-->
Pengertian Hegemoni Budaya
HEGEMONI BUDAYA
Represi Politik Kekuasaan Pada Dunia Seni
A. Kebudayaan: Bagian Kehidupan Manusia
Kehadiran kebudayaan di atas dunia tidak lain yakni membangun kehidupan insan lebih bermakna. Salah satu penyangga kebudayaan tersebut yakni kesenian yang dianggap sebagai air telaga di ekspresi dominan kemarau, dalam arti kesenian bisa mempersembahkan kesejuakan bagi kehiduapan manusia. Joost Smiers (2009: 3) mengungkapkan bahwa kita cenderung menghargai gagasan bahwa seni menyajikan masa-masa terbaik dalam hidup kita—momen-momen harmonis, sangat bahagia, menghibur, ataupun momen-momen yang memperlihatkan peluang unik untuk melaksanakan refleksi. Umar Kayam dalam tia bukunya Seni Tradisi Masyarakat (1981), Tifa Budaya (1984), Perjalanan Budaya (1994) di antaranya mengulas seorang seniman senilukis Nyoman Mandra dari Desa Sanging, Kamasan, Bali. Seniman tersebut benar-benar mempersembahkan kesegaran bagi komunitas Banjar Sanging. Sesudah sang seniman menyelesaikan satu episode lukisannya, masyarakat di sekitarnya selalu meluangkan waktunya untuk melihat lukisan sejenak dengan menganggukkan kepala sambil mengucapkan beh, beh, beh. Ucapan ini biasa dilakukan masyarakat yang merasa komunitasnya sudah dipentaskan dalam satu periode lukisan yang tidak kontra, tetapi justru menjadi potongan dari kehidupan masyarakat yang menyanga kebudayaannya. Itulah citra bahwa kehadiran kebudayaan yakni mendukung kesegaran kehidupan insan sehari-hari, dan bukan menjadi momok dari kehidupan manusia. Apa yang dilakukan masyarakat Bali dalam hal ini masyarakat Kamasan yakni mengapresiasi atau menghormat sekaligus menikmati estetika budaya yang menopang potongan dari kehidupannya.

Aktivitas budaya yang dikerjakan oleh seniman Nyoman Mandra tidak tidak sama dengan kelompok seni kuda lumping di kawasan perengan Merapi Yogyakarta, yang sering dikenal dengan seni Jathilan. Ketika ia dipentaskan masyarakat dengan banyak sekali perhelatan, maka masyarakat di sekitarnya juga ikut larut menikmati pentas Jathilan. Masyarakat merasa ada yang kurang atau tidak mantab dalam hatinya, dikala mendengar musik Jathilan dari kejauhan tidak segera hadir ke tempat pentas.

Di kawasan Klaten juga berlaku demikian, dikala digelar pertun.jukan wayang kulit siang dan malam dalam rangka membersihkan desa ruahan setiap tahun. Kehadiran wayang kulit yakni wajib, artinya tidak sanggup ditiadakan atau diganti dengan jenis kesenian lain. Dalam hajatan ini, masyarakat sudah menganggap kehadiran wayang kulit sebagai naluri, yang artinya dari doloe hingga kini sudah begitu dan tidak pernah berubah. Ketika wayang kulit disajikan berbondong-bondong untuk ngaruhke (melihat dan menjenguk). Termasuk masyarakat yang sudah melaksanakan urban ke kota lain, meskipun jauh juga menyempatkan untuk pulang kampong melihat pertunjukan wayang kulit.

