-->
Pengertian Ta’Aruf Dan Proses Khithbah
Pengertian Ta’aruf dan Proses Khithbah
Keinginan untuk sanggup saling mengenal satu sama lain antara seorang ikhwan dan akhwat lantaran adanya rasa ketertarikan ialah salah satu manifestasi (penampakan) dari adanya naluri melestarikan keturunan (gharizatu an-naw’) pada diri seseorang yang muncul lantaran sudah terjadinya interaksi diantara mereka baik secara pribadi maupun tidak langsung. Keingintahuan seorang ikhwan terhadap seorang akhwat atau sebaliknya, terkadang bisa mendorong seseorang untuk melaksanakan upaya ’pedekate’. Mulai dari sekedar ingin tahu namanya, nomor HP/ telponnya, bahkan bisa lebih jauh dari sekedar itu.

Tentunya bagi seorang muslim, salah satu penampakan gharizatu an-naw’ ini tetap memerlukan adanya pemahaman dan penyikapan yang terbaik, lantaran tidak ada jaminan bahwa seorang yang dijuluki sebagai aktifis dakwah sekalipun sanggup dengan praktis menempatkan harapan tersebut secara masuk akal apalagi saat tanda-tanda ini terus-menerus menjangkiti dirinya. Sehingga tidakboleh heran apabila dalam hari-hari yang dilaluinya tiruanla selalu nampak ceria, diberikutnya mendadak malah menjadi muram saat ia selalu teringat kepada seseorang yang ingin dikenalnya namun orang tersebut tak kunjung jua mendekatinya. Jangan heran pula, bila dalam hari-hari yang tiruanla terasa mendung, mendadak menjadi hari yang cerah-ceria saat seseorang yang selalu mampir dalam ingatannya itu tiba-tiba berkirim sms, e-mail atau sekedar menitipkan salam baginya melalui seorang teman bersahabat J. Tentu kalau sudah begini bisa lebih repot urusannya bila tanda-tanda yang menjangkiti mereka berdua tidak segera mendapat therapy yang syar’i, yaitu segera melaksanakan khithbah. Khithbah dilakukan semoga harapan untuk mengenal (ta’aruf) seseorang satu sama lainnya secara lebih jauh sanggup dilakukan dalam batasan-batasan dan untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan oleh syara’.

Dalam melaksanakan proses khithbah (meminang) maka tujuan yang hendak dicapai dalam proses ini yaitu semoga dimilikinya keyakinan yang berpengaruh bagi kedua belah pihak untuk sanggup menetapkan perilaku apakah segera melanjutkan pada ijab kabul atau bahkan segera menghentikan (membatalkan) khithbah tersebut. Makara mengkhitbah bukan sekedar ingin saling kenal tanpa memahami tujuan yang seharusnya dicapai atau bahkan malah melaksanakan hal-hal yang sanggup menjerumuskan kepada maksiat. Keputusan yang diambil oleh kedua belah pihak, baik untuk segera berkeluarga ataupun segera membatalkan khithbah, ialah keputusan yang harus didasarkan pada adanya alasan-alasan syar’i yang sudah difahami dengan terang dan diyakini oleh keduanya.

Keputusan untuk segera berkeluarga boleh disahkan oleh keduanya apabila sudah merasa cukup saling mengenal dan memahami satu sama lain serta adanya kesiapan yang matang dari banyak sekali hal yang menunjang pelaksanaan pernikahan. Sedangkan keputusan semoga sebaiknya khithbah dibatalkan, sanggup disahkan oleh kedua belah pihak apabila satu sama lain saling merasa tidak ada kecocokan atau lantaran adanya hambatan-hambatan lain yang membuat keduanya bersepakat untuk membatalkan khithbah. Adapun banyak sekali argumen dan gosip yang menguatkan kedua belah pihak untuk sanggup menetapkan suatu keputusan (aqad nikah atau khithbah dibatalkan) sanggup diperoleh dengan cara dilakukannya proses saling mengenal dan memahami (ta’aruf) tersebut terlebih lampau terhadap satu sama lainnya sesuai dengan cara-cara yang ma’ruf pula. 

