-->
Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik Berdasarkan Ahli
Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) yaitu “Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibentuk oleh tubuh atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132). Kebijakan publik ialah semacam jawabanan terhadap suatu kasus lantaran ialah upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur penemuan dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik yaitu pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan acara publik (Kencana, 1999:106).
Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bijaksana yang artinya: 
  1. selalu memakai nalar budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2) pintar dan ingat-ingat dalam menghadapi kesusahan (cermat; teliti). Pengertian kebijakan sendiri adalah; (1) kepandaian, keahlian; 
  2. rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar planning dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (perihal pemerintahan dan organisasi); penyertaan cita-cita, tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti negara atau pemerintah. Serangkaian pengertian tersebut diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik berdasarkan Santosa yaitu :
“Serangkaian keputusan yang dibentuk oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diharapkan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik mempunyai akibat-akibat yang bisa diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Naengkaura dan Smallwood dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :
  1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
  2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
  3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.
Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan publik yaitu :
“Serangkaian arahan dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Naengkaura, 1980:31).

Para pakar dalam memdiberi definisi kebijakan publik sering tidak sama sesuai dengan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam bukunya yang berjudul Understanding Public Policy mempersembahkan definisi kebijakan publik sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye menyampaikan bahwa apabila pemerintah menentukan untuk melaksanakan sesuatu maka harus ada tujuannya. Dan kebijakan publik harus mencakup tiruana tindakan pemerintah jadi bukan semata-mata ialah pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak dilakukan pemerintah juga ialah kebijakan publik lantaran mempunyai dampak yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan niscaya terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.

Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan yang bersifat publik dimana berdasarkan Schubert Jr. mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling tidak sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :
  1. Pandangan rasionalis yang menyampaikan kepentingan publik yaitu kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.
  2. Pandangan idealis menyampaikan kepentingan publik itu yaitu hal yang luhur, sehingga dihentikan direka-reka oleh manusia.
  3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik yaitu hasil kompromi dari pertarungan banyak sekali kelompok kepentingan.
(Dalam Fadillah, 2001:20-21).
melaluiataubersamaini melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus merefleksikan pada kenyataan riil kehidupan politik masyarakat modern, maksudnya masyarakat masyarakat modern yang ideal yaitu masyarakat yang bisa mengorganisir diri mereka sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.

2.1.1. Pengertian dan Tahap Formulasi Kebijakan
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik dihentikan dilepaskan dari serius kajiannya. Sebab bila kita melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka terang kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu terang akan menemui banyak duduk kasus pada tahap penerapan diberikutnya. Dan yang dihentikan dilupakan yaitu penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik. Formulasi kebijakan publik yaitu langkah yang paling pertama dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh lantaran apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibentuk itu pada masa yang akan hadir. Oleh alasannya yaitu itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan dikala akan melaksanakan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula yaitu bahwa formulasi kebijakan publik yang baik yaitu formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu yaitu sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi. Padahal bahwasanya formulasi kebijakan publik yang baik itu yaitu sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah kasus asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas kasus kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).

Solichin sebut, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini yaitu formulasi kebijakan sebagai :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan kasus dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemdiberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, akreditasi dan pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17).

Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses tersebut untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri.
Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu :
  1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik
  2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
  3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik
  4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi Kebijakan Publik
(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang ialah uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu : 

A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):
  • Pemrosesan nilai;
  • Pemrosesan realitas;
  • Pemrosesan masalah;
  • Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;
  • Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
  • Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;
  • Penentuan taktik pembuatan kebijakan.
B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
  • Sub alokasi sumber daya;
  • Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;
  • Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;
  • Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;
  • Penyiapan prediksi yang realistis atas banyak sekali alternatif tersebut diatas, diberikut laba dan kerugiannya;
  • Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus menentukan alternatif mana yang terbaik;
  • Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang sudah dipilih tersebut diatas.
C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)
  • Memoivasi kebijakan yang akan diambil;
  • Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;
  • Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang sudah dilakukan;
  • Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang sudah dilakukan.
(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan kegiatan yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berafiliasi dengan tahap yang diberikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam bundar kegiatan yang tidak linear. Aplikasi mekanisme sanggup membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara pribadi menghipnotis asumsi, keputusan, dan agresi dalam satu tahap yang kemudian secara tidak pribadi menghipnotis kinerja tahap-tahap diberikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi mekanisme analisis kebijakan yaitu tepat untuk tahap-tahap tertentu dari proses pembuatan kebijakan, menyerupai ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan kebijakan) dan oval yang dipetangkan (prosedur analisis kebijakan) dalam sketsa 2.1. terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan sanggup memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).
KARAKTERISTIK PENYUSUNAN AGENDA 
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan kasus pada acara publik. Banyak kasus tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda untuk waktu lama. 
FORMULASI KEBIJAKAN 
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif. 
ADOPSI KEBIJAKAN 
Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan derma dari secara umum dikuasai legislatif, konsesnsus diantara administrator forum atau keputusan peradilan. 
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 
Kebijakan yang sudah diambil dilaksanakan oleh unit-unit manajemen yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. 
PENILAIAN KEBIJAKAN
Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan. 
Sumber : William N. Dunn, 2000:24.

