-->
Teori Karya Sastra Bentuk Prosa
KARYA SASTRA BENTUK PROSA
I. Roman, Novel, dan Cerpen
Karya sastra yang berbentuk prosa antara lain roman, novel, dan kisah pendek. Ada yang beropini bahwa ketiga bentuk tersebut dibedakan berdasarkan panjang pendeknya kisah (Saad, 1967), namun sesungguhnya tidaklah sesederhana itu lantaran persyaratan yang terang wacana hal ini belum ada. contohnya cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Orang-Orang Bloomington” karya Budi Darma, satu cerpen saja sanggup mencapai puluhan hamanan, sehingga memicu munculnya pertanyaan, “Benarkah karya sepanjang ini termasuk cerpen?”

Agaknya memang bukan jumlah kata atau halaman yang menjadi patokan, tetapi banyak/sedikitnya episode yang dijalin oleh pengarang untuk membangun alur cerita. Pada bentuk roman, tertuang episode kehidupan tokoh utama semenjak kecil hingga meninggal dunia. Kriteria lain yang menandai bentuk roman yaitu isi kisah yang cenderung melankolik, penyelesaian kisah yang seringkali nampak dipaksakan, cara penceritaan yang romantis, dan penerapan gaya bahasa yang berlebih-lebihan. Dalam khazanah sastra Indonesia antara lain kita mengenal roman “hukuman dan Sengsara” karya Merari Siregar dan “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli.

Bentuk novel adakala dianggap sama saja dengan bentuk roman, walaupun bekerjsama tidak sama. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang yang terdapat pada roman. Novel spesialuntuk menceritakan episode yang dianggap penting saja dari kehidupan tokoh utama, contohnya masa pintar balig cukup akal hingga berumah tangga, masa kanak-kanak hingga berkeluarga, masa berumah tangga, dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca (misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain).

Ditinjau dari banyaknya gagasan yang ingin disampaikan, cerpen ialah bentuk yang paling ringkas lantaran spesialuntuk terdiri dari satu gagasan utama saja. Kalaupun menceritakan beberapa tahap kehidupan yang dialami sang tokoh, maka hal itu biasanya dikemukakan secara singkat sebagai latar belakang terjadinya konflik cerita.

II. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yaitu unsur yang membangun karya sastra dari dalam, mirip tema dan amanat, alur, karakterisasi, setting, serta point of view. Aspek-aspek tersebut keberadaannya menempel pada karya sastra, menjadi kepingan yang sangat penting dan mutlak ada.
1. Tema 
Tujuan pengarang dalam membuat karya sastra, bukan semata-mata ingin memberikan ‘jalan cerita’, melainkan ada konsep aliran tertentu yang hendak dikemukakannya. Pokok pikiran, ide, atau gagasan yang mendasari karangan itulah yang disebut tema.

Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya sastra yang bersifat didaktis yaitu perperihalan antara nilai baik - buruk, contohnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras dan sebagainya.

1.1 Perwujudan Tema
Tema kisah adakala ditetapkan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya, sehingga pembaca praktis memahami. Dari membaca judulnya saja, contohnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan lain-lain, dengan praktis pembaca sanggup menebak kawanya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak tiruana judul memberikan tema cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, contohnya Layar Terkembang, Belenggu dan lain-lain. melaluiataubersamaini demikian, untuk menggali tema kisah tidak selalu praktis lantaran banyak pula yang bersifat implisit (tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih lampau seluruh kisah dengan tekun dan cermat.

ARTI, PENGERTIAN, SEJARAH DAN TEORI SASTRA
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=5928615348049670284;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=98;src=link

Penyampaian tema adakala didukung oleh pelukisan latar, alur, dan penokohan. Tema bahkan sanggup menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam alur. Pada umumnya tema demikian dominan, sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan banyak sekali unsur yang bantu-membantu membangun karya sastra dan menjadi motif tindakan tokoh. Sebagai referensi dalam cerpen Nama karya Putu Wijaya, tema kepemimpinan yang dipaparkan merasuki hampir pada setiap unsur karya tersebut. Karakter tokoh-tokohnya terbangun lantaran adanya persepsi yang tidak sama-beda wacana kepemimpinan, konflik kisah dan alurnya berpusat pada perkara tersebut, bahkan obrolan antartokoh pun mengungkapkan wacana kepemimpinan yang ialah tema cerpen ini.