Oleh lantaran itu pemahaman terkena ta’aruf juga ialah hal yang penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan terutama bagi mereka yang akan dan sedang dalam menjalani proses khithbah. Sebab dalam praktiknya ada juga perkara dimana sepasang Hamba ﷲﺍ SWT yang sebelumnya saling mempunyai perasaan menyukai, menyayangi atau menyayangi satu sama lain kemudian menetapkan untuk menjalani proses khithbah. Namun di tengah-tengah jalannya proses tersebut, salah satu pihak membatalkannya tanpa didasari pada hujjah (argumen) yang syar’i (yang bersifat prinsip/pokok), contohnya lantaran alasan-alasan diberikut: 
  • sepertinya saya sudah merasa bosan dengan beliau (kalau terjadi ibarat ini, mungkin sebelumnya bisa jadi sudah melaksanakan pelanggaran syari’at dalam menjalani khithbah, sehingga berani mengungkapkan kata ‘bosan’)’
  • aku melihat beliau bukan calon pasangan yang setia, buktinya kemarin saya lihat beliau naik becak bersama seorang laki-laki! (padahal ikhwan itu yaitu tukang becaknya, lantaran mustahil akhwat yang mengayuh becaknya sendiri J)’
  • aku benci dengan dia, lantaran waktu kemarin bertemu di jalan beliau tidak menyapa saya sama sekali (padahal mungkin saja beliau sedang buru-buru sehingga tidak sadar bahwa yang berpapasan dengannya yaitu kita)’, ataupun 
  • Dia sudah tidak perhatian lagi, masa kalau disms membalasnya satu jam kemudian (padahal mungkin saja pulsanya habis, hpnya tertinggal, sedang sibuk/terpulas, dsb).
Berbagai argumen di atas ialah hal-hal sederhana, namun bisa menjadi hal-hal yang rumit dan besar saat dipolitisasi oleh hawa nafsu serta tidak didasari oleh ilmu dan fikiran yang positif (khusnuzhan) dalam menyikapinya. Bahkan lantaran argumen di atas pula, suatu proses khithbah bisa jadi awut-awutan alias batal. Padahal tindakan ibarat ini ialah kecerobohan yang dilakukan oleh seorang muslim yang lebih terdorong oleh sentimen emosional ketimbang oleh kejernihan fikiran dan hatinya, sehingga ia tidak sanggup mengidentifikasi, memahami dan menuntaskan permasalahan tersebut dengan seharusnya saat tidak bisa saling mengenal dan memahami satu sama lain secara syar’i. Di sinilah kedewasaan berfikir dan bersikap dari kedua insan yang akan mengarungi kehidupan berumah tangga mulai dituntut semoga sanggup berperan nyata.

Pengertian Ta’aruf
Berta’aruf artinya berupaya untuk sanggup saling mengenal dan memahami satu sama lain baik untuk keperluan yang umum maupun keperluan yang khusus dengan cara-cara yang ma’ruf (sesuai syari’at). Aktifitas berta’aruf terjadi lantaran memang ﷲﺍ SWT membuat insan antara satu sama lainnya dengan saling mempunyai perbedaan semoga sanggup saling mengenal pula. ﷲﺍ SWT berfirman:

’Dan diantara tanda-tanda (kebemasukan)-nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui’ (TQS. Ar-Ruum [30]:24)




’Hai insan bekerjsama kami sudah membuat kalian dari seorang laki-laki dan seorang wanita, kemudian menimbulkan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku semoga kalian saling mengenal’ (TQS. Al-Hujurat [49]:13)

Berdasarkan ayat di atas, maka aktifitas saling mengenal antara seorang insan dengan yang lainnya ialah aktifitas yang lumrah dilakukan lantaran fitrah insan memang diciptakan saling tidak sama-beda. Sebagai seorang muslim, aba-aba kita dalam menjalani kehidupan umum yaitu kita diperintahkan oleh ﷲﺍ Swt untuk sanggup saling mengenal, bahkan dianjurkan pula saling mengikatkan silaturrahim dan berbuat kebaikan terhadap satu sama lain yang tiruananya dilakukan dalam rangka ketaatan kepada ﷲﺍ Swt. Dari nu’man bin basyir bahwa rasulullah Saw bersabda:

