Pengertian Filsafat Pancasila
Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philein “ yang berarti cinta dan “sophia“ yang berarti kebijaksanaan. Kaprikornus filsafat berdasarkan asal katanya berarti cinta akan kebijaksanaan, atau menyayangi kebenaran/pengetahuan. Cinta dalam hal ini mempunyai arti yang seluas-luasnya, yang sanggup dikemukakan sebagai keinginan yang menggebu dan sungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan kebijaksanaan sanggup diartikan sebagai kebenaran yang sejati. Kaprikornus filsafat secara sederhana sanggup diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran yang sejati. Filsafat ialah Induk Ilmu pengetahuan. Menurut J. Gredt dalam bukunya “Elementa Philosophiae” Bahwa filsafat sebagai “Ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip mencari alasannya ialah musababnya yang terdalam”.
- Filsafat Pancasila Menurut Ruslan Abdulgani, bahwa Pancasila ialah filsafat negara yang lahir sebagai collectieve Ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai filsafat, lantaran Pancasila ialah hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita, kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan berdasarkan Notonagoro, Filsafat Pancasila memdiberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu wacana hakekat dari Pancasila.
- Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila Sebagai filsafat, Pancasila mempunyai karakteristik sistem filsafat tersendiri yang tidak sama dengan filsafat lainnya, yaitu antara lain : Sila-sila Pancasila ialah satu-kesatuan sistem yang lingkaran dan utuh (sebagai suatu totalitas). melaluiataubersamaini pengertian lain, apabila tidak lingkaran dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan Pancasila. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang lingkaran dan utuh itu sanggup digambarkan sebagai diberikut :
Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, 5
Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4, 5
Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5
Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3 dan mendasari dan menjiwai sila 5
Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3, 4
Pancasila sebagai suatu substansi, artinya unsur asli/permguan/primer Pancasila sebagai suatu yang ada mandiri, yang unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
Pancasila sebagai suatu realita, artinya ada dalam diri insan Indonesia dan masyarakatnya, sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
- Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles sanggup dijelaskan sebagai diberikut :
- Kausa Materialis, maksudnya alasannya ialah yang bekerjasama dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri.
- Kausa Formalis, maksudnya alasannya ialah yang bekerjasama dengan bentuknya, Pancasila yang ada dalam pembukaan Undang-Undang Dasar ’45 memenuhi syarat formal (kebenaran formal)
- Kausa Efisiensi, maksudnya aktivitas BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka.
- Kausa Finalis, maksudnya bekerjasama dengan tujuannya, tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Inti atau esensi sila-sila Pancasila mencakup :
- Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
- Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
- Satu, yaitu kesatuan mempunyai kepribadian sendiri
- Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
- Adil, yaitu mempersembahkan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya
- Hakikat Nilai-nilai Pancasila
Nilai ialah suatu ide atau konsep wacana apa yang seseorang pikirkan ialah hal yang penting dalam hidupnya. Nilai sanggup berada di dua tempat : kognitif dan afektif. Nilai ialah ide, bisa dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi (Sidney Simon, 1986). Nilai ialah hal yang terkandung dalam hati nurani insan yang lebih memdiberi dasar dan prinsip moral yang ialah standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi). Langkah-langkah pertama dari “nilai” ialah menyerupai halnya ide insan yang ialah potensi pokok human being. Nilai tidaklah tampak dalam dunia pengalaman. Dia faktual dalam jiwa manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan oleh Sidney B. Simon (1986) bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai ialah jawabanan yang jujur tapi benar dari pertanyaan “what you are really, really, really, want.”
Studi wacana nilai termasuk dalam ruang lingkup estetika dan etika. Estetika cenderung kepada studi dan justifikasi yang menyangkut wacana insan memikirkan keindahan, atau apa yang mereka senangi. Misalnya mempersoalkan atau menceritakan si rambut panjang, laki-laki pemakai anting-anting, nyanyian-nyanyian bising dan bentuk-bentuk seni lain. Sedangkan etika cenderung kepada studi dan justifikasi wacana aturan atau bagaimana insan berperilaku. Ungkapan etika sering timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang memperperihalkan antara benar salah, baik-buruk. Pada dasarnya studi wacana etika ialah pelajaran wacana moral yang secara pribadi ialah pemahaman wacana apa itu benar dan salah.
Bangsa Indonesia semenjak pertama mendirikan negara, berkonsensus untuk memegang dan menganut Pancasila sebagai sumber inspirasi, nilai dan moral bangsa. Konsensus bahwa Pancasila sebagai anutan untuk pengembangan nilai dan moral bangsa ini secara ilmiah filosofis ialah pemufakatan yang normatif. Secara epistemologikal bangsa Indonesia punya keyakinan bahwa nilai dan moral yang terpancar dari asas Pancasila ini sebagai suatu hasil sublimasi dan kritalisasi dari sistem nilai budaya bangsa dan agama yang ketiruananya bergerak vertikal dan horizontal serta dinamis dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya untuk mensinkronkan dasar filosofia-ideologi menjadi wujud jati diri bangsa yang faktual dan konsekuen secara aksiologikal bangsa dan negara Indonesia berkehendak untuk mengerti, menghayati, membudayakan dan melaksanakan Pancasila. Upaya ini dikembangkan melalui jalur keluarga, masyarakat dan sekolah.
Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonegoro untuk menggali nilai-nilai abstrak, hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pertama tolak pelaksanaannya yang berujud konsep pengamalan yang bersifat subyektif dan obyektif. Pengamalan secara obyektif ialah pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan aturan yang secara hierarkhis berupa pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang Organik dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Pengamalan secara subyektif ialah pengamalan yang dilakukan oleh insan individual, baik sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat masyarakat ataupun sebagai pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya berupa tingkah laris dan sikap dalam hidup sehari-hari.
Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat dan adil dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat insan Indonesia ialah untuk mempunyai sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi Kemanusiaan, berperi Kebangsaan, berperi Kerakyatan dan berperi Keadilan Sosial. Konsep Filsafat Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika Pancasila yang bercorak normatif. Ciri atau karakteristik berpikir filsafat adalah:
- sistematis,
- mendalam,
- mendasar,
- analitik,
- komprehensif,
- spekulatif,
- representatif,
- evaluatif
Cabang-cabang filsafat meliputi:
- Epistemologi (filsafat pengetahuan)
- Etika (filsafat moral)
- Estetika (filsafat seni)
- Metafisika (membicarakan wacana segala sesuatu dibalik yang ada)
- Politik (filsafat pemerintahan)
- Filsafat Agama
- Filsafat Ilmu
- Filsafat Pendidikan
- Filsafat hukum
- Filsafat Sejarah
- Filsafat Matematika
- Kosmologi (membicarakan wacana segala sesuatu yang ada yang teratur)
Aliran Filsafat mencakup :
- Rationalisme
- Stoisme
- Materialisme
- Idealisme
- Marxisme
- Utilitarianisme
- Positivisme
- Realisme
- Spiritualisme
- Eksistensialisme
- Liberalisme
- Hedonisme
KAJIAN ONTOLOGIS
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila sila Pancasila. Menurut Notonagoro hakekat dasar ontologis Pancasila ialah manusia. Mengapa ?, lantaran insan ialah subyek aturan pokok dari sila sila Pancasila. Hal ini sanggup dijelaskan bahwa yang berkeuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan indonesia, berkerakyatan yaang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakekatnya ialah insan (Kaelan, 2005).
Kaprikornus secara ontologis hakekat dasar keberadaan dari sila sila Pancasila ialah manusia. Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa insan sebagai pendukung pokok sila sila Pancasila secara ontologi mempunyai hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Juga sebagai makluk individu dan sosial serta kedudukan kodrat insan sebagai makluk pribadi dan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh lantaran itu, maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila sila Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya Pancasila secagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mempunyai susunan lima sila yang ialah suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makluk individu sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta kedudukannya sebagai makluk pribadi yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai nilai Pancasila yang ialah suatu kesatuan yang utuh yang mempunyai sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat insan yang monodualis tersebut.
Kemudian seluruh nilai nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai nilai Pancasila, menyerupai bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, kiprah dan kewajiban negara dan masyarakat negara, sistem aturan negara, moral negara dan segala sapek penyelenggaraan negara lainnya.
KAJIAN EPISTIMOLOGI
Kajian epistimologi filsafat pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan lantaran epistimologi ialah bidang filsafat yang mengulas hakekat ilmu pengetahuan (ilmu wacana ilmu). Kajian epistimologi Pancasila tidak sanggup dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh lantaran itu dasar epistimologis Pancasila sangat berkaitan akrab dengan konsep dasarnya wacana hakekat manusia.
Menurut Titus(1984: 20) terdapat tiga masalah yang mendasar dalam epistimologi yaitu :
- perihal sumber pengetahuan manusia;
- perihal teori kebenaran pengetahuan manusia;
- perihal tabiat pengetahuan manusia.
Epistimologi Pancasila sebagai suatu obyek kajian pengetahuan pada hakekatnya mencakup masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana sudah dipahami bersama ialah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila. Selanjutnya susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila mempunyai susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila ialah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana :
Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya
- Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
- Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima
- Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima
- Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah maka susunan Pancasila mempunyai sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga mennyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memdiberilandasan kebenaran pengetahuan insan yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakekatnya kedudukan dan kodratnya ialah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistimologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi. Selanjutnya kebenaran dan pengetahuan insan ialah suatu sintesa yang serasi antara potensi-potensi kejiwaan insan yaitu akal, rasa, dan kehendak insan untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu dalam sila ketiga, keempat dan kelinma, maka epistimologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakekat sifat kodrat insan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Sebagai suatu paham epistimologi, maka Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak bebas nilai lantaran harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat insan serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara epistimologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi remaja ini.