1.2 Tema ‘Ringan’ – Tema ‘Berat’
Banyak orang beropini bahwa mutu karya sastra sanggup diukur dari ‘berat’ ‘enteng’-nya tema yang diemban. Ini kurang tepat, mengingat banyak kisah dengan tema yang sama, tetapi ternyata mempunyai bobot kesastraan yang tidak sama. Misalnya saja perkara cinta, keluarga, maupun usaha hidup, oleh pengarang tertentu sanggup digarap dan menghasilkan karya sastra yang berkarakter, sedangkan di tangan pengarang lain akhirnya belum tentu demikian. 

Dapat disimpulkan bahwa baik buruknya suatu karya tidak ditentukan oleh tema (karena gagasan yang sama sanggup menjadi tema berpuluh-puluh kisah yang baik, yang sedang, maupun yang buruk), namun ditentukan oleh mendalam tidaknya tema tersebut digarap. Karya yang berkarakter tidak spesialuntuk mengungkapkan jalinan peristiwa, melainkan mengetengahkan juga falsafah-falsafah kemanusiaan yang mendorong pembaca untuk berkontemplasi (Oemarjati, 1962 : 54 – 55). melaluiataubersamaini demikian, sambil menikmati karya sastra pembaca sekaligus menerima ‘makanan’ untuk perkembangan budinya, sehingga ia menjadi lebih arif dalam menyikapi kehidupan, baik terhadap sesama maupun dalam hubungannya dengan Tuhan.

Konflik kejiwaan yang menjadi tema novel Pulang karya Toha Mohtar misalnya, digarap dengan sangat mendalam. Tema tersebut terwujud melalui abjad Tamin, bekas Heiho yang sekembalinya dari Birma malah bergabung dengan tentara Sekutu lantaran ketidaktahuannya. Ketika pulang, ia disambut dengan kegembiraan yang mengharukan, namun perasaan bersalah sebagai pengkhianat - walaupun tak seorang pun masyarakat desa mengetahui hal itu - mendorongnya untuk ‘memmembuang’ diri meninggalkan desanya dengan membawa konflik yang mencabik-cabik batin.

1.3 Pengarang dan Pilihan Tema
Pada dasarnya pilihan tema tidak terbatas. Ada pengarang yang menggarap tema tidak sama-beda setiap kali membuat suatu karya, ada pula yang selalu hadir dengan tema-tema tertentu. 

Kecuali pilihan pribadi, beberapa faktor mempengaruhi pilihan tema, contohnya selera pembaca pada suatu masa, insiden politik maupun sosial yang terjadi, konvensi zaman, bahkan impian penerbit atau penguasa ikut menentukan. Itulah sebabnya pada tahun dua puluhan, ketika masyarakat sedang gencar berjuang melawan adab kawin paksa, maka karya sastra yang muncul kebanyakan wacana tema tersebut. Pada masa yang tidak sama, ketika politik bergolak, atau krisis ekonomi terjadi, atau ketika pemerintah ulet melancarkan kampanye pelestarian lingkungan, maka pilihan tema biasanya sejalan dengan peristiwa-peristiwa tersebut. 

Walaupun banyak pengarang yang mengangkat tema sesuai insiden atau kebutuhan zaman mirip sudah dijelaskan di atas, namun dari masa ke masa tema-tema umum wacana moral, keadilan, cinta, dan kemanusiaan juga selalu eksis dan digemari.

1.4 Menafsirkan Tema
Menemukan tema karya sastra tidak selalu gampang. Hal ini disebabkan seringkali terjadi kesentidakboleh antara makna muatan (tema yang nampak dalam suatu karya) dengan makna niatan (maksud pengarang). Penyebabnya mungkin pengarang udik menjabarkan tema yang dikehendakinya, sehingga yang tertangkap oleh pembaca tidak sama dengan maksud pengarang. Bisa juga lantaran hakekat karya sastra itu sendiri yang multi-interpretable, sehingga tiap-tiap pembaca mempunyai pendapat yang tidak sama. Perbedaan demikian masuk akal terjadi, yang penting tafsiran tersebut sanggup dipertanggungjawabankan dengan bukti-bukti besar lengan berkuasa yang diambil dari unsur-unsur karya yang bersangkutan. Jadi, penafsiran tema spesialuntuk boleh didasarkan pada aspek-aspek yang dikemukakan dalam kisah dan tidak dipaksakan dari luar.

