-->
Proses Pengembangan Cpg
Proses pengembangan CPG
Sutherland dkk. (2001a) menyatakan bahwa CPG yang baik yaitu CPG yang berbasis bukti, yaitu yang didasarkan atas review sistematis (meta analisis). Darling (2002) menyatakan bahwa CPG yang baik yaitu yang membuat perawatan klinis menjadi lebih konsisten, sehingga outcome klinis lebih bisa diprediksi, dan lebih murah (cost effective). Namun van der Sanden dkk. (2004) menyatakan hal itu yaitu belum cukup. Untuk memungkinkan pengembangan CPG yang baik dan bermanfaa, dan untuk meminimalkan kendala dalam pelaksanaan secara praktis, maka CPG juga harus didukung oleh organisasi profesi yang terpercaya, serta didiseminasi secara sistematis dalam suatu format yang mudah difahami dan dilaksanakan oleh para klinisi.

Menurut Dutchak (2004), format suatu CPG yang lengkap yaitu mencakup beberapa aspek:
a. Aspek pelayanan yang akan dicakup.
b. Latar belakang epidemiologi.
c. Populasi yang akan dicakup.
d. Institusi pelayanan kesehatan yang dicakup.
e. Prosedur diagnostik, perawatan, dan intervensi yang akan dimasukkan atau dikeluarkan.

Namun berdasarkan Miller dan Kearney (2004) tidak ada keseragaman format penyajian CPG. Ada CPG yang menyajikan format lengkap menyerupai yang disebutkan di atas, ada yang berupa lembar rangkuman, atau berupa lembar pengingat (reminder sheet) dalam catatan pasien. Kombinasi teks dengan algoritma dan daftar pilihan juga sering digunakan. Yang penting adalah, metode penyajian CPG harus diubahsuaikan dengan populasi samasukan, tujuan penerapan, dan topik CPG. Jika dimungkinkan, sebaiknya CPG disertai dengan alasan yang mencakup beberapa aspek bukti-bukti yang digunakan, dan bagaimana bukti-bukti tersebut disintesis. 

Proses pengembangan CPG bukanlah ialah proses yang gampang, mengingat adanya beberapa kendala yang bisa terjadi. Hambatan-hambatan tersebut yaitu (Broughton dan Rathbone, 2003):
  1. CPG tidak disusun oleh suatu tim yang multidisipliner, yakni mereka yang mewakili pihak-pihak yang akan menggunakannya. Jadi, dalam hal ini, CPG tersebut menjadi ‘tidak bertuan’.
  2. Rekomendasi di dalam CPG yang tidak berdasarkan bukti, akan menghasilkan praktik yang kurang optimal, tidak efektif, dan membahayakan pasien.
  3. Sering terjadi, rekomendasi yang didiberikan dalam CPG didasarkan atas interpretasi terhadap bukti ilmiah yang kurang tepat, dan menyesatkan.
  4. Tim pengembangan CPG sering kurang mempunyai cukup waktu, sumber daya, dan kemampuan untuk mengumpulkan dan mereview bukti-bukti ilmiah secara detail.
  5. Keputusan yang dibuat oleh tim pengembangan CPG mungkin ialah pilihan yang salah bagi pasien secara individual.
  6. Jika tim pengembangan CPG tidak benar-benar multidisiplin dan mewakili (representatif), rekomendasi yang disusun akan sangat dipengaruhi oleh pendapat, pengalaman klinis, dan komposisi anggota tim.
  7. Kebutuhan pasien mungkin bukan ialah satu-satunya prioritas dalam menyusun rekomendasi. Kepentingan para dokter, para manajer risiko, dan bahkan para politisipun bisa terlibat. 
  8. CPG yang saling berperihalan dari profesi yang tidak sama akan membingungkan dan membuat frustrasi para praktisi.
  9. CPG yang tidak fleksibel sanggup membahayakan pasien dalam arti tidak mempersembahkan keleluasaan bagi para klinisi untuk merancang pelayanan kepada kebutuhan pasien secara individual dan juga keadaan-keadaan yang sifatnya personal.
Untuk menghindari hambatan-hambatan tersebut, salah satu upayanya yaitu membentuk tim yang benar-benar mewakili para stakeholders. Menurut Sutherland dkk. (2001a), stakeholders dalam penyusunan CPG adalah:
  • Otoritas pembuat regulasi di bidang kedokteran gigi. Badan ini mempunyai mandat untuk melindungi masyarakat dan untuk menjamin kualitas pelayanan yang tinggi, tetapi juga sanggup dirasakan sebagai ancaman bagi para dokter gigi
  • Asosiasi dokter gigi. Badan ini menerima mandat untuk mewakili dan mendukung anggota-anggota mereka, tidak spesialuntuk dalam mempersembahkan pelayanan yang berkarakter, tetapi juga dalam mencapai hasil praktik yang secara ekonomi sanggup terus bertahan hidup.
  • Insitusi pendidikan kedokteran gigi. Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) bertanggung jawaban untuk mendidik dokter gigi masa depan dan juga memproduksi banyak penelitian di bidang kedokteran gigi. Tetapi masukan dari FKG sanggup dirasakan terlalu akademis, dan tidak cocok dengan kebutuhan dokter gigi praktek.
  • Dokter gigi spesialis. Dokter gigi seorang jago yaitu mereka yang membawa pengetahuan keahlian ke dalam proses. Kehadiran dokter gigi seorang jago ini bisa dirasakan oleh dokter gigi umum akan bersikap bias, sebab ada kecenderungan bahwa mereka akan melayani para dokter seorang jago sendiri. 
  • Dokter gigi umum. Oleh dokter gigi spesialis, dokter gigi umum sering dianggap tidak mempunyai keahlian yang dibutuhkan untuk mempersembahkan masukan kepada pasien. Dokter umum juga sering dianggap sebagai fihak yang seharusnya merujuk pasien kepada spesialis, tetapi tidak merujuk. 
  • Pasien, yaitu mereka yang pada balasannya akan menerima laba dari pengembangan CPG.
Jika para stakeholder yang terdiri dari wakil-wakil profesi multidisipliner terwakili di dalam kelompok pengembang CPG, maka berdasarkan Dutchak (2004) akan diperoleh jaminan bahwa:
  • Evaluasi dan interpretasi terhadap bukti-bukti yang spesifik dan spesialistik sanggup dilakukan secara tepat.
  • Relevansi CPG bagi realitas praktik klinik sehari-hari tinggi.
  • Ada rasa mempunyai dan kerjasama dari tiruana stakeholder.
  • Pandangan dan pilihan pasien juga didengar.
CPG akan efektif dan menghasilkan outcome yang diinginkan kalau CPG tersebut valid. Grimshaw and Russel (1993) cit. Rycroft-Malone (2001) menyatakan validitas suatu CPG sebagai:

“CPG are valid if, when followed, they lead to the health gains and costs predicted for them”.
Validitas suatu CPG ialah salah satu ciri CPG yang baik. Rycroft-Malone (2001) menyatakan bahwa suatu CPG dikatakan valid secara saintifik kalau CPG tersebut: (1) dikembangkan dari suatu systematic review atau lebih baik lagi, meta-analysis, (2) melibatkan sedikit pengguna CPG, tetapi dalam disiplin keilmuan yang lebih banyak, dan (3) memastikan adanya hubungan eksplisit antara rekomendasi dengan bukti-bukti ilmiah.

Ciri-ciri suatu CPG yang baik berdasarkan Broughton dan Rathbone (2003) yaitu sebagai diberikut: 
  1. Valid, yakni CPG akan menuntun ke tujuan yang diinginkan.
  2. Reproducible, yakni kalau dua kelompok menyusun guidelines yang sama, dan memakai evidence yang sama, akan diperoleh CPG yang sama.
  3. Cost-effective, artinya CPG tersebut mengurangi penerapan sumber daya yang tidak perlu.
  4. Representative/multidiciplinary, yakni penyusunan CPG melibatkan tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok profesi dan kepentingan-kepentingan mereka.
  5. Clinically applicable, yakni populasi pasien yang terdampak oleh CPG harus teridentifikasi dengan jelas.
  6. Flexible, yakni CPG harus disusun dengan mengidentifikasi harapan-harapan yang berkaitan dengan rekomendasi dan keinginan pasien.
  7. Clear, yakni memakai bahasa yang terang yang tidak ambigu, yang difahami baik oleh klinisi maupun pasien.
  8. Reviewable, yakni harus dijelaskan kapan dilakukan review dan bagaimana prosesnya.
  9. Amenable to clinical audit, yakni CPG harus bisa diterjemahkan menjadi kriteria audit yang eksplisit.
Selain mempunyai ciri-ciri yang baik, suatu CPG juga harus efektif. Suatu CPG dikatakan efektif kalau CPG tersebut mencapai indikator-indikator yang meliputi: (1) tercegahnya terjadinya komplikasi, dengan menjamin bahwa pasien akan terbebas dari luka, infeksi, atau komplikasi lainnya, (2) terjadi peningkatan outcome klinis, (3) terjadi peningkatan pengetahuan pasien wacana penyakit dan perawatannya, menyerupai proses penyakit, obat-obatan, perilaku hidup sehat, kepatuhan terhadap arahan dari klinisi dalam proses perawatan, (4) terjadinya peningkatan outcome kesehatan fungsional dari pasien yang mencakup fungsi fisik, sosial, peran, kognitif, mental, pengawasan/pembatasan diri, perawatan diri, mobilitas, dan kualitas hidup (quality of life), (5) terjadi peningkatan kepuasan pasien dan peningkatan persepsi pasien terhadap perawatan klinis yang didiberikan, dan (6) digunakannya secara terus menerus CPG tersebut (Editorial, 2004).

