-->
Pengertian Musyawarah Dalam Islam
Musyawarah dalam Islam
Islam sudah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang diberiman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak tepat kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura, Allah berfirman: (Dan (bagi) orang-orang yang mendapatkan (mematuhi) usul Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami diberikan kepada mereka.) (QS. as Syuura: 38)

Oleh alasannya yakni kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah I menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: (Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) (QS. Ali Imran: 159)

Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan para teman dekatnya setelah tejadinya perang uhud dimana waktu itu Nabi sudah bermusyawarah dengan mereka, dia mengalah pada pendapat mereka, dan ternyata risikonya tidak menggembirakan, dimana umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh teman erat terbaik, di antaranya yakni Hamzah, Mush'ab dan Sa'ad bin ar Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap bermusyawarah dengan para teman dekatnya, alasannya yakni dalam musyawarah ada tiruana kebaikan, walaupun terkadang risikonya tidak menggembirakan. 

Musyawarah Rasulullah r dengan para teman dekatnya
Rasulullah r yakni orang yang suka bermusyawarah dengan para teman dekatnya, bahkan dia yakni orang yang paling banyak bermusyawarah dengan teman dekat. Beliau bermusyawarah dengan mereka di perang badar, bermusyawarah dengan mereka di perang uhud, bermusyawarah dengan mereka di perang khandak, dia mengalah dan mengambil pendapat para perjaka untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani memberikan pendapat dengan bebas sebagaimana di perang uhud. Beliau bermusyawarah dengan para teman dekatnya di perang khandak, dia pernah berniat hendak melaksanakan perdamaian dengan suku ghatafan dengan imbalan sepertiga hasil buah madinah semoga mereka tidak berkomplot dengan Quraisy. Tatkala utusan anshar menolak, belia mendapatkan penolakan mereka dan mengambil pendapat mereka. Di Hudaibiyah Rasulullah r bermusyawarah dengan ummu Salamah dikala para teman dekatnya tidak mau bertahallul dari ihram, dimana dia masuk menemui ummu Salamah, dia berkata, "manusia sudah binasa, saya menyuruh mereka namun mereka tidak ta'at kepadaku, mereka merasa berat untuk segera bertahallul dari umrah yang sudah mereka persiapkan sebelumnya," kemudian ummu Salamah mengusulkan semoga dia bertahallul dan keluar kepada mereka, dan dia pun melaksanakan usulannya. Begitu melihat Rasulullah bertahallul, mereka pribadi segera berebut mengikuti beliau.

Rasulullah r sudah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan perbuatan, dan para teman erat dan tabi'in para penlampau umat ini mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.

Musyawarah fleksibel
Dalam masyarakat muslim seorang penguasa dalam melaksanakan kiprah kenegaraan harus berkonsultasi dengan para ulama, orang-orang yang berpengalaman, dan sanggup juga ia membentuk majlis syura, yang tugasnya mempelajari, mereview, dan memberikan pendapat dalam hal-hal yang dibolehkan diberijtihad oleh syari'at. Ini tiruana dalam rangka mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh Rasulullah r, dimana dikala orang-orang bijak yang mewakili rakyat di madinah, dikala mereka berkumpul di sekitar dia dan mereka tiruana yakni teman dekat, Rasulullah bermusyawarah dengan mereka wacana hal-hal yang tidak ada wahyu dan nash, mempersembahkan kebebasan kepada mereka untuk berbicara dan berbuat dalam urusan keduniaan; alasannya yakni mereka lebih pengalaman dahal hal ini, dan arti (keduniaan) di sini yakni tidak berkaitan dengan aturan syari'at atau masyarakat, akan tetapi bekaitan dengan pengalaman ilmiah, mirip seni berperang, menggarap tanah, memelihara buah-buahan dan seterusnya, di zaman kita kini ini sanggup kita namakan, murni urusan keilmuan, dan urusan praktek amaliah, Rasulullah mempersembahkan kebebasan kepada mereka untuk berbuat dalam hal-hal ini dengan mengatakan: "kalian lebih tahu wacana urusan dunia kalian."

Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang perilaku adikara dan diktator, menyerahkan kepada insan untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk mempersembahkan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh alasannya yakni itu musyawarah sanggup dilakukan dengan banyak sekali macam bentuk dan banyak sekali cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan aturan Allah dan pendapat umat.

Ini ialah fleksibelitas dalam mengaplikasikan musyawarah dalam masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid, orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman dalam membuat undang-undang Islam, yang menghalangi penyimpangan para penguasa dan keberanian para tiran dalam melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak insan dalam menghambakan diri padaNya.

Penjamin utama dalam merealisasikan ini tiruana yakni kesadaran rakyat terhadap wajibnya melaksanakan aturan Allah, dan spesialuntuk menghambakan diri padaNya, dengan menjauhkan diri dari pengagungan atau pengkultusan terhadap golongan atau individu dalam bentuk pemimpin atau raja atau pahlawan, alasannya yakni ini tiruana berperihalan dengan dogma tauhid, dan ialah ancaman yang sangat besar apabila masyarakat hingga kepada pengkultusan ini dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas, atau penguasa satu-satunya, atau raja yang mulia, atau partai yang berkuasa, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala yang ibarat syi'ar ibadah, dan menjatuhkan insan kepada kesyirikan baik mereka meyadari atau tidak, dan ini tiruana dilarang terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari oleh petunjuk al-Qur'an dan hadits.

Perbedaan musyawarah dengan demokrasi
Islam sudah mewajibkan musyawarah semenjak lima belas era yang lalu, dan mewajibkan kepada umat Islam untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka secara pribadi, dalam masyarakat mereka, dan dalam negara mereka, dan musyawarah dalam Islam ialah prinsip gres bagi kemanusiaan dalam sejarah mereka lampau dan kini.

Hal ini alasannya yakni apa yang dicapai oleh insan kini setelah revolusi berdarah yakni demokrasi dalam system pemerintahan. Jika kita membandingkan antara demokrasi barat yang berlaku kini dengan musyawarah dalam Islam, maka kita akan mendapatkan banyak perbedaan antara keduanya, dalam metode, dan tujuan, walaupun keduanya bertemu dalam banyak sisi.

Di selesai pembahasan wacana musyawah ini saya tidak mendapatkan yang lebih utama daripada memaparkan pendapat seorang politikus dan diplomat yang sudah menghabiskan umurnya yang panjang dalam bidang politik di Suria dan kerajaan Saudi Arabia, yaitu DR. Ma'ruf ad Dpertamaibi. Beliau sudah mengalami peperangan politik demokrasi di Suria, pada masa Negara itu menganut system politik bebas, dan dewan legislatif yang dipilih oleh rakyat, dia hingga pada jabatan pimpinan perdana menteri, dan ialah salah satu pemimpin partai rakyat di Suria, yang ialah lebih banyak didominasi di perlemen. 

Lalu dia hadir ke kerajaan Saudi Arabia setelah terhentinya kehidupan dewan legislatif di Suria untuk memenuhi undangan Raja Faisal bin Abdul Aziz Al Su'ud rahimahullah, untuk bekerja sebagai penasehat di diwan malaki, dan hingga kini dia masih bekerja.

Beliau sudah menerbitkan buku yang berjudul ad daulah wa assulthah fi al Islam, ini yakni penelitian yang disampaikan dalam konfrensi UNESCO di Paris pada tahun 1982M. dimana dia mengulas wacana musyawarah dan demokrasi, mengambarkan perbedaan antara keduanya, dengan judul (musyawarah), diberikut ini teks pembicaraannya:

"Di sini saya spesialuntuk menegaskan wacana prinsip musyawarah yang wajib dalam Islam, ia yakni prinsip yang gres bagi kemanusiaan dalam peradabannya lampau dan sekarang, dimana seluruh yang dicapai oleh filsafat hingga hari ini dalam system pemerintahan yakni mewajibkan memerintah dengan demokrasi, saya mengenalnya sebagai kekuasaan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam prakteknya demokrasi tidak lain spesialuntuklah:
lebih banyak didominasi memimpin minoritas (baik minoritas mau atau tidak) atau minoritas memimpin mayoritas, dalam bentuk lain, yaitu yang dilakukan oleh system sosialis, dan dinamakan juga dengan system sosialis demokratis.