Keterangan :
  1. Perumusan kasus sanggup memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi kasus dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan acara (agenda setting). Perumusan kasus sanggup memmenolong menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang berperihalan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
  2. Peramalan sanggup menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang kasus yang akan terjadi dimasa menhadir sebagai jawaban dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melaksanakan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan sanggup menguji masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai mengestimasi jawaban dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari banyak sekali pilihan.
  3. Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari banyak sekali alternatif yang balasannya dimasa menhadir sudah diestimasikan melalui peramalan. Ini memmenolong pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi memmenolong mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal eksternalitas dan jawaban ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan mentukan pertanggungjawabanan administratif bagi implementasi kebijakan.
  4. Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang jawaban dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini memmenolong pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan dengan memakai banyak sekali indikator kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. Pemantauan memmenolong menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawaban pada setiap tahap kebijakan.
  5. Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diterapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Makara ini memmenolong pengambilan kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak spesialuntuk menghasilkan kesimpulan terkena seberapa jauh kasus terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada penjelasan dan Koreksi terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, memmenolong dalam pembiasaan dan perumusan kembali masalah
(Dunn. 2000:26-29).

Faktor-faktor yang menghipnotis pembuatan keputusan / kebijakan berdasarkan Nigro and Nigro dalam buku karya M. Irfan Islamy yang berjudul Prinsip-prinsip perumusan Kebijaksanaan Negara yaitu sebagai diberikut :
  • Adanya efek tekanan dari luar
  • Adanya efek kebiasaan usang (konsevatisme)
  • Adanya efek sifat-sifat pribadi
  • Adanya efek dari kelompok luar
  • Adanya efek keadaan masa lalu.
(Dalam Islamy, 1986:25-26)

Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap perjuangan perumusan kebijakan khususnya kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat dimana ternyata pada kenyataannya proses penentuan keputusan atau kebijakan tersebut kental dengan banyak sekali macam pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif.
Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan berdasarkan Nigro and Nigro yaitu sebagai diberikut:
  • Teknik berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)
  • Adanya perkiraan bahwa masa depan akan mengulangi masa kemudian (Assumption that future will repeat past)
  • Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication)
  • Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (Overreliance on one’sown experience
  • Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para pembuat keputusan (Preconceived nations)
  • Tidak adanya keinginan untuk melaksanakan percobaan (Unwillingness to experiment)
  • Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to decide).
(Dalam Islamy, 1986:25-26).

Kesalahan-kesalahan tersebut ialah kesalahan yang sangat fatal sekali khususnya didalam pembuatan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama sehingga seterbaik mungkin kesalahan tersebut harus diminimalisir atau dihilangkan bila tidak ingin mendapatkan kasus pada tahap pengimplementasian dilapangan yang berdampak pada gambaran jelek para penentu kebijakan tersebut sekaligus kebijakan itu sendiri.

2.1.2. Implementasi Kebijakan
2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya dalam Implementasi
Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan bahwasanya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut kasus konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh lantaran itu tidak terlalu salah bila dikatakan implementasi kebijakan ialah aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada keuntungannya bila tidak sanggup diterapkan sesuai dengan rencana. Penerapan yaitu suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji menyampaikan dengan tegas bahwa “The execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan yaitu sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau planning anggun yang tersimpan rapih dalam arsip bila tidak diimplementasikan). Oleh lantaran itu implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diharapkan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang bisa untuk meraihnya. Penerapan ialah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian alasannya yaitu jawaban yang menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah kasus yang praktis terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup susah untuk membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih susah lagi untuk melaksanakannya dalam menolongk dan cara yang memuaskan tiruana orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya yaitu kesusahan dalam memenuhi tuntutan banyak sekali kelompok yang sanggup mengakibatkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan yaitu : 

“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan hingga tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini mempersembahkan makna bahwa implementasi kebijakan yaitu keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan samasukan, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).