Meskipun di atas sudah diuraikan bahwa perbedaan penafsiran dianggap wajar, harus dihindari penyimpangan yang terlalu jauh. Dalam menafsirkan tema, sedapat mungkin ‘tertangkap’ tema sentral/mayornya, sedangkan tema sampingan/ minor boleh dikemukakan sebagai aspek yang melengkapi.

Misalnya tema sentral Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini yaitu perkara emansipasi perempuan yang dimanifestasikan melalui tokoh Sri. Untuk memberikan tema tersebut pengarang mengungkapkannya melalui persoalan-persoalan dalam pernikahan, percintaan antartokoh, kegagalan berumah tangga dan sebagainya. Hal-hal itu yaitu tema sampingan/minor yang berfungsi membuatkan alur menuju tema sentralnya wacana emansipasi wanita.

misal lain Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka yang tema sentralnya wacana harkat dan martabat manusia. Tema tersebut dikemukakan oleh pengarangnya melalui permasalahan adab dan cinta. Jadi, walaupun dalam novel ini terdapat pemaparan wacana adab dan cinta, keduanya spesialuntuk ialah tema sampingan yang berfungsi sebagai masukana untuk mencapai tema sentral yang sesungguhnya. 

1.5 Tema dan Topik
Kecuali tema, kita juga mengenal istilah topik yang bersifat lebih khusus/konkret lantaran intinya ialah klasifikasi lebih lanjut dari tema. contohnya dari tema emansipasi wanita, sanggup diturunkan topik-topik mirip :
  • Kedudukan dan peluang bagi perempuan untuk membuatkan eksistensi belum sepenuhnya terbuka lebar.
  • Perlakuan yang tidak layak dari seorang suami kepada istrinya ialah pelecehan terhadap martabat wanita.
misal lain tema martabat insan yang diemban oleh novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, dijabarkan dalam topik ‘keadaan susah yang dialami seseorang, sanggup mengakibatkan ia rela kehilangan martabat’

Tema peperangan dalam cerpen Telinga karya Seno Aji Gumira, dijabarkan dalam topik ‘peperangan menimbulkan seseorang kehilangan rasa kemanusiaannya’

Tema karya sastra sanggup mencakup aspek kejiwaan manusia, aspek sosial, politik, adat-istiadat dan lain-lain, yang masing-masing sanggup lebih dikonkretkan menjadi topik yang bersifat lebih khusus.

2. Amanat
Amanat sering pula disebut pesan moral atau himbauan-himbauan yang terdapat dalam cerita. Pada masa lampau, pesan moral seringkali disampaikan oleh pengarang secara eksplisit, ekspresi dan langsung; tetapi di zaman modern ini agaknya cara mirip itu sudah jarang terjadi. Penulis-penulis kini lebih sering menyiratkan pesan secara implisit melalui sikap tokoh, terutama menjelang kisah berakhir. Teknik demikian kecuali menghilangkan kesan ‘menggurui’, juga memdiberi keleluasaan pada pembaca untuk mencari dan menemukan sendiri pesan moral suatu cerita.