Apa yang dilakukan masyarakat tersebut yakni konfirmasi solidaritas (istilah Umar Kayam, 1984). Masyarakat merasa handarbeni (memiliki) untuk berkumpul bersama menengok kesenian yang menyangga kebudayaan masyarakat. Mereka seakan-akan ingin mengecek, apakah terjadi perubahan dalam kesenian itu. Jika terdapat perubahan tentu akan mengganggu kehidupan mereka. Tetapi masih mempersembahkan bantuan bagi mereka, maka masyarakat meng-ya-kan dengan mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda oke atas pertunjukan yang dilihatnya. melaluiataubersamaini demikian kehadiran kesenian itu lantaran didukung oleh masyarakat di sekitarnya, lantaran mempersembahkan bantuan kepada mereka. Itulah yang dimaksud bahwa kebudayaan masih menyatu dengan kehidupan insan (Radar Tanjung Banua, 2009). 

B. Hegemoni dalam Kesenian
Kehidupan seni yang tiruanla menyejukkan masyarakat pendukungnya tiba-tiba harus menghadapi tekanan (hegemoni) terutama dari pihak penguasa. Tulisan ini akan memahami satu pokok bahasan yaitu antara seni dan kekuasaan. Pemahaman ini menyangkut bentuk afiliasi antara seniman dengan penguasa (state). Aspek sub bidang kajian ini yakni pertunjukan wayang yang cukup mengental dengan kehidupan budaya masyarakat Jawa. Rezim Orde Baru dipandang sebagai negara berpengaruh (Fatah, 1994: 85-103) yang selalu sanggup memilih arah pertunjukan wayang kulit, dan sebagai keikutsertaannya untuk mencampuri pertunjukan wayang kulit, guna membangun basis kekuasaan negara melalui seni tradisional. Jika goresan pena ini sanggup dikembangkan lebih jauh, akan diketahui bagaimana negara (rezim Orde Baru) menanamkan politik kekuasaannya (hegemoni) (Surbakti, 1996: 36) lewat seni tradisional (Soedarsosno, 1987; Nugroho, 2003). 
Dalam kajian ini akan terlihat para dalang mendapatkan dan menyadari hegemoni negara (rezim Orde Baru) yang dipandang sebagai bentuk pendektean itu. Sebagai catatan, perlu diketahui bahwa rezim Orde Baru yakni negara otoriter-birokratik, yang didukung oleh kekuatan militer (Masso, 2002: 11-12). Negara yang berpengaruh akan simpel untuk memilih langkah-langkah hegemoni. 

Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut eugemonia, menyerupai sudah dipaparkan dalam Encyclpedia Britanica yang menceritakan prakteknya di Yunani, diterapkan untuk memperlihatkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual, menyerupai yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993: 73).

Pengertian hegemoni (Surbakti, 1996) di di era kini memperlihatkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu, yang bukan saja sebagai negara kota yang melaksanakan hegemoni terhadap negara–negara lain yang bekerjasama secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara pemimpin (Sperling, 2001: 389-425). Dalam konsep hegemoni yang dikemukakan Gramci gotong royong sanggup dielaborasi melalui penjelasannya dari wacana sebuah basis dari supremasi kelas, yakni bahwa supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan intelektual dan moral (Patria, 2003: 115-118). Di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukkan mereka, bahkan kalau perlu mempergunakan kekuatan senjata. Di lain pihak, sebuah kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial sanggup dan bahkan harus sudah menerapkan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi lebih banyak didominasi dikala beliau mempraktekkan kekuasaan, bahkan bila kelompok sosial itu sudah memegang kekuasaan penuh di tangannya, ia masih harus terus memimpin juga, atau selalu melaksanakan langkah-langkah untuk meabadikan kekuasaannya. 

Hal ini memperlihatkan suatu totalitas yang didukung oleh kesatuan dua konsep, yaitu kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Hubungan antara dua konsep menyiratkan tiga hal, yaitu: (1) dominasi dijalankan atas seluruh musuh, sedang bentuk kepemimpinannya dilakukan terhadap segenap sekutu-sekutunya, (2) kepemimpinan yakni prakondisi untuk menakhlukkan abdnegara negara, dan (3) sekali kekuasaan negara sanggup dicapai, dua aspek supremasi kelas, baik pengarahan maupun dominasi (hegemoni) sanggup dilanjutkan dengan simpel (Patria, 2003: 115-118).

