-->
Eksistensi Pendidikan Anak Usia Dini (Paud) Di Indonesia
Indonesia pada tahun 1990, sudah menanhadirani sebuah Deklarasi Dunia wacana Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand. Deklarasi ini menjadi akad bersama, untuk menyediakan pendidikan dasar yang berkarakter dan non diskriminatif, di masing-masing negara. Realisasi deklarasi tersebut juga sekaligus adalah upaya untuk memenuhi Hak Pendidikan (sesuai pasal 26 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM, bahwa "Setiap orang berhak memeproleh pendidikan. Pendidikan harus Cuma-Cuma, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar.Pendidikan dasar diharapkan untuk menjaga perdamaian.")

Pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan sebuah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional, yang menjamin hak atas "pendidikan dasar" bagi masyarakat negara berusia tujuh hingga lima belas tahun. Namun, pendidikan untuk anak yang berusia dibawah tujuh tahun tidak dimasukkan sebagai pendidikan dasar.Padahal, istilah pendidikan dasar seharusnya mulai berlaku mulai anak berusia 0-18 tahun. Hal ini sesuai dengan usia golden age atau keemasan anak, yaitu usia 0-9 tahun. Sedangkan berdasarkan Konvensi Anak, yang disebut anak yaitu yang berusia 0-18 tahun. Kaprikornus seharusnya UU terkena Sistem Pendidikan Nasional tersebut mengakomodir usia anak dari umur 0-18 tahun tersebut. 

Salah satu pemenuhan hak pendidikan semenjak dini pada usia 3-5 tahun yang kemudian dilakukan masyarakat dan pemerintah yaitu kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Didalam pelaksanaannya, setiap kelurahan yang ada di Indonesia didorong untuk mempunyai minimal satu PAUD. PAUD adalah alternatif pemenuhan hak pendidikan selain Taman Kanak-Kanak (TK) atau Taman Pendidikan Alqur'an (TPA).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2005, PAUD termasuk dalam jenis pendidikan Non Formal. Pendidikan Non Formal selain PAUD yaitu Tempat Penitipan Anak (TPA), Play Group dan PAUD Sejenis. PAUD sejenis artinya PAUD yang diselenggarakan bersama dengan kegiatan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu untuk kesehatan ibu dan anak). Sedangkan pada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), PAUD dimasukkan kedalam kegiatan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Pada penyelenggaraan PAUD, jenis pendidikan ini tidak memakai kurikulum baku dari Depdiknas, melainkan memakai rencana pengajaran yang disebut Menu Besar. Menu Besar ini mencakup beberapa aspek pendidikan etika dan nilai keagamaan, fisik/motorik, bahasa, sosial-emosional dan seni. Panduan dalam Menu Besar ini akan dikembangkan oleh tiap PAUD, berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing PAUD.

Selain tidak memakai kurikulum baku, PAUD juga ditujukan untuk kalangan ekonomi miskin. Karena biasanya PAUD tidak menarikdanunik iuran sekolah atau menarikdanunik iuran dengan jumlah yang sangat kecil. Hal ini untuk memenuhi hak pendidikan anak, mendapat pendidikan dasar secara cuma-cuma (Pasal 31 Konvensi Hak Anak).

Namun di beberapa PAUD, setelah berjalan dengan tidak adanya penarikan biaya, dikarenakan biaya operasional biasanya adalah pinjaman dari aneka macam pihak di masyarakat, ternyata mengalami beberapa kendala. Misalnya pinjaman yang didapat spesialuntuk sanggup memenuhi materi berguru anakdidik, namun hal lain menyerupai gaji para pendidik tidak sanggup terpenuhi. Padahal, para pengajar PAUD seringkali memerlukan uang transport untuk menjangkau PAUD yang dibina. Selain itu, para orangtua anakdidik juga meminta adanya rekreasi bersama atau pemakaian baju seragam. Dan untuk kebutuhan menyerupai ini, PAUD seringkali tidak mempunyai dana. Kemudian, beberapa PAUD jadinya menarikdanunik iuran sekolah. Tentunya iuran ini tidak bisa besar jumlahnya, alasannya para anakdidik PAUD berasal dari keluarga miskin. Rata-rata mereka mengeluarkan sekitar 1000 perhari (dengan jam berguru spesialuntuk 2-3 kali seminggu) atau 10.000 per bulan.

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional terutama Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah (PLS), bahwasanya sudah menyediakan dana untuk operasional PAUD. Namun dana yang ada ternyata tidak mencukupi kebutuhan operasional seluruh PAUD. Akhirnya dilakukan secara bergilir, pengguliran dana tersebut, dengan cara mengajukan proposal.

Dari problem pembiayaan yang terjadi di PAUD tersebut, apabila berdasarkan DUHAM Pasal 26 tadi, maka akan terjadi kontradiksi. Pemenuhan hak pendidikan seharusnya gratis, namun kenyataannya belum bisa gratis. Bahwa untuk memenuhi hak pendidikan secara penuh, ternyata masih diharapkan biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Sebetulnya, problem menyerupai itu tidak harus terjadi jikalau pemerintah melaksanakan upaya-upaya pemenuhan hak pendidikan dengan terbaik.

Pertama, pemerintah seharusnya memasukkan PAUD berusia dibawah 7 tahun sebagai suatu pendidikan dasar, yang harus dipenuhi pada wargguagaranya, sehingga PAUD menjadi salah satu prioritas pemenuhan pendidikan dasar sesuai UU yang berlaku. Kedua, anggaran pendidikan tersendiri, tidak disatukan dengan anggaran kesehatan dan jumlahnya seharusnya terbesar dari pengeluaran negara lainnya didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketiga, dialokasikannya anggaran pendidikan yang terbesar jumlahnya dari pengeluaran kawasan lainnya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keempat, pengumpulan dana pajak atau retribusi dari perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah PAUD, yang dilakukan oleh pemerintah setempat contohnya tiap kelurahan atau desa, yang dipergunakan terutama untuk pembiayaan pendidikan dasar, baik PAUD, TK, TPA, SD, MI hingga tingkat SMP. Dan yang terakhir, pengumpulan dana swadaya masyarakat, baik dilakukan oleh LSM atau masyarakat sendiri, terutama di tujukan untuk pemenuhan pendidikan bagi masyarakatnya sendiri.

melaluiataubersamaini adanya kerjasama, tugas serta dan kejujuran tiruana pihak, untuk mencerdaskan bangsa, terutama anak-anak, maka hak pendidikan tingkat dasar sanggup dipenuhi secara terbaik. Kita pun sanggup melihat anak-anak, dari keluarga manapun, terutama keluarga miskin, terpenuhi hak pendidikannya. Pada tingkat selanjutnya, pendidikan yang berkarakter kemudian sanggup menjadi rencana bersama, setelah hak pendidikan tingkat dasar tersebut terpenuhi.

Sumber :  http://paud.kemdikbud.go.id/

LihatTutupKomentar