-->
Filsafat Sebagai Perisai Dalam Menghadapi: Dekadensi Moral
FILSAFAT SEBAGAI PERISAI DALAM MENGHADAPI: DEKADENSI MORAL 
Abstrak
M. Ied Al Munir Abstract This article aims to describe the function of philosophy as a shield in the face of moral decadence. The development of science and technology, as we know already, has both positive and negative impacts. Science and technology are not only beneficial toward human life but also play a major role in the decline and even the destruction of moral values. Negative impacts that appear in the development of science and technology should not encourage pessimism or even resignation. Human beings should be able to control and restrain science and technology, rather than being defeated by them and surrendering to them. Keywords philosophy, shield, moral decadence, ethical responsibility 

Penlampauan 
Dunia ilmu pengetahuan berkembang terus menerus tanpa pernah berhenti, demikian pula sisi terapannya berupa teknologi yang ikut mengalami kemajuan, baik secara sedikit demi sedikit maupun dengan akselarasi yang sangat cepat dan mencengangkan. Layaknya sebutir obat yang menjanjikan kesembuhan bagi orang yang sakit yang meneguknya, namun terkadang juga mempunyai imbas sampingan yang merugikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun punya dua dampak yang positif dan negatif, dampak yang menguntungkan dan merugikan.  Ilmu pengetahuan dan teknologi sanggup dimanfaatkan oleh insan secara positif-konstruktif maupun secara negatif-destruktif tergantung kepada moral dan mental insan (Bintarto, 1994: 39) yang berperan sebagai pencipta, pengembang, dan penggunanya. Dalam bahasa Djuretna A Imam Muhni (1994: 133) ilmu pengetahuan dan teknologi selalu terkait dengan pemilik dan pemakainya yakni insan yang sering kali tidak bisa untuk mengendalikan nafsu serakahnya sendiri dalam artian moral. Manusia dalam kehidupannya sangat tergantung dan berpinjaman budi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Merupakan kenyataan yang tidak sanggup dipungkiri bahwa peradaban insan yang berkembang dari peradaban sederhana menuju ke peradaban yang sangat maju dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang inilah, maka insan menjadi sangat digampangkan dalam menjalankan kehidupannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi sudah memmenolong insan untuk memenuhi segala kebutuhannya secara lebih cepat dan lebih gampang. 

Umat manusia, misalnya, digampangkan lantaran ditemukannya alat-alat kedokteran yang canggih sehingga penyakit kita lebih mudah dideteksi dan usia keinginan hidup menjadi semakin panjang, alat-alat transportasi yang lebih cepat dan aman, alat-alat komunikasi yang begitu sophisticated yang membuat dunia terasa semakin sempit. Manusia juga digampangkan untuk memanfaatkan segala sumber daya alam untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Kenyataan adanya kemajuan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak yang memdiberi kegampangan kepada umat insan untuk menjalani kehidupannya, di lain pihak memunculkan pertanyaan pelik: apakah ilmu pengetahuan dan teknologi selalu ialah berkah yang terbebas dari malapetaka dan kesengsaraan? Menurut Abbas Hamami dan Koento Wibisono (1986: 123-124), pada ketika pembangunan sedang digalakkan dengan pertolongan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mewujudkan suatu masyarakat yang ideal, yakni masyarakat yang damai, sejahtera, adil dan makmur, baik materil maupun spritual, maka di ketika itu pula banyak sekali masalah mendasar atau mendasar muncul yang harus dihadapi oleh umat insan dalam hidup dan kehidupannya sebagai dampak negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tadi. Berbagai masalah dimaksud yaitu alienasi, anomi, kehidupan yang tidak lagi utuh lantaran semakin bercerai-berainya nilai-nilai cipta, rasa dan karsa, kemeralatan dan kemiskinan, keresahan akan kemungkinan munculnya perang dunia, semakin terbatasnya sumber-sumber kekayaan alam justru di kala penduduk dunia semakin membesar jumlahnya. Masalah-masalah tadi tidak spesialuntuk berujung kepada penderitaan insan secara fisik namun juga berakibat kepada menurunnya atau bahkan hancurnya nilai-nilai moral. melaluiataubersamaini kata lain sudah terjadi dekadensi moral. 