Yang harus diingat, amanat mempunyai kaitan yang sangat erat dengan topik, bahkan mirip mata uang yang mempunyai dua sisi. Hal yang membedakan spesialuntuklah pada cara merumuskan. Perumusan topik berupa kalimat pernyataan, sedangkan perumusan amanat berupa kalimat perintah, masukan-masukan, dan himbauan-himbauan, mirip :
  • Sebagai masyarakat negara suatu bangsa, hendaknya kita ikut serta membuat perdamaian. Sedapat mungkin hindari peperangan lantaran peperangan sanggup mengikis rasa peri kemanusiaan.
  • Jangan menjadi insan yang sombong. Ingatlah, kesombongan ialah pertama kehancuran.
  • Kita harus mempunyai sifat rela berkorban, khususnya bagi teman dekat.
3. Plot/Alur
Marjorie Boulton (1984 : 75) mengibaratkan alur sebagai rangka di dalam badan insan yang berfungsi menopang badan semoga sanggup berdiri. Di dalam kisah rekaan, banyak sekali insiden disajikan dengan urutan tertentu. Rangkaian insiden itu membangun tulang punggung cerita, yaitu alur.

Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan, daerah menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu berdiri yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian sanggup dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan peristiwa-peristiwa suplemen yang membentuk alur bawahan atau pengisi jarak antara dua insiden utama.

Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi sebuah cerita, tetapi tidak berarti tiruana insiden dalam hidup tokoh ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan) ditinggalkan, sehingga sesungguhnya pengaluran selalu memperhatikan korelasi kausalitas/sebab-akibat Forster (1955 : 86) mengatakan, “We have defined as a narrative of events arranged in their time-sequence. A plot is also a narrative of events, the emphasis falling on causality. The time-sequence is preserved, but the sense of causality overshadows it.” 

Dari klarifikasi di atas sanggup disimpulkan definisi alur yaitu :
  • Pengaturan urutan insiden pembentuk kisah yang memberikan adanya korelasi kausalitas.
  • Memang, korelasi kausalitas ini tidak selalu segera tampak dalam sebuah novel yang tersusun rapi lantaran adakala tersembunyi di balik insiden yang meloncat-loncat, atau di dalam ucapan maupun sikap tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca harus sanggup menangkap korelasi kausalitas tersebut. Untuk itu pengarang yang baik spesialuntuk menampilkan lakuan dan cakapan yang bermakna bagi korelasi keseluruhan alur, lantaran jikalau banyak digresi (lanturan) sanggup mengalihkan perhatian pembaca dari insiden utama ke insiden pelengkap. 
3.1 Unsur-Unsur Alur :
v Awal :
  • Paparan (exposition) à Pengarang memberikan informasi sekedarnya kepada pembaca, contohnya memperkenalkan tokoh cerita, keadaannya, daerah tinggalnya, pekerjaannya, maupun kebiasaan-kebiasaannya.
  • Fungsi paparan untuk mempersembahkan informasi kepada pembaca semoga sanggup mengikuti kisahan selanjutnya dengan gampang. Harus diingat bahwa situasi yang digambarkan pada kepingan pertama alur, hendaknya membuka kemungkinan bagi pengembangan kisah dan memancing rasa ingin tahu pembaca akan kelanjutan cerita.
  • Rangsangan (inciting moment) à Peristiwa yang mengpertamai timbulnya gawatan, contohnya dengan kemunculan seorang tokoh gres yang berlaku sebagai katalisator, atau suatu insiden yang merusak keadaan yang pada mulanya selaras (Sudjiman, 1986 : 39).
  • Gawatan (rising action) à Munculnya perkara antara tokoh utama dengan sesuatu (bisa perkara dengan tokoh lain, diri sendiri, nilai-nilai, lingkungan, dan lain-lain) sebagai kelanjutan dari kepingan rangsangan.
v Tengah :
  • Tikaian (conflict) à Perkembangan perkara menjadi pertikaian/perselisihan antara dua kekuatan yang berperihalan.
  • Rumitan (complication) à Perselisihan yang semakin meruncing.
  • Klimaks à Perselisihan/rumitan yang mencapai puncaknya.
v Akhir :
  • Leraian (falling action) à Perkembangan insiden ke arah selesaian. Di sini nampak titik terang pemecahan masalah, yaitu perselisihan yang tadinya sudah mencapai titik gawat, berangsur-angsur surut dan nampak ada jalan keluarnya. Dalam hal ini ada kalanya diturunkan deus ex machina, yaitu orang atau barang yang muncul tiba-tiba dan mempersembahkan pemecahan (Sudjiman 1986 : 19)
  • Selesaian (denouement) à Bagian final atau epilog cerita. Selesaian sanggup melegakan (happy ending), sanggup menyedihkan (unhappy end/sad ending), sanggup pula menggantung tanpa pemecahan.
Unsur-unsur alur tersebut dikemas sedemikian rupa oleh pengarang, sehingga kisah yang dikemukakan mempengaruhi perasaan pembaca. Untuk itu pengarang selalu memasukkan aspek tegangan/suspence (ketidakpastian yang kian menjadi-jadi), regangan/toppings (proses penambahan ketegangan emosional), dan susutan/droppings (proses pengurangan ketegangan emosional). Sarana yang dipakai untuk membuat tegangan antara lain :
  • melaluiataubersamaini metode sorot balik/alih balik, yaitu jikalau urutan kronologis suatu kisah disela dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya (Sudjiman, 1986 : 3). Sorot balik ini sanggup berupa lamunan si tokoh yang mengingat masa lalu, sanggup pula dalam bentuk mimpi, maupun obrolan antar tokoh.melaluiataubersamaini metode padahan/foreshadowing, yaitu pengarang memasukkan butir-butir kisah yang memdiberi bayangan akan terjadinya sesuatu, sehingga seperti mempersiapkan insiden yang akan hadir.
3.2 Teknik Penyajian Alur :
v Linear à Peristiwa-peristiwa dalam kisah yang disampaikan secara berurutan/ kronologis.
  • Ab ovo/alur maju/alur lurus : Cerita dipertamai dengan insiden pertama dalam urutan waktu terjadinya, yaitu pengarang memaparkan eksistensi tokoh utamanya lebih lampau sebelum tokoh tersebut berlakuan (misalnya pada ‘Hikayat Hang Tuah’). 
  • In medias res/alur mundur/alur flash back : Sejak pertama cerita, para tokoh sudah eksklusif berlakuan. Keberadaan si tokoh dipaparkan secara bertahap, baik dalam insiden pertama maupun insiden lanjutan (misalnya pada ‘Belenggu’). 
Cerita rekaan yang dipertamai dengan in medias res biasanya menggunakan sejumlah sorot balik.
v Gabungan à Alur maju dan mundur yang dipakai secara bantu-membantu dalam sebuah cerita.