Kedua system ini sudah mengenyampingkan kelompok kecil atau besar dari rakyat dalam mengambil keputusan, yaitu kaum minoritas pada umumnya, atau lebih banyak didominasi dalam system sosialis.

Adapun prinsip musyawarah yang diwajibkan dalam Islam yakni mewajibkan mengambil pendapat tiruana tanpa membedakan antara lebih banyak didominasi dan minoritas, kemudian mengambil pendapat yang terkuat dari segi argumentasi setelah dibandingkan antara kedua pendapat, bukan mengambil bunyi terbanyak.

Dalam bermusyawarah kita tahu susahnya membuat kaidah menentukan pendapat yang kuat, namun ini tidak tidak mungkin bila ditimbang dengan nalar sehat, maslahat dan pengalaman, sebagaimana ulama fiqh membuat kaidah ilmiyah untuk menentukan pendapat yang kuat. melaluiataubersamaini menentukan pendapat yang berpengaruh sesuai dengan kaidah ini maka tidak ada keberpihakan pada salah satu kelompok atas yang lain, akan tetapi mengambil pendapat terkuat secara akal, maslahat dan pengalaman setelah tiruana pendapat diletakkan pada posisi yang sama tanpa mengabaikan salah satu pendapat.

Prinsip musyawarah ini ialah prinsip gres dalam system pemerintahan dimana ia menghilangkan tiruana bentuk penindasan dari pihak lebih banyak didominasi atas pihak minoritas sebagaimana yang dianut oleh system demokrasi mutlak. Demikian pula ia menghilangkan segala bentuk penindasan pihak minoritas atas pihak lebih banyak didominasi sebagaimana dalam system sosialis demokratis.

sepertiyang prinsip musyawarah ini mengangkat tiruana pendapat orang baik dari pihak minoritas maupun lebih banyak didominasi kepada derajat yang sama, tanpa mempersembahkan kesan dikesampingkan atau tidak diperdulikan kepada siapapun, sebagaimana yang berlaku pada masa nabi dalam musyawarah yang wajib, kemudian mengambil pendapat terbaik setelah ditimbang-timbang.

Akan tetapi mirip halnya kasus lain, prinsip musyawarah ini memerlukan persiapan pendidikan secara khusus semoga musyawarah ini sanggup diterima dengan baik, dan persiapan pendidikan untuk mendapatkan prinsip musyawarah ini lebih praktis daripada persiapan pendidikan yang dipaksakan untuk mendapatkan prinsip penindasan kelompok lebih banyak didominasi atas minoritas, atau prinsip penindasan minoritas atas mayoritas, terutama yang kedua ini biasanya dan hingga kini tidak diterapkan kecuali dengan kekuatan dan kekerasan.

Demikian pula prinsip musyawarah ini memerlukan perangkat teknis ilmiah yang sesuai dengan tema musyawarah, dengan membentuk panitia khusus di dewan legislatif contohnya atau lainnya yang didiberi kiprah untuk mempelajari usulan-usulan yang masuk untuk menentukan pendapat yang terbaik, kemudian mengambil keputusan sesuai dengan kaidah-kaidah aturan yang diterima oleh tiruana pihak dengan penuh kebebasan.

Di sini juga dalam kasus (unsure rakyat) dan bangsa dalam Negara modern, sebagian penulis dalam majalah Prancis Beauvoir, mengingkari bila dalam Islam ada pemahaman yang terperinci bagi umat, mereka yakni Profesor Iyadh bin Asyuur dari Tunis, dan Prof. William Zartmann dari New York.