Dan ketika hal ini sudah terlanjur terjadi, maka kita tidak bisa spesialuntuk membisu berpangku tangan dan meratapi apa yang sudah terjadi. Banyak hal yang sanggup dilakukan. Banyak pula masukana yang sanggup dilalui dan digunakan contohnya pendidikan, agama maupun filsafat. Khusus masukana terakhir inilah yakni filsafat yang akan penulis telaah lebih jauh. Dimulai dengan pertanyaan: bagaimana tugas filsafat dalam menghadapi dekadensi moral? bagi kebanyakan orang pertanyaan ini mungkin ibarat atau bahkan sama dengan pertanyaan bagaimana tugas atau fungsi rem bagi sebuah sepeda? yakni untuk memperlambat laju sepeda atau menghentikannya sama sekali. Pertanyaan kedua ini membutuhkan jawabanan yang sama sekali bersifat simpel dan konkret. Akan tetapi, jawabanan yang bersifat simpel dan kasatmata tidak akan didapatkan apabila pertanyaan pertama diajukan kepada seseorang yang pernah berguru atau menggeluti filsafat dan boleh jadi jawabanannya pun akan tidak ibarat yang diharapkan. Jawaban yang bersifat simpel dan kasatmata tidak sanggup didiberikan oleh orang yang berguru filsafat. Meskipun demikian, apakah benar bahwa filsafat lantas tidak mempunyai tugas sama sekali dalam menghadapi dekadensi moral? 

Peran Filsafat secara Umum: Masalah-masalah yang Dihadapi 
Filsafat Sejak kelahirannya sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan lebih kurang kala ke-6 sebelum masehi hingga dengan perkembangannya remaja ini, filsafat selalu saja berhadapan dengan masalah-masalah mendasar yang baka dan tidak pernah terpecahkan dengan baik. Boleh dikatakan bahwa filsafat dihadapkan dengan masalah-masalah yang ituitu saja, masalah yang sama, akan tetapi insan dengan kebijaksanaan dan pengalamannya belum atau tidak bisa untuk mempersembahkan jawabanan yang satu dan sama, melainkan tidak sama atau bahkan berperihalan. Menurut Hamami dan Wibisono (1986: 125-126), masalah-masalah dasar dimaksud antara lain: 
  1. di bidang ontologi ibarat apakah ‘ada’ itu? apakah yang ‘ada’ itu tetap atau berubah?; 
  2. di bidang antropologi ibarat apa dan siapakah insan itu? apakah insan dalam keberadaannya di alam semesta ini bebas atau terikat?; 
  3. di bidang ilmu pengetahuan ibarat bagaimanakah caranya supaya insan sanggup mencapai kebenaran atau kenyataan? apakah yang disebut kebenaran atau kenyataan sendiri; 
  4. di bidang agama ibarat adakah Tuhan itu? bagaimanakah hubungan Tuhan dengan segala sesuatu ‘ada’ yang lain? bagaimanakah hubungan antara wahyu dengan akal?
Sedangkan Harry J Gesler (1998: 2), dengan bahasa yang lebih sederhana dan lebih terserius kepada masalah-masalah moral, mengambarkan bahwa masalah-masalah yang seringkali dihadapi dalam filsafat sanggup dilihat dalam beberapa pertanyaan diberikut: apakah Tuhan ada? apakah tindakan insan bersifat bebas atau ditentukan? apakah insan sanggup dijelaskan dengan pengerian material? bagaimana insan sanggup mengetahui dan apa yang sanggup insan ketahui? apakah kodrat dan metodologi dalam keputusan moral? prinsip apa yang harus kita pegang dalam hidup? Dalam sejarah perkembangan filsafat, terlihat bahwa insan mempersembahkan jawabanan yang bermacam-macam bahkan sering kali berperihalan dalam menjawaban pertanyaan-pertanyaan di atas. Masing-masing mendasarkan kepada keyakinan, pendekatan dan cara kerja yang dipandangan benar. Karena itu pula, maka dalam filsafat berkembang anutan yang bermacam-macam tergantung kepada keyakinan pertama, pendekatan dan cara kerja tadi. Sebagian anutan sangat tergantung kepada penerapan akal, sebagian lagi tergantung kepada pengalaman inderawi, sementara sebagian yang lainnya berusaha untuk menggabungkan keduanya. Atau ada pula yang sama sekali terlepas dari keduanya. Sehingga dalam sejarah dikenal adanya aliran-aliran Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Pragmatisme dan lain sebagainya. 