4. Karakterisasi/Perwatakan
Karakterisasi/perwatakan yaitu cara pengarang menggambarkan watak/sifat tokoh cerita. Ada dua macam karakterisasi, yaitu secara eksklusif dan tak langsung. Disebut karakterisasi eksklusif apabila pengarang secara eksklusif sebut tabiat tokoh-tokoh cerita, contohnya : Rini yaitu seorang gadis yang amat sombong. 

Dari referensi di atas nampak bahwa penulis sebut tabiat tokoh Rini secara langsung. Ini tidak sama dengan karakterisasi tak eksklusif yang menggambarkan tabiat tokoh melalui pendeskripsian tingkah laris dan pemikiran-pemikiran si tokoh. misal : Sejak pindah di sekolah itu Rini tak pernah bergaul dengan kawan-kawannya. Bagi Rini, siswa-siswi di sekolah barunya kurang ‘level’. 

Pada masa lampau, pengarang biasanya menggambarkan tabiat tokoh kisah secara statis, tidak berubah dari pertama hingga final cerita. Tokoh yang jahat (Datuk Maringgih dalam “Siti Nurbaya” misalnya), tak pernah bertobat dan tak pernah menjadi baik. Sebaliknya tokoh yang baik digambarkan sangat tepat dari pertama hingga kisah selesai. Karakterisasi mirip ini disebut perwatakan tetap (the flat character). 

Dewasa ini nampaknya pengarang lebih adil. Watak tokoh kisah digambarkan sangat manusiawi dan sanggup berubah. Tokoh yang baik suatu ketika sanggup bermetamorfosis jahat, demikian pula sebaliknya. Karakterisasi demikian disebut perwatakan bundar (the around character). 

Sehubungan dengan pokok bahasan ini ada baiknya dibicarakan pula pengertian tokoh protagonis, antagonis, confidant, dan figuran.

Protagonis : Tokoh utama kisah yang berperan sebagai pencetus cerita. Tokoh inilah yang pertama-tama menghadapi perkara dan terlibat dalam kesuliatan. Biasanya pembaca berempati pada tokoh ini.

