-->
Pengertian Upah Dalam Konsep Islam
Pengertian Upah dalam Konsep Islam
Upah berdasarkan pengertian Barat terkait dengan pemdiberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, ibarat upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan penghasilan berdasarkan pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan penghasilan dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak). Meskipun titik berat antara upah dan penghasilan terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen perhiasan yang dibayarkan pribadi atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan relasi kerja” (Konvensi ILO nomor 100).2

Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah yakni suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemdiberi kepada akseptor kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang sudah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, ditetapkan atau dinilai dalam bentuk uang yang diputuskan berdasarkan suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemdiberi dan akseptor kerja.3

Dalam hal perbedaan pengertian upah dan penghasilan berdasarkan konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan penghasilan lebih komprehensif dari pada Barat.

Allah menegaskan wacana imbalan ini dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : “Bekerjalah engkau, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan engkau akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, kemudian didiberikan-Nya kepada engkau apa yang engkau kerjakan.” (At Taubah : 105).

Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab membuktikan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah Kamu, demi alasannya Allah semata dengan guaka amal yang saleh dan bermanfaa, baik untuk diri engkau maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memdiberi ganjaran amal engkau itu”4

Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas yakni menilai dan memdiberi ganjaran terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran yakni imbalan atau upah atau compensation.

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik pria maupun wanita dalam keadaan diberiman, maka bahwasanya akan Kami diberikan kepadanya kehidupan yang baik dan bahwasanya akan Kami diberikan akibat kepada mereka dengan pahala yang lebih baik apa yang sudah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).

Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab membuktikan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelabuinnya, baik pria maupun perempuan, sedang dia yakni mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka bahwasanya niscaya akan kami diberikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan bahwasanya akan kami diberikan akibat kepada mereka tiruana di dunia dan di akherat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang sudah mereka kerjakan“.5

Tafsir dari akibat dalam keterangan d iatas yakni akibat di dunia dan di akherat. Ayat ini menegaskan bahwa akibat atau imbalan bagi mereka yang bersedekah saleh yakni imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang mempunyai kegunaan bagi pribadi, keluarga, kelompok dan insan secara keseluruhan.6 Sementara berdasarkan Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh yakni segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu tubuh perjuangan (perusahaan) sanggup dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram. melaluiataubersamaini demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan mendapatkan dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.

“Sesungguhnya mereka yang diberiman dan bersedekah saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).

Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, yakni bahwa pemfokusan kepada akherat itu lebih penting daripada pemfokusan terhadap dunia (dalam hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.

Surat At Taubah 105 membuktikan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah niscaya membalas tiruana apa yang sudah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini yakni penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memdiberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akibat yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).

Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 membuktikan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam mendapatkan upah / akibat dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jikalau mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarikdanunik dari ayat ini, yakni akibat Allah pribadi di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan akibat di akherat (dalam bentuk pahala).

Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa akibat terhadap pekerjaan yang sudah dilakukan manusia, niscaya Allah balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.

Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw wacana upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) yakni saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus didiberinya makan ibarat apa yang dimakannya (sendiri) dan memdiberi pakaian ibarat apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jikalau engkau membebankannya dengan kiprah ibarat itu, maka hendaklah memmenolong mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8

Dari hadits ini sanggup didefenisikan bahwa upah yang sifatnya bahan (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus didiberinya makan ibarat apa yang dimakannya (sendiri) dan memdiberi pakaian ibarat apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang mendapatkan upah.

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pemmenolong bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pemmenolongnya. Bila ia tidak mempunyai daerah tinggal, hendaklah ia mencarikan daerah tinggal. Abu Bakar mengatakan: Didiberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia yakni seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9

Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) ialah kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawaban majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga ialah kewajiban majikan, alasannya istri yakni kebutuhan pokok bagi para karyawan.10

rja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memdiberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akibat yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).

Sehingga dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka sanggup didefenisikan bahwa : Upah yakni imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan bahan di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam: pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak spesialuntuk sebatas bahan (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).

Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus didiberinya makan ibarat apa yang dimakannya (sendiri) dan memdiberi pakaian ibarat apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jikalau engkau membebankannya dengan kiprah ibarat itu, maka hendaklah memmenolong mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8

Dari hadits ini sanggup didefenisikan bahwa upah yang sifatnya bahan (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus didiberinya makan ibarat apa yang dimakannya (sendiri) dan memdiberi pakaian ibarat apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang mendapatkan upah.

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pemmenolong bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pemmenolongnya. Bila ia tidak mempunyai daerah tinggal, hendaklah ia mencarikan daerah tinggal. Abu Bakar mengatakan: Didiberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia yakni seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9

Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) ialah kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawaban majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga ialah kewajiban majikan, alasannya istri yakni kebutuhan pokok bagi para karyawan.10

rja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memdiberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akibat yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).

ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa. Konsep adil ini ialah ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Al-Qur’an menegaskan :

“Berbuat adillah, alasannya adil itu lebih bersahabat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang diberiman, apabila engkau bemua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah engkau menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara engkau menuliskannya dengan benar. Dan tidakbolehlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berpinjaman itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan tidakbolehlah ia mengurangi sedikitpun kan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jikalau engkau membebankannya dengan kiprah ibarat itu, maka hendaklah memmenolong mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8

Dari hadits ini sanggup didefenisikan bahwa upah yang sifatnya bahan (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus didiberinya makan ibarat apa yang dimakannya (sendiri) dan memdiberi pakaian ibarat apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang mendapatkan upah.

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pemmenolong bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pemmenolongnya. Bila ia tidak mempunyai daerah tinggal, hendaklah ia mencarikan daerah tinggal. Abu Bakar mengatakan: Didiberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia yakni seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9

Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) ialah kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawaban majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga ialah kewajiban majikan, alasannya istri yakni kebutuhan pokok bagi para karyawan.10

rja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memdiberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akibat yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).

ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa. Konsep adil ini ialah ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Al-Qur’an menegaskan :

“Berbuat adillah, alasannya adil itu lebih bersahabat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang diberiman, apabila engkau bemua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah engkau menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara engkau menuliskannya dengan benar. Dan tidakbolehlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berpinjaman itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan tidakbolehlah ia mengurangi sedikitpun kan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jikalau engkau membebankannya dengan kiprah ibarat itu, maka hendaklah memmenolong mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8

daripada pinjamannya. Jika yang berpinjaman itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak bisa mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang engkau ridhai, supaya jikalau seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memdiberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan tidakbolehlah engkau jemu menulis santunan itu, baik kecil maupun besar hingga batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih bersahabat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jikalau mua’malah itu perdagangan tunai yang engkau jalankan di antara engkau, (jika) engkau tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila engkau berjual beli; dan tidakbolehlah penulis dan saksi saling susah-menyulitkan. Jika engkau lakukan (yang demikian), maka bahwasanya hal itu yakni suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)

“Hai orang-orang yang diberiman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika engkau sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah memutuskan hukum-hukum berdasarkan yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).

Nabi bersabda :
“Berikanlah penghasilan kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan diberitahukan ketentuan penghasilannya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).11

Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, sanggup diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada Kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad dalam perburuhan yakni aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus terang lampau bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut mencakup besarnya upah dan tata cara pembayaran upah. Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :

“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).12

Dalam membuktikan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, membuktikan sebagai diberikut :
Sesungguhnya seorang pekerja spesialuntuk berhak atas upahnya jikalau ia sudah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, alasannya umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jikalau ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) alasannya setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang membuktikan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.13

Dari klarifikasi Syeikh Qardhawi diatas, sanggup dilihat bahwa upah atau penghasilan ialah hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan mangkir tanpa alasan yang jelas), maka penghasilannya sanggup dipotong atau disesuaikan. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah atas apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik. Bahkan Syeikh Qardhawi menyampaikan bahwa bekerja yang baik ialah kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memdiberi upah ialah kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain yang membuktikan wacana pembayaran upah ini yakni :

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa ia bersabda: “Allah sudah berfirman: “Ada tiga jenis insan dimana Aku yakni musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, yakni orang yang membuat komitmen akan memdiberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang insan bebas (bukan budak), kemudian memakan uangnya. Ketiga, yakni orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).14

Hadits-hadits diatas menegaskan wacana waktu pembayaran upah, biar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).

