Pengantar
Dakwah pada hakikatnya yakni suatu perjuangan orang diberiman untuk mewujudkan Islam dalam tiruana segi kehidupan baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, maupu umat dan bangsa. Sebagai aktualisasi iman, dakwah ialah keharusan dan menjadi kiprah suci bagi setiap muslim setingkat dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki. Usaha mewujudkan keyakinan dan islam ini sanggup dilakukan dengan banyak sekali cara antara lain : melalui penyiaran Islam (Tabligh), pembudayaan nilai-nilai Islam (al-amr bi al ma’ruf) dan kontrol sosial (al nahy ‘an al munkar). Keteladanan sikap (uswah hasanah), serta melalui pengembangan pendidikan (al ta’lim wa al tarbiyah) yang sesuai dengan visi-visi dan harapan Islam.
Selama ini, penulis melihat pendidikan Islam selain masih memakai metode tradisional juga dikotomis. Pola pendidikan menyerupai ini, hemat penulis tidak memadai lagi untuk merespon perkembangan masyarakat yang sangat dinamis. Dakwah melalui pendidikan, harus dilakukan dengan membuatkan sistem pendidikan integralistik yang memadukan antara imtak (Iman dan Takwa) dan iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), pendidikan bernilai dakwah bila pendidikan itu sanggup mengantar akseptor didik menjadi orang-orang yang benar secara aqidah dan ibadah, serta besar lengan berkuasa secara ekonomi, politik dan iptek.
Beberapa universitas Islam sudah mencoba membuatkan sistem ini, termasuk Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), penulis menyambut baik IAIN Jakarta di bawah pimpinan Prof. DR. Azyumardi Azra dikembangkan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Transformasi IAIN menjadi UIN dilakukan dalam rangka pengembangan integrasi ilmu dan agama ini secara lebih baik dan konsepsional.
Kekuatan Iptek
Hampir menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern yakni ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek ialah dasar dan pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat kini ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa itu terhadap iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan mempunyai keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan membuatkan Iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi kini ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.
Diakui bahwa iptek, disatu sisi sudah mempersembahkan “berkah” dan anugrah yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek sudah menhadirkan “petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek sudah mengakibatkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat mempunyai daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya sudah mengakibatkan pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
Di Eropa, semenjak masa pertengahan, timbul konflik antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (gereja). Dalam konflik ini sains keluar sebagai pemenang, dan semenjak itu sains melepaskan diri dari kontrol dan imbas agama, serta membangun daerahnya sendiri secara otonom. Dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat, terutama sepanjang masa XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi “agama baru” atau “agama tiruan” (Psaedo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat timbul mazhab gres yang dinamakan “saintisme” dalam arti bahwa sains sudah menjadi isme, ideologi bahkan agama baru.
Namun semenjak pertengahan masa XX, terutama setelah terjadi penyalahgunaan iptek dalam perang dunia I dan perang dunia II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya integrasi ilmu dan agama, iptek dan imtak. Pembicaraan tentang iptek mulai dikaitkan dengan moral dan agama sampai kini (ingat perkara kloning misalnya). Dalam kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral (agama) diharapkan bukan spesialuntuk pada aspek penerapannya saja (aksiologi), tapi juga pada pilihan objek (ontologi) dan metodologi (epistomologi)-nya sekaligus.
Latar Belakang Perlunya Integrasi Imtak dan Iptek
Di negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini sudah usang digulirkan. Profesor B.J. Habibie, yakni orang pertama yang menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain lantaran adanya dilema dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan Ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita sepertinya berjalan sendiri, tanpa pertolongan asas keyakinan dan takwa yang kuat, sehingga dikawatirkan pengemabnagn dan kemajuan iptek tidak mempunyai nilai tambah dan tidak mempersembahkan manfaat yang cukup berarrti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Kekhawatiran ini, cukup beralasan, lantaran sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup bisa menghasilkan insan Indonesia yang diberiman dan bertakwa kepada Allah SWT, sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti aspek pendidikan turut menyumbang dan mempersembahkan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan terkena raport merah pendidikan nasional kita.
Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diharapkan lantaran empat alasan.
Pertama, sebagaimana sudah dikemukakan, iptek akan mempersembahkan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat insan bila iptek disertai oleh asas keyakinan dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya tanpa asas imtak, iptek biasa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek sanggup mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek spesialuntuk absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, sudah mengakibatkan contoh dan gaya hidup gres yang bersifat sekularistik, materialistik dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, insan tidak spesialuntuk memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani) tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh lantaran itu, pengutamaan pada salah satunya spesialuntuk akan menimbulkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kecerdikan Tuhan yang sudah membuat insan dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan batin, dunia dan akherat.
Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar paling besar lengan berkuasa yang akan mengantar insan menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi menyerupai harta, pangkat, iptek dan keturunan tidak akan bisa alias gagal mengantar insan meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam tiruana itu, tanpa keyakinan dan upaya mencari ridha Tuhan, spesialuntuk akan menghasikan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan tiruan (Q.S. An-nur: 39). Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang sempurna sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan sanggup mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan alam abadi (hasanah fi al-akhirah) menyerupai do’a yang setiap ketika kita panjatkan kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah:201)
Menuju Integrasi Imtak dan Iptek
Untuk membangun sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal diberikut ini, yaitu:
1) Filsafat dan orientasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia),
2) Tujuan Pendidikan,
3) Filsafat ilmu pengetahuan (Episemologi), dan
4) Pendekatan dan metode pembelajaran.