Antagonis : Tokoh utama yang berperan sebagai penghalang tokoh protagonis. Tokoh ini ialah lawan protagonis, sehingga karakternya sanggup jadi membuat pembaca jengkel.

Confidant : Tokoh confidant mempunyai tugas sebagai tokoh pemmenolong yang menjadi kepercayaan protagonis dan atau antagonis. Lewat tokoh ini pembaca sanggup mengenal tabiat dan niat-niat tokoh utama dengan lebih baik. 

Figuran : Tokoh tambahan yang kiprahnya tidak penting bagi keutuhan tema cerita. Figuran dihadirkan untuk membuat suasana semoga kisah lebih hidup. (Tokoh ini lebih sering muncul dalam drama atau film daripada dalam cerpen, novel, maupun roman).

4. Setting/Latar
Yang dimaksud latar/setting yaitu waktu, tempat, dan suasana yang terdapat dalam cerita, contohnya :
  • v zaman penjajahan, masa resesi ekonomi, suatu malam, tahun 2000, dan lain-lain (setting waktu)
  • v di rumah, di kebun, di medan perang, di Indonesia, di stasiun, dan lain-lain (setting tempat)
  • v mengharukan, sedih, mencekam, penuh kegembiraan, mengerikan, dan sebagainya (setting suasana)
5. Point of View/Sudut Pandang Cerita
Point of view menyangkut metode penceritaan, yaitu melalui tokoh siapa pengarang mengisahkan ceritanya. Pengarang sanggup menceritakan melalui tokoh ‘aku’/’aku’, sanggup pula menggunakan tokoh ‘dia’, ‘mereka’, atau seseorang dengan nama tertentu. Berdasarkan hal tersebut kita mengenal beberapa macam point of view.

6.1 Point of View Orang Pertama
Pengarang menggunakan tokoh ‘aku’ sebagai penutur cerita, sehingga seperti kisah yang dituangkan yaitu pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan menganggap tokoh ‘aku’ dalam kisah sebagai gambararan pribadi pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak sanggup dipertanggungjawabankan kebenarannya.

Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor yaitu kisah dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘aku’; sedangkan sudut pandang orang pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang). Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘aku’ spesialuntuk sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama.

6.2 Point of View Orang Ketiga
Tokoh utama kisah dengan point of view ini yaitu ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang sanggup bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), sanggup pula mendudukkan diri di luar kisah (objective point of view). 

Pada kisah dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia sanggup mengemukakan perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran pelaku cerita. Pengarang juga sanggup mengomentari kelakuan para tokoh cerita, bahkan sanggup bicara eksklusif dengan pembacanya. Karya sastra usang umumnya menggunakan metode point of view ini.

misal :
Sejak insiden itu hatinya sangat sedih, bahkan sudah mendekati rasa putus asa. Jika tidak takut mati, ia niscaya sudah bunuh diri. Sebenarnya ia berharap Amel mau mengerti dan memdiberinya support, tapi yang terjadi Amel malah meninggalkannya.

Pada kisah dengan objective point of view, pengarang semata-mata menyuguhkan “pandangan mata”. Ia spesialuntuk menceritakan yang sanggup ditangkap oleh indera penglihatan dan indera pendengaran saja. Hal-hal yang tidak sanggup dilihat dan didengar, contohnya jalan pikiran tokoh, keinginannya, bunyi hatinya, ataupun perasaannya tidak diungkapkan.

misal :
Tak henti-hentinya ia menangis. Sesekali ia mengepalkan tangan, memukul-mukul dada sendiri, dan sesekali diberikutnya ia menjerit histeris sambil menarikdanunik-narik rambutnya. Tiba-tiba ia menghampiri sekaleng obat serangga. Ia mengangkat kaleng itu sambil memejamkan mata, kemudian menempelkannya di bibir. Air mata makin deras mengalir dan dadanya terguncang-guncang oleh isak tangis. Sesudah beberapa saat, tiba-tiba… diletakkannya kembali kaleng obat serangga itu.

LihatTutupKomentar