Peran Filsafat 
Banyak orang yang sering kali mengeluarkan pendapat, bahkan dengan sedikit nada sinis, mempertanyakan apa fungsi atau kiprahnya filsafat bagi keilmuan dan kehidupan. Pertanyaan itu ialah pertanyaan yang masuk akal dan tidak salah. Karena selama seseorang belum mengenal filsafat (suatu cabang ilmu pengetahuan yang cenderung tidak terlalu aplikatif dan cenderung kepada kontemplasi atau perenungan kritis), maka ia tidak akan mungkin bisa untuk memahaminya dengan baik. Irmayanti M Budianto (2002: 15-16) pernah mencatat beberapa tugas filsafat, baik dalam kehidupan maupun dalam bidang keilmuan: 
  • pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak insan bersikap pandai dan berwawasan luas terdapat pelbagai masalah yang dihadapinya, dan insan diharapkan bisa untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dengan cara mengidentifikasinya supaya jawabanan-jawabanan sanggup diperoleh dengan gampang. 
  • Lokal Kedua, berfilsafat sanggup membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul lantaran keinginannya. 
  • Ketiga, Filsafat sanggup membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan. 
  • Keempat, terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas banyak sekali permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi, ketika banyak sekali kajian lintas ilmu pengetahuan atau multidisiplin melanda dalam kegiatan ilmiah, diharapkan adanya suatu wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi kemajemukan berpikir dari banyak sekali ilmu pengetahuan diberikut para ilmuannya. 
Dalam pandangan Hamami dan Wibisono (1986: 126-27), filsafat melalui metode-metode pemikirannya tidak akan sanggup eksklusif mempersembahkan programme-programme kebijakan yang keuntungannya sanggup dinikmati secara simpel dan kasatmata sebagaimana halnya dengan ekonomi, metode dan ilmu-ilmu terapan yang lainnya. Segi kelemahan filsafat, dalam arti sifat dan coraknya yang absurd dengan lemparan analisis-analisis kritisnya yang sering tidak tersentuh oleh mereka yang sudah terbiasa untuk berpikir secara praktis, ialah salah satu alasannya yaitu mengapa para mahir filsafat terisolir dan jarang diajak untuk berpartisipasi dalam penentuan taktik pembangunan, apalagi dalam pelaksanaan programme-programme kegiatan yang sudah bersifat teknis operasional. Padahal keabstrakan dengan spekulasi-spekulasinya yang paling dalam justru membawa filsafat kepada kekuatan radikalnya. melaluiataubersamaini berpikir secara absurd spekulatif dan mengambil jarak dari penggumulan masalah-masalah teknis praktis, filsafat justru sanggup melihat sesuatu Filsafat sebagai Perisai 47 permasalahan dari tiruana dimensi, sehingga hal-hal yang belum tersentuh oleh ilmu-ilmu lain sanggup pula dijadikan titik perhatiannya. Peranan filsafat yaitu memberikan adanya perspektif yang lebih dalam dan luas, sehingga kehadirannya akan disertai dengan banyak sekali alternatif penyelesaian untuk ditawarkan mana yang paling sesuai dengan perubahan waktu dan keadaan (Hamami dan Wibisono, 1986: 127). Demikian pula halnya apabila kita berbicara terkena tugas filsafat dalam menghadapi dekadensi moral. Filsafat mungkin spesialuntuk sanggup mengambarkan sebab-sebab munculnya dekadensi moral, mengambarkan caracara mengatasi sebab-sebab tersebut, mengambarkan cara-cara penanganan dekadensi moral. Sementara pelaksanaannya sendiri sangat tergantung kepada manusianya sendiri. 