Gramci juga sebut bahwa hegemoni yakni sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui prosedur konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Terdapat banyak sekali cara yang digunakan, contohnya melalui institusi yang ada di masyarakat yang memilih secara eksklusif atau tidak eksklusif struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Dari klarifikasi ini sanggup diketahui bahwa hegemoni intinya yakni upaya untuk menggiring orang semoga menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. 

Dalam konteks ini, Antonio Gramci merumuskan konsepnya yang merujuk pada pengertian wacana situasi sosial-politik, dalam terminologinya yang mana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Kemudian dominasi itu sendiri ialah konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah forum dan manifestasi perseorangan. Pengaruh ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan tiruana realitas sosial. melaluiataubersamaini demikian bahwa hegemoni selalu bekerjasama dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas ditaktor. Di samping itu, hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lain (Belamy, 1987). 

Gramsci juga melihat kenyataan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat kelompok yang memerintah dan yang diperintah. Persoalan bagi yang memerintah yakni bagaimana membuat kepatuhan dan meniadakan perlawanan dari yang diperintah. Jalan yang ditempuh Gramsci untuk mewujudkan hal itu yakni penguasa mempergunakan cara lewat dominasi atau penindasan dalam bentuk kekuatan (force) dan hegemoni yakni memegang kendali kepempimpinan intelektual dan moral yang diterima secara sukarela lewat kesadaran (Bellah, 1996: 43). 

melaluiataubersamaini klarifikasi wacana hegemoni ini terlihat bahwa rezim Orde Baru ialah pemerintah/negara berpengaruh yang mempunyai otoritas tertinggi, serta menjadi kekuatan penentu terhadap dinamika sosial-politik masyarakat. Negara benar-benar bisa memimpin dan mendominasi lapangan kekuasaan dalam banyak sekali bidang pembangunan dan kenegaraan. Sebagai negara dengan posisi kuat, memimpin, dan mendominasi akan simpel untuk memilih langkah-langkah hegemoni, guna melestarikan/memperpanjang kekuasaan. Salah satu cara yang dipakai negara untuk menghegemoni, di antaranya melalui institusi yang mempunyai dan memilih struktur kognitif di masyarakat, dalam hal ini yakni seni pewayangan. melaluiataubersamaini konsekwensi, para dalang sebagai kekuatan intelektual di masyarakat, dikendalikan negara untuk memberikan konsep, Ideologi, dan kekuasaan yang sudah ditata.

C. Tekanan Kekuasaan terhadap Kesenian
Aspek terpenting dari aliran Gramci wacana korelasi intelektual dan partai politik yakni bahwa ia menggambarkan kiprah khusus partai politik untuk mengartikulasikan hegemoni dari gerakan kelas pekerja. Intrumen terpenting untuk mengembangkan budaya proletariat yakni partai, yang mengintegrasikan intelektual secara kolektif. Menurut Gramci, partai harus terdiri dari tiga elemen, yaitu: 
  1. basis rakyat yang populer, 
  2. kepemimpinan, dan 
  3. elemen penengah (Patria, 2003; 164-165). 
Di dalam badan partai Golkar mencerminkan sebersit tiga hal pokok tersebut, lantaran partai ini dibangun melalui basis kerakyatan, didukung para aktor-aktor intelektual yang memadai (para pemimpin dan calon-calon pemimpin), dan ia menjadi perantara dari banyak sekali konflik politik, sosial, budaya yang sudah usang ada di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut Golkar seharusnya mempunyai basis kerakyatan yang semakin usang semakin berkembang, bukan semakin berkurang. Oleh karenanya untuk memperluas jumlah pendukung massa Golkar diharapkan media kesenian yang sudah mengental di masyarakat yaitu seni pewayangan. Hal tersebut dikarenakan seni pewayangan sangat bersahabat dengan masyarakat, terlebih masyarakat bawah. Oleh karenanya sangatlah tepat, kalau seni pewayangan dipakai untuk kampanye memperluas massa partai Golkar.

