumlah langkah, diantaranya yakni memperluas landasan pengetahuan. Perluasan landasan pengetahuan ini sanggup dicapai melalui acara membaca sebagaimana pendapat Erryanti (2001) yang menyatakan bahwa individu sanggup memperluas wawasan, meningkatkan pengetahuan dan memperkaya pengalaman melalui acara membaca.

Membaca ialah salah satu acara yang paling penting bagi kehidupan manusia. Aktivitas membaca memfasilitasi dan menjadi penunjang kelangsungan banyak sekali bidang kehidupan alasannya yakni banyak sekali acara atau kegiatan lainnya yang bergantung pada acara membaca, contohnya berguru atau bekerja (Ampuni, 1998). Keterampilan membaca ialah keterampilan dasar yang mensugesti dan berperan penting dalam penguasaan keterampilan lainnya alasannya yakni melalui membaca terjadi transfer informasi, pengetahuan dan wawasan.

Schmitt dan Viala (Madiyant, 1993) membagi definisi membaca dalam pengertian khusus dan umum. Membaca dalam arti khusus yakni suatu upaya mengurai teks tulis tetapi dalam arti yang lebih luas, membaca yakni suatu kegiatan mengobservasi suatu jaenteng tanda sebagaimana karakteristiknya untuk tujuan membongkar maknanya sehingga masuk akal apabila kegiatan ini meluas menjadi membaca suatu gambar, lukisan, grafik dan sebagainya.

Aktivitas membaca baik dalam arti umum atau khusus mustahil terlepas dari acara berpikir alasannya yakni kedua acara ini berpusat pada organ fisik yang sama yaitu otak sebagai sentra fungsi kognitif manusia. Individu yang melaksanakan acara membaca secara otomatis juga menggerakkan fungsi berpikirnya. Matlin (dalam Ampuni, 1998) beropini bahwa membaca ialah acara yang melibatkan sejumlah kerja kognitif termasuk persepsi dan kognisi. Membaca meliputi banyak berpikir (de Bono, 1990) sehingga melalui acara membaca, individu juga menggerakkan dan mengaktifkan proses berpikirnya. Kaitan antara acara membaca dan berpikir ini semakin ditegaskan lagi oleh Taryadi yang mengutip pendapat Karlina Leksono (Darmanto, 2001) yang menyatakan bahwa membaca dan menulis ialah bab yang memungkinkan perkembangan kebijaksanaan sehat individual, pemikiran kritis independen, pembangkitan kepekaan terhadap kemanusiaan.

“Anda yakni apa yang Anda baca” ( you are what you read ). Pepatah ini tidak spesialuntuk menunjukkan tugas penting acara membaca dalam memfasilitasi kelangsungan acara lainnya dalam kehidupan insan melainkan juga menegaskan peranan penting membaca dalam mengkonstruksi identitas individu, dalam hal ini, si pelaku acara pembaca. Seseorang biasanya secara otomatis didiberi label sesuai dengan preferensi bacaannya, contohnya seseorang dilabeli ‘berhaluan kiri’ apabila ia banyak mengkonsumsi buku-buku beraliran ‘kiri’. Pendapat yang masuk akal kalau menyelidiki bahwa seseorang mustahil terlepas dari jenis bacaan yang dikonsumsinya alasannya yakni apa yang dibacanya menjadi salah satu tolak ukur dari minat, paradigma pemikiran dan kapasitas intelektualnya.

Perbedaan jenis bacaan yang dikonsumsi tidak spesialuntuk mencerminkan identitas pembacanya melainkan juga mengindikasikan tujuan yang ingin dicapai melalui acara membaca, contohnya membaca untuk menambah pengetahuan dan isu atau spesialuntuk sekedar untuk tujuan kesenangan. Tujuan untuk menyebarkan kemampuan berpikir kritis melalui acara membaca pun akan tercapai kalau individu menentukan bacaan yang tepat, yaitu bacaan yang bisa merangsang kemampuan induksi, deduksi, observasi dan penilaian yang ialah sejumlah aspek kemampuan berpikir kritis.

Jenis bacaan umumnya terbagi menjadi jenis bacaaan fiksi dan non fiksi. Bacaan fiksi ialah karangan yang dibentuk menurut imajinasi walaupun isinya menyerupai kenyataan mirip cerpen, komik atau novel sedangkan bacaaan non fiksi meliputi pernyataan atau kenyataan sebenarnya mirip karangan ilmiah, essai atau laporan penelitian. Kegiatan membaca bacaan non fiksi yang berorientasi pada pengetahuan dan isu akan lebih membiasakan dan merangsang individu untuk berpikir kritis kalau dibandingkan bacaan fiksi yang, tanpa mengecilkan manfaatnya, lebih berorientasi untuk kesenangan dan hiburan (Salindri, 1996).