Dekadensi Moral Sebagai Pengaruh Negatif Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 
Manusia yaitu makhluk yang tidak pernah merasa puas dengan segala sesuatu yang sudah dicapainya. Kepuasan mereka bersifat sementara. Manusia selalu ingin memperoleh sesuatu yang lebih daripada apa yang sudah dicapainya. Oleh lantaran alasan itu pula, maka insan membutuhkan pembangunan yang bersifat bersinambungan atau berkelanjutan (Bintarto, 1991: 1). Demi akselerasi pembangunan dan hasilhasilnya yang seringkali dimaknai spesialuntuk secara kuantitatif, maka insan memanfaatkan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi modernnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin tidak terbatas didasari oleh perkembangan intelektual insan yang terjadi terus menerus untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Apakah memang insan akan mencapai kebahagiaan dengan ilmu pengetahuannya? Ini ialah pertanyaan normatif yang sifatnya relatif. Apakah juga penemuan-penemuan teknologi gres sebagai terapan ilmu pengetahuan sanggup bermanfaa bagi kebahagiaan insan ataukah sebaliknya akan mengakibatkan suatu bencana? Di sinilah letak pokok permasalahannya, lantaran ilmu pengetahuan dan teknologi tidak spesialuntuk menjanjikan kegampangan bagi kehidupan manusia, ia juga mempersembahkan bahaya bagi kehidupan dan menurunnya nilai-nilai moral insan itu sendiri apabila ia tidak bisa dikelola dengan baik. Ilmu pengetahuan dan teknologi memang mempunyai dampak positif dan negatif, ibarat terekam dalam Skema 1: Filterisasi Budaya Asing. Dalam sketsa tersebut digambarkan bahwa budaya aneh yang salah satu aspeknya yaitu berupa teknologi dan tentunya sebelumnya masih berupa ilmu pengetahuan, mempunyai dampak positif dan negatif bagi kepribadian bangsa Indonesia. 

Digambarkan pula apabila bisa dikelola dengan baik, maka dampak negatifnya sanggup dihilangkan, sehingga yang tertinggal spesialuntuk dampak positif bagi kepribadian bangsa Indonesia. Menurut Hamami dan Wibisono (1986: 130), ilmu pengetahuan dengan teknologi modernnya sudah mengakibatkan rasionalisasi dan sekularisasi dalam kehidupan bermasyarakat yang berujung kepada hancurnya nilai-nilai sakral-etis yang selama ini dijadikan panutan hidup, hilangnya kewibawaan orang tua, pemimpin-pemimpin masyarakat, forum pendidikan dan agama, mengakibatkan timbulnya ‘pencemaran mental’. melaluiataubersamaini pujian kepada ilmu pengetahuan dan teknologi modernnya, insan menaklukkan alam lingkungannya dan memeras kekayaannya. Padahal kekayaan alam ada batasnya yang akan habis bila terus menerus diperas. Ilmu pengetahuan dan teknologi sering kali kebablasan dengan tidak spesialuntuk memanipulasi kekayaan alam namun juga insan itu sendiri. Hal ini tentu menghasilkan bermacam-macam duduk kasus etis pada kasus-kasus ibarat aborsi, eutanasia, teknologi penundaan kematian, pencemaran lingkungan, kloning, dan lain sebagainya (Adian, 2002: 163). Skema 1: Filterisasi Budaya Asing Sumber: Bintarto, 1994: 30 Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ‘para aparaturnya’ pembangunan juga sering kali memunculkan pengaruh-pengaruh negatif sebagai diberikut: menurunnya aspek moral dari sebagian rakyat. Mabadunga kita membaca surat kabar atau mendengar diberita sanggup dipastikan ada diberita pembunuhan, perampokan, penipuan, pemerasan, dan sebagainya yang kita ketemukan; menurunnya nilai-nilai budaya terutama terkena moral dan sikap orangnya. 

Terkadang kita membaca dalam Budaya Asing Teknologi Pendidikan Ideologi Film, dll. Lembaga Formal Pemerintah Universitas, dll. Filter Formal Departemen dan Instansi Pemerintah Pengaruh Negatif Sumber Pemerintah Universitas Masyarakat Budaya Nsnal Pribadi Bangsa Indonesia Lembaga Non-Formal Masyarakat Keluarga, dll. Filter NonFormal Badan Non Pemerintah Pengaruh Positif Pengaruh Positif diberita surat kabar atau melihat tayangan televisi yang memdiberitakan adanya seorang kakek yang mencumbui cucunya, dan incest antara saudara sekandung (Bintarto, 1991: 7-8). Satu hal penting yang perlu dicatat bahwa sudah semenjak dari tahaptahap pertama pertumbuhannya ilmu pengetahuan dipertalikan dengan tujuan yang keliru. Ilmu pengetahuan tidak saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga digunakan untuk memerangi sesama insan dan menguasai mereka. Tidak saja bermacam-macam senjata pembunuh sudah berhasil dikembangkan namun juga banyak sekali metode penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu pengetahuan sering kali melupakan faktor manusianya, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun juga justru sebaliknya dimana manusialah hasilnya yang harus beradaptasi dengan teknologi. 

Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai masukana yang mempersembahkan kegampangan bagi kehidupan insan melainkan beliau berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang terkadang harus dibayar mahal oleh insan yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya (Suriasumantri, 1998: 229-231). Padahal ilmu pengetahuan dan teknologi sesungguhnya bertujuan untuk mempergampang insan dalam menjalani kehidupannya, namun kelihatannya yang terjadi malah tidak sama. Manusia kesusahan untuk meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada jalur tujuannya dengan benar. Manusia kelihatan bukan lagi pemilik dan pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi hamba dari keduanya. Dewasa ini, ilmu pengetahuan bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang bisa untuk mensugesti reproduksi dan penciptaan insan itu sendiri. 

Ilmu pengetahuan bukan saja mengakibatkan tanda-tanda dehumanisasi namun bahkan kemungkinan untuk mengubah hakikat Filsafat sebagai Perisai 51 kemanusiaan itu sendiri, atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan bukan lagi ialah masukana yang memmenolong insan untuk mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan untuk mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan bukan lagi ialah masukana yang memmenolong insan mencapai tujuan hidupnya, melainkan juga ikut membuat tujuan hidup itu sendiri (Suriasumantri, 1998: 231). Menghadapi kenyataan ibarat ini, berdasarkan Suriasumantri (1998: 231-232), ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: Untuk apa sesungguhnya ilmu pengetahuan itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini terang tidak ialah urgensi bagi ilmuwan-ilmuwan masa lalu, namun menjadi penting bagi para ilmuwan yang hidup pada masa kini. Dan untuk menjawaban pertanyaan ini, maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral. 

Perisai dalam Wujud Tanggung Jawab Etis Ilmuwan Bintarto (1994: 40) pernah menuturkan sebuah kutipan yang diambilnya dari Ensiklopedi Indonesia terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve bahwa ‘intisari dari filsafat yaitu cara berfikir berdasarkan kebijaksanaan dengan bebas sedalam-dalamnya hingga ke dasar persoalannya’. Sementara itu, insan terdorong untuk menemukan suatu orientasi hidup yang sanggup mempersembahkan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilakunya. Orientasi ini yaitu filsafat dalam bentuknya yang masih pra-ilmiah. Filsafat bersifat universal lantaran objek kajiannya berkaitan erat dengan seluruh kenyataan (realitas). melaluiataubersamaini kata lain, pandangan filsafat terhadap segala sesuatu ditempatkan pada latar belakang arti seluruh realitas manusia. Apabila diadaptasi dengan objek kajiannya, maka filsafat sanggup mencakup beberapa cabang, ibarat filsafat manusia, filsafat pengetahuan, filsafat ketuhanan, dan sebagainya (Bintarto, 1994: 40). Ketika masalah dekadensi moral yang menjadi objek kajian dalam filsafat, maka cabang filsafatnya yaitu filsafat moral atau etika. Selain itu, lantaran dekandensi moral sendiri dalam goresan pena ini ditelisik sebagai dampak negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka cabang filsafat lainnya yang terkait filsafat ilmu pengetahuan, terutama potongan aksiologinya. 

Ilmu pengetahuan dan teknologi ialah hasil karya ilmuwan secara individual yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Peranan ilmuwan inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan bisa mengubah wajah peradaban. Kreativitas ilmuwan yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan sangat efektif . Menurut Conny R Semiawan dkk. (1998: 118) dalam membuatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang ilmuwan harus mempunyai kepekaan dan tanggung balasan besar terhadap pelbagai konsekuensi etis ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebab dialah satusatunya orang yang sanggup mengikuti dari erat perkembanganperkembangan yang konkret. Namun memang seorang ilmuwan sesungguhnya tidak sanggup berbuat banyak untuk mencegah penyalahgunaan hasil penemuannya. Manusia sepertinya tetap cenderung untuk membuat pedang yang bermata dua, yaitu satu digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan, mata yang lain digunakan untuk menhadirkan kerusakan. Tanggung balasan etis bukanlah berkeinginan untuk mencampuri atau bahkan ‘menghancurkan’ otonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bahkan sanggup sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, yang sekaligus akan lebih memperkukuh keberadaan insan (Zubair, 2002: 49-50).  