Seni pewayangan sudah usang dipergunakan untuk membangun komunikasi politik (Stamatov, 2002: 345-366). Menurutnya, semenjak berfungsi sebagai pembangkit semangat usaha pada masa kolonial, dan sebagai media kampanye partai politik dikala Orde Lama hingga Orde Baru. Kesenian ini ialah ekspresi sosial lantaran di dalam pertunjukannya sanggup dibangun gerakan politik untuk ditujukan kepada penonton. Hal ini disebabkan seni pewayangan sebagai teater terdapat spectacle social (Milleret, 1998, 237-244) untuk bereaksi di hadapan penonton. Sebagai ekspresi sosial, tentu seni pewayangan amat potensial untuk membangkitkan semangat bagi masyarakat luas (Fisher. 1999: 96-97). Oleh karenanya, kesenian ini akan menjadi instrumen hegemoni negara yang memadai. Seperti halnya sudah dibicarakan di atas, seni pewayangan di samping sebagai alat hegemoni, juga bisa dipergunakan sebagai alat resistensi terhadap negara (Wallace, 2001: 275-302). 

Ketika proses sosialisasi berjalan, ekspresi sosial seni pewayangan menanamkan perilaku dan orientasi kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat (Dawson, 1968). Demikian juga masyarakat akan memilih perilaku terhadap janji-janji dan kebijakan yang sudah digariskan oleh partai politik negara melalui media seni pewayangan, sehingga apa yang sudah diperjuangkan partai ini sanggup memenuhi banyak sekali kepentingan atau menampung kepentingan masyarakat secara (Powel, 1966). 

Sebagai ekspresi sosial yang bisa digarap menjadi instrumen hegemoni, seni pewayangan ialah wahana yang sangat ampuh dalam mengembangkan nilai-nilai atau ide-ide partai politik dan pembangunan. Peran dan fungsinya sangat dibutuhkan lantaran seni pewayangan ialah aktualisasi konsep kehidupan yang mengajarkan mentalitas dan moralitas. Melalui pertunjukannya, ia sanggup merubah diri insan yang menghayatinya, yaitu berupa pengembangan perilaku mental yang diharapkan dalam membangun negara. 

Oleh lantaran itu, sebagai ekspresi sosial, seni pewayangan tidak melulu untuk kampanye partai politik negara, akan tetapi lebih jauh pergelarannya tetap belanjut untuk mendukung program-program pembangunan yang dijalankan dan sesuai dengan misi negara (rezim Orde Baru). Hal ini tampak dari banyak sekali repertoar kisah seni pewayangan yang ditampilkan selama kejayaan negara di masa pemerintahan dan rezim Orde Baru, yang tidak saja berbau lakon-lakon kampanye menyerupai Pandawa Ringin, Ringin Kembar, Waringin Kencana, dan Semar Mbangun Gedung Kencana, akan tetapi juga bagaiman seni pewayangan menampilkan lakon-lakon lain namun di dalamnya terdapat pesan-pesan pembangunan lewat adegan gara-gara. Dalam adegan ini sering disuguhkan obrolan seputar penghijauan, kemembersihkanan, panca usaha tani, kadarkum, kamtibmas, saskampling, PKK, P4, modernisasi desa, lumbung desa, lesung jemangglung, dan sebagainya. Padahal kalau dicermati program-program yang sudah disebutkan itu di dalamnya tersirat adanya legitimasi kekuasaan negara, sedangkan masyarakat kadang kala kurang memahami. Bahkan sebaliknya masyarakat dibangun untuk merasa senang dan patuh terahadap program-program tadi yang diekspresikan lewat kesenian, yang tujuan balasannya yakni patuh terhadap negara. Dalam artian negara memperoleh jumlah pinjaman massa semakin banyak, atau paling tidak sanggup mempertahankan jumlah pinjaman massa, yang berarti pula negara sanggup memperlama waktu kekuasaannya. 