Agar bisa dihasilkan suatu CPG yang ideal, maka dibutuhkan suatu proses pengembangan yang sistematis dan komprehensif. Dutchak (2004) dan Editorial (2004) menggambarkan proses pengembangan suatu CPG dengan suatu urut-urutan aktivitas yang terdiri dari sepuluh langkah sebagai diberikut:
  1. Memilih topik, yang didasarkan atas frekuensi dari suatu kondisi, besar dan kecilnya variasi dalam praktik klinis, outcome yang diinginkan, keinginan pasien, pertimbangan biaya, dan pertimbangan aspek-aspek yang lain menyerupai sosial dan hukum.
  2. Melakukan systematic literature review dengan memakai taktik penelusuran hasil-hasil penelitian, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Pemangku kepentingan kemudian melaksanakan penilaian terhadap hasil-hasil penelitian tersebut dalam aspek kekuatannya dan relevansinya dengan memakai suatu intrumen penilaian (assessment tool). Salah satu assessment tool yang bisa dipakai yaitu Appraisal of Guidelines Research and Evaluation (AGREE).
  3. Menyusun daftar rekomendasi (guidelines) untuk di-review oleh pgual ahli.
  4. Mengkategorikan masukan dari pgual ahli.
  5. Mereview daftar guidelines dengan literatur-literatur terbaru oleh stakeholder eksternal.
  6. Melakukan revisi, sesuai dengan masukan dari stakeholder eksternal.
  7. Melakukan tes kemampuan dan pemahaman guidelines.
  8. Melakukan revisi lagi kalau dibutuhkan, berdasarkan hasil tes kemampuan dan pemahaman.
  9. Melakukan peluncuran dan diseminasi guidelines.
  10. Melakukan penilaian wacana bagaimana guidelines tersebut di didistribusikan dan bagaimana penggunannya.
Langkah pertama dan yang ialah langkah terpenting dalam proses pengembangan CPG yaitu pemilihan topik. Dalam proses pemilihan topik, van der Sanden dkk. (2002) melaksanakan penelitian yang membandingkan empat metode pemilihan topik untuk pengembangan CPG. Keempat metode tersebut adalah: survei pendapat dengan pengiriman kuesioner kepada para dokter gigi, analisis topik yang dibahas dalam diskusi kelompok dokter gigi (peer group), screening topik melalui literatur kedokteran gigi, dan memakai persamaan regresi. Hasil penelitian mengatakan bahwa metode survei kepada para dokter gigi yaitu metode terbaik dalam memilih topik untuk pengembangan CPG.

Di lain pihak, Glenny dan Simpson (2004) sebut bahwa pemilihan topik CPG harus memakai tiga kriteria. Kriteria pertama yaitu prevalensi yang tinggi dari kondisi yang akan dibuat CPG-nya. Kriteria kedua yaitu beban sakit dari kondisi yang akan dibuat CPG-nya. Kriteria ketiga yaitu besar kecilnya variasi praktik dan biaya untuk menangani kondisi tersebut.

Berkaitan dengan pemilihan topik CPG ini, Sutherland dan Matthews (2004) memakai kriteria yang lebih luas, yakni:
  • Prevalensi dari kondisi klinis.
  • Beban sakit
  • Besarnya variasi dalam praktek klinis untuk menatalaksana kondisi.
  • Memiliki relevansi dengan tumpuan praktek klinis lokal.
  • Kemungkinan untuk mensugesti perubahan dalam praktek klinis.
  • Ketersediaan bukti-bukti yang berkarakter tinggi untuk mendukung praktik klinis.
  • Biaya untuk menata laksana kondisi tersebut.
Dutchak (2004) menambahkan dua kriteria lain yang harus dipakai dalamn pemilihan topik CPG, yakni: (1) potensinya untuk meningkatkan taraf kesehatan, dan (2) harus sesuai dengan prioritas pemerintah, dalam hal ini kementerian kesehatan.

Dalam proses pengembangan CPG, kualitas CPG harus terjaga. Untuk menjamin kualitas CPG, dibentuklah suatu kelompok yang terdiri dari para peneliti dan pembuat kebijakan publik di bidang kesehatan yang disebut dengan AGREE Collaboration. Kaprikornus AGREE Collaboration yaitu kelompok yang berkepentingan dengan peningkatan kualitas dan efektifitas dari CPG (Glenny dan Simpson, 2004). Oleh AGREE Colaboration, kualitas CPG didefinisikan sebagai:
“confidence that the potential biases of guideline development have been addressed adequately and that the recommendations are both internally and externally valid,

LihatTutupKomentar