Adapun Prof. bin Asyur, ia berkata pada hal. 21 dalam majalah itu:
Pertama: bahu-membahu bangsa dalam Islam tidak memiliki eksistensi 
  • Kedua: dalam Islam bangsa ialah khayalan bagi bangsa yang disatukan oleh dogma dalam banyak sekali masa dan banyak sekali tempat.
  • Ketiga: bangsa tidak mengungkapkan kehendaknya dengan langsung, akan tatapi diwakili oleh kaum aristokrat yang memonopoli kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Adapun Prof. William Zartmann, ia juga berkata pada halaman enam dan sesudahnya:
Pertama: bahwa bangsa dalam Islam tidak pernah memimpin dirinya, alasannya yakni dalam teori politik Islam tidak ada balai pertemuan, atau dewan publikasi, atau parlemen.

Kedua: dalam Negara Islam tidak terdapat fatwa wacana batas Negara, alasannya yakni Negara Islam hadir pertama kali dari gurun sahara… kemudian bermetamorfosis masyarakat madani yang dikelilingi oleh mereka badui yang berpindah-pindah.

Kami akan menjawaban itu tiruana dengan singkat:
Pertama bahwa negera yang didirikan oleh rasul Islam sendiri yakni Negara Yatsrib, dan bahwa bangsa sesuai dengan teks konstitusi Negara ini memiliki keberadaan yang jelas, alasannya yakni kelompok-kelompok yang mengakui konstitusi ini dan bergabung dengannya sudah disebut dengan namanya masing-masing, tiruananya yakni kelompok yang tinggal di sekitar mata airnya, dan memiliki batas tanah pertanian yang tidak diragukan lagi.

Prof. Ibn Asyuur sudah lupa mengabaikan fakta bahwa pada banyak Negara suatu pengertian suatu bangsa ada dua konsep, yang pertama sanggup dikatakan "konsep histories" dan yang kedua sanggup dikatakan "konsep politik"
a. adapun konsep histories, maka spesialuntuk itulah dalam gambarannya yang melampaui batas masa dan tanah, ini mirip bangsa Arab, Turki, Prancis dan Jerman contohnya dalam sejarah. Dan mirip bangsa yang diberiman kepada Allah sepanjang sejarah, yaitu pengikut para rasul dan para nabi semenjak masa Nabi Ibrahim bapak para nabi hingga masa Muhammad, al-Qur'an sebut mereka: (92. Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini yakni agama engkau tiruana; agama yang satu[971] dan Aku yakni Tuhanmu, Maka sembahlah Aku. ) (QS. al Anbiya': 92) 

dan firmannya juga: (Hai rasul-rasul, makanlah dari masakan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan. Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, yakni agama engkau tiruana, agama yang satu, dan Aku yakni Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.) (QS. al Mukminuun: 51, 52)

b. adapun konsep politik, ia terbatas pada kelompok-kelompok dan daerah. Allah sudah bekehendak Islam yang pertama mendirikan Negara pertama dalam sejarah sesuai dengan konsep ini (konsep politik) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah di (Negara Madinah Yatsrib), dan tidak menjadikannya terbatas pada satu kelompok dalam akidah; akan tetapi menghimpun di dalamnya antara umat Islam dari kalangan muhajirin dari Mekah dan umat Islam penduduk orisinil Madinah, sebagaimana juga terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang bersama mereka, dan mereka tiruana dikatakan: "sesungguhnya mereka yakni satu bangsa" persis mirip Negara modern sekarang. Demikian pula Allah bekehendak bahwa Negara Islam yang gres ini tercatat pertama kali dalam sejarah dalam satu lembar konstitusi yang diakui oleh tiruana penduduknya, dan inilah yang belum kita dapatkan hal yang sama dalam sejarah.