D. Kesimpulan
Telaah hegemoni budaya sebagai represi politik kekusaan pada dunia seni, yang dalam hal ini digambarkan hegemoni negara terhadap seni pewayangan akan terarah kalau harus melihat secara lurus pada ajuan Gramsci yang sebut bahwa hegemoni mempersembahkan definisi terhadap konsep politik dan konsekwensi pada kiprah yang harus diemban oleh partai politik (Grasmsci, 1976). Dalam hal ini partai politik harus bisa mengelola instrumen hegemoni untuk mengelabuhi masyarakat luas untuk menjadi patuh dan mau dikuasai oleh partai politik tersebut. Adapaun langkah-langkah yang diambil oleh partai politik sekaligus partai negara (partai Golkar) dalam kajian ini yakni mengelola seni pewayangan sebagai wadah ekspresi sosial dan interaksi antara negara dan rakyat. Sebelum wadah ini efektif dan memadai, maka instrumen itu (seni pewayangan) harus dihegemoni terlebih lampau, dalam artian bentuk kesenian tersebut beserta dalang dan komunitasnya harus ditakhlukkan, semoga tiruana pesan dan pendektean negara terhadap kesenian ini, benar-benar sanggup menjadi kuda emas (kendaraan politik yang anggun dan jitu).

Tentus saja seni pewayangan harus sanggup dikelola secermat mungkin, lantaran sosialisasi dan ekspresi kesenian ini tidak spesialuntuk sebatas dikala kampanye dijalankan, akan tetapi juga dikala acara kampanye selesai dan partai negara sudah menjadi pemenang dalam pemilihan umum. Melihat dari kenyataan ini, kiranya sangat tepatlah, sebagai alat hegemoni seni pewayangan itu diproduksi lantaran memuat suatu sifat dan makna pada konteks sosio-kultural masyarakat (Camus, 1998: xxix). .melaluiataubersamaini menghegemoni seni pewayangan, negara juga menerima legitimasi kekuasaan dari masyarakat (Budiman: 1997). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa dengan ekspresi kesenian sebagai alat hegemoni, negara mengharapkan dukungan, simpati, dan ketaatan masyarakat luas untuk tunduk dan patuh terhadap kekuasaan yang dipegang oleh negara. Praktek hegemoni budaya yang diterapkan negara menyerupai ini juga sudah terbukti dalam sejarah kerajaan di Nusantara, sebagaimana pernah dilakukan oleh Ken Arok (lewat karya Pararaton), Jayabaya (lewat karya Bharatayuda), Hayam Wuruk (lewat karya Bhineka Tunggal Ika), Sultan Agung (lewat karya sastragendhing), dan yang kemudian dipraktekkan lewat seni pertunjukan yakni Paku Buwono I (lewat tari bedhaya Ketawang), Paku Buwono X (lewat wayang gedhog), Hamengku Buwono I (lewat tari Lawung Ageng), dan Hamengku Buwono VII (lewat wayang wong). 