Tanggung balasan etis yang dipikul seorang ilmuwan bukan saja lantaran beliau yaitu anggota masyarakat yang kepentingannya terlibat secara eksklusif di masyarakat namun yang lebih penting yaitu lantaran beliau mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung balasan supaya produk keilmuan hingga dan sanggup dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk mengulas ruang lingkup yang menjadi tanggung balasan etis seorang ilmuwan, maka hal ini sanggup dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Sering terdengar bahwa ilmu pengetahuan beserta teknologinya itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang mempersembahkan nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu pengetahuan dan teknologi itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, tiruana itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan (Suriasumantri, 1998: 239). Bebas nilai dalam ilmu pengetahuan ialah suatu masalah yang melibatkan duduk kasus filosofis, yakni aksiologi (nilai/value). 

Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki insan untuk melaksanakan pelbagai pertimbangan terkena apa yang dinilai dan apa yang seharusnya dinilai. Nilai dalam pengertian ini yaitu suatu evaluasi yang dilakukan oleh ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya. Penilaian sanggup muncul dari orang lain, forum pendidikan, agama, dan juga dari dalam diri ilmuwan sendiri terhadap apa yang sudah dihasilkannya. Bebas nilaikah atau tidak bebas nilaikah kegiatan ilmiah yang sudah dihasilkan seorang ilmuwan? Selama ia masih berada dalam ruang kerja ilmiahnya (seperti laboratorium), maka ia masih mencicipi adanya bebas nilai. Ia tetap sanggup memusatkan perhatian pada kegiatan ilmiahnya tanpa memperoleh halangan dari banyak sekali unsur luar. Namun, apabila sudah keluar dari ruang kerja ilmiahnya kedalam masyarakat, maka hasil kerjanya berupa ilmu dan teknologi akan diuji oleh pandangan-pandangan masyarakat, lembaga, atau pun agama. Hasil kerjanya diuji apakah sudah sesuai dengan peraturan pemerintah, norma adat, dan sebagainya. Ilmuwan dengan hasil karya ilmiah menjadi tidak bebas nilai (Budianto, 2002: 103). Sebagai teladan menarikdanunik yaitu masalah kloning terhadap manusia. 

Ketika ilmuwan berada dalam ruang kerjanya, ia mungkin bisa bekerja secara idealis tanpa sesuatu nilai pun yang akan mengaturnya. Akan tetapi, apabila hasil kerjanya disosialisasikan, maka akan terjadi kegemparan. Akan terjadi pro dan kontra. Hasil kerja ilmiah tersebut akan berhadapan banyak nilai yang ada dalam masyarakat. Kloning insan akan dipandang sebagai kegiatan yang bukan saja mengarah kepada dekadensi moral, namun juga dehumanisasi. Untuk memperjelas masalah bebas nilai dan tidak bebas nilai di atas sanggup dilihat pada Skema 2: Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai dalam Penelitian Ilmiah. Dalam sketsa tersebut digambarkan bahwa bagaimanapun ilmuwan selalu berhadapan dengan pandanganpandangan hidup yang terdapat di dalam masyarakat, ibarat adat istiadat dan agama. Pada masalah ibarat di atas, maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperatif. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk sanggup menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh alasannya yaitu itu, beliau mempunyai kewajiban untuk memberikan hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang sanggup mereka cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat bersikap ekstrim. Pada satu pihak mereka bisu lantaran ketidaktahuan mereka, sedangkan di pihak lain mereka bersikap radikal dan irasional. Tanggung balasan seorang ilmuwan dalam hal ini yaitu mempersembahkan perspektif yang benar: untung dan ruginya, baik dan buruknya; sehingga penyelesaian yang adil sanggup dimungkinkan (Suriasumantri, 1998: 239-241). Filsafat sebagai Perisai 55 Skema 2: Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai dalam Penelitian Ilmiah Sumber: Budianto, 2002: 104 Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu gres akan timbul yang disebabkan proses yang kini sedang berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan hadir? Sekiranya tidak maka apakah yang harus kita lakukan? Kerugian apakah yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak dilakukan? Demikianlah pertanyaan yang serupa sanggup dikemukakan dalam banyak sekali bidang. 

Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif dari objek permasalah yang sedang menjadi sentra perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan sanggup dipergunakan untuk mengubah kegiatan non-produktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaa bagi masyarakat banyak (Suriasumantri, 1998: 241). Penelitian Penerapan di masyarakat Nilai-nilai: adat istiadat, agama, ideolgi Hasil penelitian Tidak bebas nilai Bebas nilai Hasil penelitian Teoritis Singkatnya, dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus sanggup mensugesti opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, tidak sama dengan menghadapi masyarakat ilmuwan yang elitis, beliau harus berbicara dengan bahasa yang sanggup dicerna oleh orang awam. Untuk itu maka beliau bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya. 

Penutup 
Penulis menemukan sebuah kutipan menarikdanunik dalam buku Pengantar Filsafat karya Louis O Kattsoff. Dalam bahasa analogis, Kattsof (2004: 3) mengambarkan bahwa meskipun filsafat ‘tidak membuat roti’, namun filsafat sanggup menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungkunya pada waktu yang tepat. Filsafat berperan untuk mengumpulkan pengetahuan insan sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur tiruana itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa insan kepada pemahaman, dan pemahaman membawa insan kepada tindakan yang lebih layak. Suatu kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi sudah banyak berjasa untuk memmenolong insan dalam kehidupan kesehariannya. Akan tetapi, yaitu suatu kenyataan yang tidak sanggup diabaikan begitu saja pula adanya dampak negatif dari keduanya berupa menurunnya atau bahkan hancurnya nilai-nilai moral. melaluiataubersamaini kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga kuat negatif pada terjadinya dekadensi moral. Pengaruh negatif yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak seharusnya membuat insan pesimis bahkan mengalah terhadap perkembangan tersebut. Manusia tidak seharusnya spesialuntuk mengbuntut kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dan menjadi budak Filsafat sebagai Perisai 57 keduanya. Ilmu pengetahuan dan teknologilah yang seharusnya berada di tangan insan atau berada di bawah kendali manusia. Kemampuan berpikir dan diberimajinasi insan dalam wujud ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sanggup dihentikan, dibendung, atau dimatikan, namun barangkali sanggup dikontrol supaya tidak kebablasan. Manusia harus bertanggung balasan terhadap apa yang sudah diperbuatnya. Tanggung balasan bukan saja dalam arti normatif, namun juga dalam arti kedudukan insan itu di antara manusia-manusia lain. Berbicara terkena tanggung balasan secara tidak eksklusif berbicara terkena insan yang mempraktikkannya, menerapkan, dan memakai ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Jari telunjuk kita dengan mudah menunjuk kepada oknum yang terkait eksklusif dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni para ilmuwan. Para ilmuwan memang mempunyai tanggung balasan etis untuk mengarahkan supaya perjalanan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap pada ‘orbitnya’. Mereka harus berusaha untuk menemukan suatu orientasi hidup yang sanggup mempersembahkan arah dan pegangan bagi perbuatan serta sikap dirinya pribadi dan masyarakat kebanyakan. 

Daftar Pustaka 
  • Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume hingga Thomas Kuhn. Jakarta: 
  • Teraju. Bintarto, R 1991. Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Ekologis. Yogyakarta: Panitia Seminar Regional SEMA-FPIPS-IKIP 994. Ekologi Manusia IL-614:
  •  Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Budianto, Irmayanti M 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Teknik Kerja Ilmiah. Jakarta: 
  • Widya Sastra. Gensler, Harry J 1998. Ethics: A Contemporary Introduction. London and New York. Hamami, Abbas dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. 
  • Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty. Kattsof, Louis O 2004. Elements of Philosophy atau Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 
  •  Muhni, Djuretna A Imam. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius. Semiawan, Conny R dkk. 1998. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suriasumantri, Jujun S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: 
  • Pustaka Sinar Harapan. Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI

LihatTutupKomentar