’Perumpamaan orang-orang mu’min dalam hal berkasih akung dan saling cinta-mencintai dan mengasihi diantara mereka yaitu ibarat satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan merasa sakit, maka seluruh anggota badan yang lain mencicipi sakit dengan tidak bisa pulas dan mencicipi demam (Mutafaq ’Alaih)’

Imam muslim meriwayatkan dari ’iyadh bin himar, ia berkata, saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:

’Penghuni syurga itu ada tiga golongan. Pertama, penguasa yang adil, suka bersedekah, dan sesuai (dengan syari’at). Kedua, orang yang penyayang, hatinya praktis terenyuh untuk memmenolong kerabat, serta berserah diri (kepada Alloh SWT). Ketiga, orang yang menjaga kesucian diri dan menimbulkan orang lain suci atas perlindungannya’

Jarir bin abdullah berkata bahwa rasulullah saw bersabda:
Alloh SWT tidak akan mempersembahkan rahmat kepada orang yang tidak menyayangi insan (HR. Muslim)

Sedangkan untuk keperluan yang khusus (khithbah), maka ta’aruf dilakukan untuk tujuan saling mengenal dan memahami banyak sekali karakter, kebiasaan, kondisi fisik, kesiapan materi/non-materi, dan sebagainya yang tiruananya dilakukan dalam rangka proses mempersiapkan sebuah rumah tangga. Sehingga berta’aruf dalam konteks ini bukan spesialuntuk sekedar mengenal nama dan wajah seseorang saja, tetapi boleh mengenal hal-hal lebih dari itu, asalkan tetap mengikuti ketentuan syari’at. Dari Jabir Bin ’Abdillah, Rasulullah Saw bersabda:
  • ’Apabila seseorang diantara engkau meminang seorang perempuan, bila ia sanggup melihat lebih lampau apa yang menjadi daya tarik untuk berkeluargainya, hendaklah ia melakukannya (HR. Abu Daud)’
  • Dari mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, kemudian Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
  • ’Sudahkah engkau melihatnya? Jawabnya ’belum’. Beliau bersabda:’lihatlah beliau terlebih lampau semoga nantinya engkau berdua sanggup hidup bersama lebih kekal (dalam keserasian berumah tangga). (HR. An-nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadits hasan)’
Dari Abu Umaid As-Sa’idi, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
’Bila seseorang diantara engkau meminang seorang perempuan, tidak berdosa ia melihatnya, asalkan melihatnya spesialuntuk untuk kepentingan meminang, sekalipun perempuan itu sendiri tidak tahu. (HR.Ahmad).’

Melihat seorang akhwat yang dikhithbah tentu bukan sekedar melihat fisiknya (kecantikannya) tetapi juga melihat banyak sekali hal (non-fisik) yang diharapkan untuk menguatkan keputusan menentukan akhwat tersebut ibarat karakter, kebiasaan, perangai, ketakwaannya dalam diberibadah, dan beberapa hal lainnya sehingga seorang ikhwan sanggup menyimpulkan bahwa ia ialah akhwat yang memang didambakan lantaran kesolehannya. Hal yang sama juga berlaku bagi seorang akhwat dalam menilai dan mempertimbangkan seorang ikhwan yang sedang mengkhithbahnya, sehingga sanggup disimpulkan ia yaitu seorang ikhwan yang cocok dengan harapan aku, lantaran saya menemukan kesolehannya.

melaluiataubersamaini demikian, berta’aruf sanggup difahami sebagai aktifitas yang boleh dilakukan oleh seorang muslim baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus. Namun, apabila ta’aruf dilakukan untuk keperluan khusus (khithbah), maka khithbahnya sendiri harus dilakukan terlebih lampau gres kemudian diperbolehkan untuk mengetahui secara lebih jauh sisi kehidupan seseorang yang dikehendaki menjadi calon pasangan hidupnya tersebut.

Sumber;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3714959385765567050#editor/target=post;postID=4138531832203518584;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link

LihatTutupKomentar