Demikian pula perkataan: "sesungguhnya bangsa dalam Islam tidak mengekspresikan dirinya akan tetapi diwakili oleh sekelompok kaum aristokrat yang memonopoli kekuasaan dan ilmu pengetahuan", ini yakni perkataan yang sangat guah. Karena:
  • Mayoritas bangsa-bangsa kini tidak mencerminkan dirinya sendiri, akan tetapi melalui perwakilannya, menurut banyak undang-undang yang beragam. Sejak empat belas era yang kemudian Islam tidak bekehendak membatasi aturan tertentu bagi pola ini dimana pendapat-pendapat terkadang tidak sama sesuai dengan kondisi bangsa dan maslahatnya, akan tetapi system syari'at al-Qur'an dalam hal semacam ini memdiberi kebebasan bagi nalar insan untuk menentukan sesuai dengan kebutuhannya yang berkembang.
  • Islam tlah mewajibkan menuntut ilmu kepada tiruana tanpa ada monopoli, bahkan menyebabkan monopoli terhadap ilmu suatu kemungkaran yang ada hukumannya sebagaimana disebutkan dalam hukum-hukum rasul Islam, bila pada suatu masa muncul sekelompok ulama, dan umat insan mengikuti arahan-arahan mereka dengan harapan mereka yang bebas, maka mereka tidak sanggup dinamakan kaum ningrat, apalagi sama sekali mereka bukan berasal dari kaum ningrat, namun mereka tiruana berasal dari kelompok miskin yang memimpin umat di hadapan kekuasaan para penguasa.
Di sini cukup dikemukakan satu pola dari ulama tersebut, yaitu hakim madinah Muhammad bin Umar at Thalhi yang memenangkan kasus atas salah satu khalifah besar abbasiyah Al Manshur al Abbasi di madinah untuk para kuli angkut dan penggembala keledai setelah hakim ini memanggil khalifah melalui surat pangilan kepada para kuli dan khalifah ke majlis pengadilan di halaman masjid, ia mendudukkan kedua belah pihak di hadapannya mirip rakyat biasa dan ia memenangkan kasus untuk para kuli ([1]), tanpa memperdulikan kedudukan khalifah dan kebemasukannya di hadapan pengadilan.

Adapun perkataan Prof. William Zartmann "bahwa bangsa dalam Islam tidak pernah memimpin dirinya, alasannya yakni dalam teori politik Islam tidak ada balai pertemuan, atau dewan publikasi, atau parlemen." Ini yakni pendapat yang sangat guah, ia menganggap system-sistem gres yang tidak sama-beda dalam cara kepemimpinannya sudah merealisasikan keingian suatu bangsa memimpin dirinya sendiri, alasannya yakni banyak catatan ilmiyah atas majlis pemilihan ini: 
dalam majlis-majlis ini dalam system demokrasi kapitalis, kekuasaan spesialuntuk dimiliki oleh lebih banyak didominasi suatu bangsa, dengan demikian kekuasaan dimonopoli oleh kaum aristokrat gres yaitu aristokrat mayoritas.
Adapun Majlis dalam system sosialis mirip majlis soviet, terkadang mereka menamakannya demokrasi juga, maka kekuasaan di sini mirip diketahui terbatas pada sekelompok minoritas, dengan demikian kekuasaan dimonopoli juga oleh kaum aristokrat gres juga yaitu aristokrat minoritas.
Berdasarkan catatan-catatan ini atas system-sistem dan majils ini, maka system syari'at al-Qur'an memiliki pandangan lebih jauh dikala mewajibkan prinsip musyawarah, kemudian menyerahkan bentuk dan teknisnya pada nalar umat ini sesuai dengan keperluan mereka yang selalu bekembang, sebagaimana sudah kami sebutkan di atas dalam pembahasan kasus musyawarah.
Pada peluang ini kami tidak lupa mengingatkan pada perhatian Islam pada pendirian masjid semoga menjadi tempat perkumpulan pertama bagi umat Islam semenjak pertama kali Rasulullah r hingga ke madinah (Yatsrib) dimana dia mendirikan Negara Islam di sana, dia pribadi membangun masjid dan menjadikannya sebagai tempat umum untuk mengurusi duduk kasus umat Islam dalam agama dan dunia mereka, di masjid tersebut mereka bertemu lima kali dalam satu hari untuk mendirikan shalat bagi yang sanggup melakukannya, dan satu hari dalam satu ahad yang wajib dilakukan bagi tiruana.