Praktek hegemoni budaya yang sudah disebutkan itu sanggup dipandang sebagai aplikasi praktek hegemoni dari sebuah aliran yang dilontarkan kaum Marxis (sebagaimana juga dianut Gramsci). Pemikiran kaum Marxis menyatakan bahwa kebudayaan yang ada dalam suatu masa ialah kebudayaan milik kelas yang sedang berkuasa. Mengacu pada aliran kaum Marxis, seni pewayangan dalam goresan pena ini menjadi kesenian milik kelas yang sedang berkuasa waktu itu, yaitu rezim Orde Baru. Sebagai bukti hampir seluruh dalang masuk dalam organisasi Pepadi, menyerupai sudah dibicarakan di depan. Setahu penulis, spesialuntuk seorang dalang berasal dari Klaten, yang hingga pemerintah Orde Baru runtuh tidak bersedia menjadi anggota organisasi Pepadi. melaluiataubersamaini demikian, ekspresi seni pewayangan yang terjadi yakni ekspresi kesenian yang dibangun oleh kelas penguasa. melaluiataubersamaini ini pula sanggup disimpulkan bahwa pemerintah dan rezim Orde Baru sanggup dipandang sebagai bentuk negara yang sudah sukses menghegemoni seni pewayangan. Para dalang mau mendapatkan hegemoni budaya yang diterapkan negara. Dampak hegemoni budaya yakni para dalang tidak melaksanakan resistensi atau gerakan perlawanan terhadap negara. Namun, masih perlu dipertanyakan apakah ada di antara para dalang angota organisasi Pepadi yang melaksanakan resistensi di masa rezim Orde Baru? Atau dengan pertanyaan lain berbunyi, adakah para dalang yang dihegemoni negara tetapi mengadakan perlawanan terhadap negara? Hal ini perlu menerima pengkajian dan penelitian lebih lanjut.

Daftar Pustaka
  • Billah, M.M. . 1996. “Good Gorvenance dan Kontrol Sosial Realitas dan Prospek”. Prisma, 8 Agustus, p. 43. 
  • Budiman, Arief. 1997. Teori Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia. Bandingkan juga dengan tulisan-tulisan.
  • Clifton, More Rick. 1998. “Hegemony, Agency, and dialectical tension in Ellul’s technological society”. Journal of Communication, Summer.
  • Camus, Albert. 1998. Seni, Politik, dan Pemberontakan. Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya.
  • Dawson, Richard E. and Kennet Prewitt. 1968. Political socialization. Boston: Little, Brown and Co.
  • Fatah, Eef Saefulloh. 1994. “Teori Negara dan Negara Orde Baru: Penjajakan melalui Poulatzas dan Evans”. Prisma 12, Desember.
  • Geldern, Robert Hein . 1982. The God King.. Terjemahan: Kekuasaan Raja Dewa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Giddens, Anthony dan David Held (ed.). 1987. Perdebatan Klasik dan Kontemporer terkena Kelompok, Kekuasaan dan Konflik. Terjemahan. Jakarta:Rajpertamai Press.
  • Gramsci, Antonio. 1976. Selections From The Prisson Notebooks, Quintin Hoare and Nowell Smith (ed.). New York: International Publisher, p. 275. 
  • Hendarto, Heru. 1993. “Mengenai Konsep Hegemoni Gramsci”, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Tim Redaksi Driyarkara. Jakarta: Gramedia. 
  • Masso, Ivan. 2002. “Why I Hate Our Official Art?” New statesman, January.
  • Moedjanto, G. 1994. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
  • Moffat, Alistair Can’t Afford An Opera Company”. New Statesman, March.
  • Moore, Rick Clifton. 1998. “Hegemony, Agency, and dialectical tension in Ellul’s technological society”. Journal of ,, Summer.
  • Nugroho, Sugeng. 2003. “Pertunjukan wayang Gedhog melaluiataubersamaini Berbagai Permasalahannya”. SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IX/02-03, Maret. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
  • Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp. 115-118.
  • Powel, G. Bingham. 1966. Comparative Politics Developmental Approach. Boston: Little, Brown and Co.
  • Soedarsono. 1987. Wayang Wong: The State Ritual in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Sperling, James. 2001. “Neither Hegemony Nor Dominance: Reconsidering German Power in Post Cold-war Europe”. British journal of Political Science, March.
  • Surbakti, Ramlan. 1996. “Suksesi atau Demokrasi?” Bestari, Universitas Negeri Malang, 
  • Wallace, Claire and Raimund Alt. 2001. “Youth Cultures Under authoritarian Regimes: The Case of The Swings against the Nazis”. Youth and Society, March.

LihatTutupKomentar