ADIL bermakna PROPORSIONAL
“Dan bagi masing-masing mereka derajat berdasarkan apa yang sudah mereka kerjakan dan biar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf : 19).
“Dan engkau tidak dibalas, melainkan dengan apa yang sudah engkau kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
“Bahwasanya seorang insan tiada memperoleh selain apa yang sudah diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas berdasarkan berat pekerjaannya itu. Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka mesti sama. Prinsip ini sudah menjadi hasil konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 100.15

Sistem manajemen pengpenghasilanan HAY atau yang sering disebut dengan Hay System, sudah menerapkan konsep ini. Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah renta atau muda, berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka akan dibayar dengan upah yang sama.

LAYAK
Jika Adil berbicara wacana kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka Layak berafiliasi dengan bemasukan yang diterim

LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) yakni saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus didiberinya makan ibarat apa yang dimakannya (sendiri) dan memdiberi pakaian ibarat apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jikalau engkau membebankannya dengan kiprah ibarat itu, maka hendaklah memmenolong mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).16

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda : „Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pemmenolong bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pemmenolongnya. . Bila ia tidak mempunyai daerah tinggal, hendaklah ia mencarikan daerah tinggal. Abu Bakar mengatakan:

Didiberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda : Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia yakni seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu Daud).17

Dari dua hadits diatas, sanggup diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal). Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum berkeluarga, menjadi kiprah majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya. Artinya, relasi antara majikan dengan pekerja bukan spesialuntuk sebatas relasi pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap ialah keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan ialah konsep Islam yang lebih 14 era yang kemudian sudah dicetuskan.

Konsep ini digunakan oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan dikala ini. Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini susah untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep inilah yang sangat tidak sama dengan konsep upah berdasarkan Barat. Konsep upah berdasarkan Islam, tidak sanggup dipisahkan dari konsep moral. Mungkin sah-sah saja jikalau penghasilan seorang pegawai di Barat sangat kecil

alasannya pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service). Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam memilih berapa upah yang akan didiberikan.

LAYAK bermakna SESUAI DENGAN PASARAN
“Dan tidakbolehlah engkau merugikan insan akan hak-haknya dan tidakbolehlah engkau merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).

Ayat di atas bermakna bahwa tidakbolehlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya. Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa tidakbolehlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya didiberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah perbulannya berdasarkan pamasukan yakni Rp 900.000,-. Tetapi di perusahaan tertentu didiberi upah Rp 500.000,-. Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. melaluiataubersamaini kata lain, perusahaan tersebut sudah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan. Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak bagi si pekerja tersebut.

Dari uraian Upah berdasarkan Konsep Islam diatas, maka sanggup digambarkan bagaimana konsep Upah dalam Islam ibarat tertera dalam Gambar 2 Dapat dilihat bahwa Upah dalam konsep Syariah mempunyai 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. Untuk menerapkan upah dalam dimensi dunia, maka konsep moral ialah hal yang sangat penting biar pahala sanggup diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah tersebut. Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh alasannya itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral diharapkan untuk menerapkan upah dimensi dunia biar upah dimensi akherat sanggup tercapai.

Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu adil dan layak. Adil bermakna bahwa upah yang didiberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang didiberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh berada di bawah pamasukan. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada posisinya, biar megampangkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahan.

Kesimpulan
Upah berdasarkan Barat yakni Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen perhiasan yang dibayarkan pribadi atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan relasi kerja. Sedangkan Upah berdasarkan Islam yakni imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan bahan di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal : pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak spesialuntuk sebatas bahan (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan (kecukupan).

Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil dan layak. Adil bermakna 2 hal ; (1) terang dan transparan, (2) proporsional. Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1), cukup pangan, sandang dan papan, (2), sesuai dengan pamasukan.

Saran 
Berhubung penelitian ini tidak mengulas teori-teori pengupahan yang selama ini dikenal, maka untuk penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian wacana teori-teori itu apakah sudah sesuai dengan syariah atau belum. Jika belum sesuai dengan syariah, maka perlu modifikasinya biar sesuai dengan syariah



LihatTutupKomentar