Masjid ini sekaligus menjadi tempat ibadah, tempat bermusyawarah, mendapatkan para utusan, rumah sakit, rumah pemondokan dimana Rasulullah mendapatkan pendeta nasrani Najran yang bertamu kepada beliau, tempat pengadilan, dan di sana Qadhi memenangkan kasus bagi para kuli angkut atas khalifah al Manshur, bahkan masjid juga menjadi tempat merayakan hari ied… apabila penguasa mengajak bermusyawarah di masjid dengan cara mengumandangkan adzan pada selain waktu shalat, mereka tiruana tahu bahwa ada duduk kasus penting, maka mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka dan segera menuju majlis musyawarah yang tidak spesialuntuk terbatas pada satu kelompok, atau orang-orang tertentu, dan mereka tiruana berhak mengajukan pendapat.

Demikianlah, musyawarah antar masyarakat sudah terjadi semenjak masa pertama, akan tetapi perkembangannya diserahkan pada nalar sehat insan sesuai dengan kondisi mereka dan perkembangan maslahat mereka ([2]).

Ada perbedaan besar dan prinsip antara musyawarah Islam dan demokrasi barat, yang nampak terperinci sekali dalam standar ganda yang dilakukan oleh Negara-negara demokrasi barat dan amerika, dikala suatu duduk kasus berkaitan dengan Negara kecil dari dunia ketiga.

Negara demokrasi ini sangat mengagungkan demokrasi di dalam negaranya, dan mempraktekkannya dengan sangat detail dan disiplin, dalam kasus yang berkaitan dengan kebebasan pendapat, kebebasan memilih, mengawasi pemerintah, dan mengKoreksi, dan di waktu yang sama kita lihat ia mendukung dan memmenolong para penguasa dictator di Negara ketiga, yang membunuh kebebasan pendapat dan mengubur kebebasan memilih, dimana penguasa tunggal dalam Negara tersebut selalu menang 99 %, dan tidak membolehkan mengontrol penguasa dan mengKoreksinya, siapa yang berani melaksanakan hal itu maka ia akan dijebloskan ke dalam penjara, dan terkadang ia harus mendekam dalam penjara seumur hidup, ini bila tidak dinaikkan ke tiang gantungan.

Sejak usang Inggris ialah kerajaan yang kekuasaannya tidak pernah mataharinya tenggelam, dan system kerajaannya yakni system kolonial, yang mencabut hak rakyat dalam kemerdekaan, kemuliaan dan menentukan masa depan, dan pada waktu yang sama ia ialah pemimpin demokrasi di dunia.

Sesudah itu diteruskan oleh Amerika tapi bukan dengan penjajahan, akan tetapi dengan kekuasaan dan arogansi, kemudian diikuti oleh anak emasnya Israil, ia memmenolongnya dengan harta dan senjata, dan dengan memakai hak veto untuk kemaslahatannya, ia bungkam terhadap malapetaka, penghancuran, pengusiran, dan menyia-nyiakan hak, yang menimpa rakyat Palestina. demikian pula perbuatannya yang tidak manusiawi dan tidak demokratis di Jepang, Vietnam dan Somalia, tiruana orang tahu.

Makara standar ganda ialah abjad politik luar negeri Negara-negara demokrasi barat pada masa kini ini.

bila kita lihat pada petunjuk Islam yang ialah dasar ms dalam Negara Islam, kita akan mendapatkan standar tunggal, yang menjadi pijakan yakni kebenaran dan keadilan antara insan dengan banyak sekali jenis warna kulit, ras, bahasa dan agama, walaupun antara umat Islam dan orang-orang yang bersengketa dengan mereka ada permusuhan (Hai orang-orang yang diberiman hendaklah engkau jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan tidakbolehlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong engkau untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih erat kepada takwa. ) (QS. Shaad: 26). al Maidah: 8)

Tidak ada dogma atau sistem di muka bumi ini yang menjamin keadilah mutlak bagi musuh yang dibenci mirip agama ini (Islam); alasannya yakni Islam menyuruh para pemeluknya semoga menegakkan keadilan alasannya yakni Allah, melepasakan diri dari selainNya, dan semoga mereka menjadi saksi dengan adil, dan semoga kebencian mereka kepada musuh tidak menghalangi mereka berbuat adil kepada mereka.