Dalam filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan semcam ini mengandung banyak kelemahan. Selain sanggup timbul degradasi (penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami sebagai transfer of knowledge semata dengan spesialuntuk menyentuh satu aspek saja, aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata dengan mengabaikan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) akseptor didik. melaluiataubersamaini filosofi menyerupai itu, akseptor didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melakukan fungsi dasarnya sebagai wahanan pemberdayaan insan dan peningkatan harkat dan martabat insan dalam arti yang sebenar-benarnya.
Berbicara filsafat pendidikan, mau tidak mau, kita harus membicarakan pula tentang filsafat manusia, soalnya, proses pendidikan itu dilakukan oleh insan dan untuk insan pula. Pendeknya, pendidikan melibatkan insan baik sebagai subjek maupun objek sekaligus. Tanpa mengenal siapa insan itu sebenarnya, proses pendidikan, akan selalu menemui kegagalan menyerupai yang selama ini terjadi.
Manusia dalam pandangan Islam, yakni puncak dari ciptaan Tuhan (Q.S. At-Thiin:4), makhluk yang dimuliakan oleh Allah dan dilebihkan dibanding makhluk lain (Q.S. Al-Isra), ialah makhluk yang dipercaya oleh Tuhan sebagai Khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30, Shad: 36), insan dibekali oleh Allah potensi-potensi baik berupa panca indera, logika pikiran (rasio), hati (Qalb), dan sanubari (Q.S As-Sajadh: 9). melaluiataubersamaini demikian, insan yakni makhluk rasional dan emosional, makhluk jasmani dan rohani sekaligus.
Bertolak dari filsafat insan ini, maka pendidikan tidak lain harus dipahami sebagai ikhtiar insan yang dilakukan secara sadar untuk menumbuhkan potensi-potensi baik yang dimiliki insan sehingga ia bisa dan sanggup mempertanggung jawabankan eksistensi dan kehadirannya di muka bumi. Dalam perspektif ini, yakni pendidikan insan seutuhnya, dan harus diarahkan pada pembentukan kesadaran dan kepribadian manusia. Disinilah, nilai-nilai budaya dan agama (imtak). Lalu, apa tujuan pendidikan itu? Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan tidak tidak sama dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu diberibadah kepada Allah SWT (Q.S. Al-Dzariyat: 56). melaluiataubersamaini kata lain, pendidikan harus membuat pribadi-pribadi muslim yang diberiman dan bertakwa kepada Allah SWT yang sanggup mengantar insan meraih kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Pendidkan Islam berorientasi pada penciptaan ilmuwan (ulama) yang takut bercampur kagum kepada kebemasukan Allah SWT (Q.S Fathir: 28), dan berorientasi pada penciptaan intelektual dengan kualifikasi sebagai Ulul Albab yang sanggup membuatkan kualitas pikir dan kualitas dzikir (imtaq dan iptek) sekaligus (Q.S. Ali Imran : 191-193).
Proses integrasi imtak dan iptek, menyerupai sudah disinggung di muka, pada hemat aku, harus pula dilakukan dalam tataran atau ranah metafisika keilmuan, khususnya menyangkut ontologi dan epistemologi ilmu. Ontologi ilmu mengambarkan apa yang sanggup diketahui manusia, sedang epistemologi mengambarkan bagaimana insan memperoleh pengetahuan itu dan dari mana sumbernya. Dikotomi keilmuan yang terjadi selama ini sesungguhnya bermula dari sini. Untuk itu integrasi imtak dan iptek, harus pula dimulai dari sini. Ini berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan imtak dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah SWT menyerupai banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer semcam Ismail Raji al-Faruqi, Prof. Naquib al Attas, Sayyed Hossein Nasr, dan belakangan Osman Bakar.
Selain pada aspek filsafat, orientasi, tujuan dan epistemologi pendidikan menyerupai sudah diuraikan di atas, integrasi imtak dan iptek itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan imtak pada hasilnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di banyak sekali sekolah maupun perguruan tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam di tiruana jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik, integralistik, dan fungsional.
melaluiataubersamaini pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan partikularistik. Pendidikan Islam sanggup mengikuti contoh Iman, Islam dan Ihsan, atau contoh Iman, Ibadah, dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak spesialuntuk melahirkan dan memperkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya “diberilmu amaliah dan berinfak ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, imtak dan iptek haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan Islam.
melaluiataubersamaini integralistik, pendidikan agama dihentikan terpisah dan dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus dikeluarkan dari sentra kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini berarti, berguru sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari berguru agama. Belajar sains ialah perintah Tuhan (Al-Qur’an), sama dan tidak tidak sama dengan berguru agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang seama ini spesialuntuk didiberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula didiberikan kepada kaum ilmuwan (Saintis) dan intelektual.
melaluiataubersamaini fungsional, pendidikan agama harus mempunyai kegunaan bagi kemashlahatan umat dan bisa menjawaban tantangan dan perkembangan zaman demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan untuk insan yang seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Sementara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama di tiruana jenjang pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan kecerdasan akseptor didik semata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu dilakukan dengan mempersembahkan pengutamaan pada aspek afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui pengalaman pribadi dan keteladanan sikap dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada ketika mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman praksis (al aql al amali) pemikiran teoritis bertugas mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran yang hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam paradigma ini, ilmu dan pengembangan imu tdak pernah bebas nilai, pengembangan iptek harus didiberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai imtak), sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti pengembangan iptek dihentikan dilepaskan dari imtak. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.