Mahasiswa sebagai kalangan intelektual yang dibesarkan melalui institusi akademik dibutuhkan mempunyai kemampuan berpikir kritis biar tidak spesialuntuk menjadi sumber daya insan yang berkompetensi secara akademis namun juga berkarakter untuk menghadapi tantangan zaman. Laporan-laporan penelitian yang dikutip oleh Halpern (Hastjarjo, 1999) menggambarkan betapa miskinnya pemikiran kritis mahasiswa dan orang remaja di sejumlah negara. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang rendah ini tidak spesialuntuk tercermin dalam acara akademiknya tapi juga dalam kiprahnya sebagai anggota masyarakat. Mahasiswa cenderung pasif dalam menghadapi permasalahan dan kurang peka atau peduli terhadap kondisi kasatmata lingkungan sekitarnya. Karakteristik ini akan terus berlanjut dan terbawa hingga mahasiswa tersebut lulus dari Perguruan Tinggi dan terjun eksklusif ke masyarakat sehingga lahirlah generasi penerus yang ‘timpang’ dalam menghadapi tantangan zaman. Kemampuan berpikir kritis yang rendah pada mahasiswa ialah dampak lanjutan dari kurangnya perjuangan penanaman dan pembentukan budaya kritis oleh lingkungaan (baca : keluarga) ataupun institusi pendidikan. Salah satu perjuangan pembentukan perilaku dan pemikiran kritis, sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya, yakni melalui acara membaca.

Relevansi antara acara membaca mahasiswa dengan pemikiran kritisnya terlihat dari adanya fenomena baik pada mahasiswa maupun masyarakat luas yang menunjukkan bahwa mahasiswa atau orang yang kritis umumnya yakni individu yang gemar dan aktif membaca. Aktivitas membaca mempersembahkan pengetahuan sebagai landasan pemikiran kritis alasannya yakni isu yang ditransfer melalui membaca dapatmeningkatkan kualitas isi dan bobot pemikiran individu. Keluasan perspektif atau cara pandang yang membentuk kerangka pemikiran pun bisa dikembangkan melalui membaca. Membaca ialah acara konstruktif untuk merangsang perkembangan potensi individu termasuk pembangunan perilaku dan pikiran individu (Muflih, 2001) sehingga membentuk individu yang kritis baik perilaku maupun pemikirannya. Tradisi membaca diakui sangat berperan dalam kemajuan suatu bangsa. Negara-negara maju pada umumnya mempunyai tradisi membaca yang tinggi sementara di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tradisi membaca terhambat banyak sekali permasalahan terutama kasus ekonomi yang kompleks dalam masyarakatnya. 

Jajak pendapat terkena referensi konsumsi buku pada mahasiswa di sejumlah Perguruan Tinggi di Yogyakarta yang dilaksanakan oleh tim Penelitian dan Pengembangan Jurnal Balairung pada bulan Maret-April 2001 memang menunjukkan tingginya jumlah mahasiswa yang aktif membaca (98,6 %) akan tetapi jenis bacaan yang paling diminati oleh mahasiswa yakni komik (Andari, 2001). Poling ini menunjukkan bahwa mahasiswa lebih cenderung menentukan bacaan enteng (baca: fiksi) yang bertujuan menghibur atau untuk kesenangan mirip komik, novel terkenal dibandingkan bacaan fokus (baca: non fiksi). Mahasiswa yang seharusnya menentukan bacaan yang berbobot sebagai masukana konstruktif bagi pengembangan dirinya justru berkutat pada bacaan yang kurang berbobot sehingga masuk akal kalau potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa, termasuk kemampuan berpikir kritis masih amat minim. Bila kondisi ini terus berlanjut maka mahasiswa akan menjadi sumber daya insan yang tergagap-gagap dalam menjalani kiprahnya sebagai akademisi maupun menghadapi tantangan dunia nyata ketika ia lulus dari Perguruan Tinggi. Akan tetapi, selain aspek jenis bacaan, perlu juga dicermati kualitas dari acara membaca tersebut sebagai aspek pendukung utama pencapaian kemampuan berpikir kritis. Membaca bukan spesialuntuk sekedar memindai dan merangkai huruf melainkan juga memaknai, menyadari dan memahami muatan bacaan, alasannya yakni kesadaran dan pikiran yakni kunci keberadaan. Sudahkah anda (benar-benar) membaca ?

LihatTutupKomentar