keputusan yang adil dalam kasus musuh yang dibenci bukan spesialuntuk sekedar wasiat, bukan pula sekedar teori, akan tetapi ialah kenyataan dalam kehidupan umat Islam pada masa-masa cemerlang. insan tidak menyaksikan mirip itu sebelumnya maupun sesudahnya, conton-contoh yang dicatat oleh sejarah dalam maslah ini banyak sekali. apakah berperihalan dengan kenyataan bila kita katakana: bahu-membahu masyarakat yang dibangun oleh Islam sudah hingga pada tingkat musyawarah dan keadilan yang tidak dicapai oleh masyarakat manapun.

Musyawarah dalam masyarakat muslim yang melaksanakan aturan yang diturunkan oleh Allah tidak mirip musyawarah dalam masyarakat demokrasi di Negara-negara non muslim, baik itu demokrasi kapitalis yang ialah (aristokrasi mayoritas) walaupun dengan satu suara, atau demikrasi sosialis yang berupa (aristokrasi minoritas) yang menindas kelompok lebih banyak didominasi dengan besi dan api.

Hal itu yakni musyawarah yang dibentuk oleh manusia, untuk bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam yakni tukar pendapat antara orang-orang yang memiliki fatwa yang cerdas dari ahlul halli wal aqdi, untuk hingga pada keputusan terbaik dalam menerapkan aturan Allah atas manusia.
Oleh alasannya yakni itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, alasannya yakni ia yakni perintah Allah, dilarang bagi penguasa menghapusnya untuk memaksakan kekuasaannya pada manusia:

(Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) ((QS. Ali Imran: 156)
(Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; ) ((QS. Asssyuura: 38) 
sedangkan dalam Negara yang memakai undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan memberlakukan aturan darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi perilaku adikara dan kezaliman.

Oleh alasannya yakni musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar bila mendengar Koreksian dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan tulus dan menjawabannya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada seorang perempuan yang membantahnya dalam kasus pembatasan Mahar: "Umar salah dan perempuan ini benar" ([3]).

dan juga dia berkata kepada salah seorang yang mengKoreksinya: "tidak ada kebaikan pada kalian bila kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami bila kami tidak mendengarnya."([4]).

Dalam masyarakat muslim musyawarah memperoleh nilai dari petunjuk Islam yang lurus, yang tidak menjadikannya sebagai debat kusir, dan para politikus gadungan, mirip yang terjadi dalam banyak dewan legislatif sekaran, dan majis rakyat, akan tetapi musyawarah diletakkan pada para pemuka masyarakat yang memiliki fatwa yang cerdas dan latar belakang pengetahuan yang memadai, sebagaimana dipahami dari sabda nabi r:

لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى 
«Hendaklah berada di belangkangku dari kalian yakni orang bijaksana dan cerdas.» (HR. Muslim)

Nabi memdiberi instruksi semoga mengedepankan orang-orang bijak dan cerdas berdiri di belakang dia di waktu shalat ialah pencalonan bagi mereka untuk menjadi anggota musyawarah dan ahlul halli wal aqdi dalam masyarakat muslim. dan jauh sekali bedanya antara musyawarah yang anggotanya terdiri dari para penjahat dan rakya jelata, dan musyawarah yang anggotanya terdiri dari orang-orang baik, mulia dan orang-orang terhormat ([5]).

SUMBER ARTIKEL;
  • ([1]) Khulashat al madzhab al mukhtashar min siyar al muluk, dinukil dari al madkhal al fiqhi al aam, karangan ustasdz Mushthafa az zarqa, hal 169-201, cet ke v thn. 1957M.
  • ([2]) Ad daulah wa assulthah fi al Islam, oleh Dr. Ma'ruf ad dpertamaibi: 51-59.
  • ([3]) Ibn al Jauzi: 129, Syarh Ibn Abi al Jadid: 1/61.
  • ([4]) Akhbar Umar, oleh At thanthawi: 267.
  • ([5]) Lihat: wamadhaat al khathir, oleh pengarang: 133-135.

LihatTutupKomentar