KAJIAN AKSIOLOGI
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya mengulas wacana nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan wacana Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat mempunyai satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga ialah suatu kesatuan. Selanjutnya aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita mengulas wacana filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat digunakan untuk merujuk pada ungkapan aneh yang sanggup juga diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melaksanakan evaluasi ( Frankena, 229).
Di dalam Dictionary of sociology an related sciences dikemukakan bahwa nilai ialah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarikdanunik minat seseorang atau kelompok. Kaprikornus nilai itu pada hakekatnya ialah sifat atau kualitas yang menempel pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang menempel pada sesuatu itu, misalnya; bunga itu indah, perbuatan itu baik. Indah dan baik ialah sifat atau kualitas yang menempel pada bunga dan perbuatan. melaluiataubersamaini demikian maka nilai itu bekerjsama ialah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu lantaran adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat banyak sekali macam teori wacana nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam memilih pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi ialah nilai material, sementara kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi ialah nilai kenikmatan. Namun dari banyak sekali macam pandangan wacana nilai sanggup dikelompokan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai lantaran berkaitan dengan subjek pemdiberi nilai yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektif, namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakekatnya sesuatu itu menempel pada dirinya sendiri memang bernilai. Hal ini ialah pandangan dari paham objektivisme.
Notonagoro merinci wacana nilai ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini insan mempunyai orientasi nilai yang tidak sama tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih simpel diukur memakai panca indra maupun alat pengukur. Tetapi nilai yang bersifat rohaniah susah diukur, tetapi sanggup juga dilakukan dengan hati nurani insan sebagai alat ukur yang dimenolong oleh cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan insan (Kaelan, 2005).
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. melaluiataubersamaini demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan serasi menyerupai nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sisttematik-hierarkhis, dimana sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari tiruana sila-sila Pancasila (Darmodihardjo, 1978).
Secara aksiologis, bangsa Indonesia ialah pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, mendapatkan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu sudah menggejala dalam sikap, tingkah laris dan perbuatan menusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus ialah pengembannya dalam sikap, tingkah laris dan perbuatan insan Indonesia.
FILSAFAT PANCASILA DALAM KONTEKS PKN
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakekatnya ialah suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, mendasar dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila ialah suatu nilai-nilai yang bersifat lingkaran dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila ialah suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan mempunyai makna sendiri-sendiri, melainkan mempunyai esensi serta makna yang utuh. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara ialah ialah suatu komplotan hidup insan atau organisasi kemasyarakatan, yang ialah masyarakat aturan (legal society).
Adapun negara yang didirikan oleh insan itu berdasarkan pada kodrat bahwa insan sebagai masyarakat negara sebagai komplotan hidup ialah berkedudukan kodrat insan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang ialah komplotan hidup insan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan martabat insan sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup insan harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu. Konsekuensinya dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat ialah asal mula kekuasaan negara. Maka negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, maka dalam hidup kenegaraan harus mewujjudkan jaminan pemberian bagi seluruh masyarakat, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh masyarakatnya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama/kehidupan (hakikat sila kelima)
DATA DAN FAKTA
Proses perumusan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sidang-sidang yang terjadi di BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945). Dalam sidang tersebut Mr. Muhammad Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
- Peri Kebangsaan,
- Peri Kemanusiaan,
- Ke-Tuhanan,
- Peri-kerakyatan :Permusyawaratan, Perwakilan, kebijaksanaan), dan
- Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial).
Sedangkan Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori negara sebagai diberikut:
- Teori negara perseorangan (individualitis),
- Paham negara kelas (class theory), dan
- Paham negara integralistik.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan falsafah negara Indonesia Soepomo mengusulkan :
- negara nasional yang bersatu,
- dianjurkan supaya masyarakat negara tunduk kepada Tuhan,
- dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibuat sistem tubuh permusyawaratan,
- ekonomi negara bersifat kekeluargaan, dan) terkena hubungan antar bangsa menganjurkan upaya-upaya Indonesia bersifat negara Asia Timur Raya.
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan dasar negara dalam lima prinsip dasar, yaitu:
- nasionalisme (kebangsaan Indonesia),
- internasionalisme (peri-kemanusiaan),
- mufakat (demokrasi),
- kesejahteraan sosial.
- ketuhanan yang berkebudayaan
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fukuyama, F. 1989, The End of History, dalam National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari Modernity and Its Future, H. 48, Polity Press, Cambridge.
Kaelan, 2005, Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa Negara Indonesia, Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewargguagaraan, Jakarta.
Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.
Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat Pancasila, Gramedia, Jakarta.
Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran tantang Pancasila, CSIS, Jakarta.
Suseno, Franz, Magnis, 1987, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Titus Harold, and Marilyn S., Smith, Richard T. Nolan, 1984, Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi, Penerbit