Secara sederhana sanggup dikatakan bahwa implementasi kebijakan mencakup tiruana tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.

Didalam artikel yang mengulas terkena Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota, Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan berdasarkan pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan Van Horn yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar dan samasukan tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan intinya ialah penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan samasukan tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance) ialah tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yang sanggup meningkatkan kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut yaitu standar dan samasukan kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, perilaku pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan samasukan kebijakan sanggup dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerja program. melaluiataubersamaini standar dan samasukan sanggup diketahui seberapa besar keberhasilan acara yang sudah dicapai.

Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau acara sanggup ditujukan dari tiga faktor yaitu :
  1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
  2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
  3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan tiruana pihak terutama kelompok akseptor manfaat yang diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas ialah suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor menghipnotis sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.
Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang sanggup menimbulkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:
  1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan sanggup gagal lantaran masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, membuktikan adanya belum sempurnanya yang menyangkut sumber daya pemmenolong.
  2. Informasi. Kekurangan informasi dengan praktis mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
  3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat susah bila pada pelaksanaanya tidak cukup derma untuk kebijakan tersebut.
(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yang sanggup menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, alasannya yaitu tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada pertama perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak sanggup bekerja terbaik dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

2.1.2.2. Model-model Implementasi Kebijakan
Sekalipun dalam khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis kebijakan negara sudah banyak dikembangkan model-model atau teori yang mengulas tentang implementasi kebijakan namun penulis spesialuntuk akan membicarakan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif gres dan banyak menghipnotis banyak sekali pemikiran maupun goresan pena para ahli.

Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”, menurutnya untuk mengimplementasikan kebijakan negara secara tepat maka diharapkan beberapa persyaratan tertentu, syarat-syarat itu yaitu sebagai diberikut :
  1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang fokus
  2. Untuk pelaksanaan acara tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai
  3. Perpaduan sumber-sumber yang diharapkan benar-benar tersedia
  4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu kekerabatan kausalitas yang andal
  5. Hubungan kausalitas bersifat pribadi dan spesialuntuk sedikit mata rantai penghubungnya
  6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit
  7. Pemahaman yang mendalam dan komitmen terhadap tujuan
  8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
  9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
  10. Pihak-pihak yang mempunyai wewenang dan kekuasaan sanggup menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
(Dalam Solichin, 2002:70-78)

Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai A model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan) dimana dalam teorinya beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka memperlihatkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara gosip kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak ialah konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha membuat tipologi kebijakan sebagai diberikut :
  • Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,
  • Jangkauan atau ruang lingkup komitmen terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi
Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara komitmen terhadap tujuan --- terutama dari mereka yang mengoperasikan acara dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).

Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sbatier yang disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis implementation). Kedua andal ini beropini bahwa kiprah penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang menghipnotis tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud sanggup diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu :
  • cepatdangampang tidaknya kasus yang akan digarap dikendalikan
  • Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya; dan
  • Pengaruh pribadi banyak sekali variabel politik terhadap keseimbangan derma bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
(Dalam Solichin, 2002:81).

Dari model-model yang disajikan tersebut ada yang relatif abstrak, dan ada pula yang relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti tidak bermaksud untuk menilai mana yang diantara model-model tersebut yang baik atau paling tepat, alasannya yaitu penerapan model ini untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan analisis itu sendiri. Sebagai fatwa pertama barangkali ada baiknya diingat bahwa semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diharapkan teori atau model yang relatif operasional yang bisa menerangkan kekerabatan kausalitas antar yang menjadi serius analisis.

2.1.3. Pengertian Kebijakan Keuangan Negara
untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui apa arti negara dan keuangan yang diharapkan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai tujuan tersebut, tergantung pada bagaimana negara itu manghimpuan dana masyarakat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini sanggup dipahami, lantaran untuk menjalankan roda pemerintahan, negara perlu derma dana yang sangat besar yang bersumber dari pendapatan negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan kebutuhan negara guna mensejahterakan masyarakat masyarakatnya berubah menjadi lebih luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal yang dikelola oleh pemerintah disebut sebagai keuangan negara, yang pengertiannya selalu berkembang dan tidak sama, baik berdasarkan tempat negara yang mengelolanya maupun berdasarkan pendapat para andal diantaranya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu “Semua hak dan kewajiban yang sanggup dinilai dengan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang sanggup dijadikan milik negara berafiliasi dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” (Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian berdasarkan M. Subagio (1988) yaitu :

“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang sanggup dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang sanggup dijadikan milik negara berafiliasi dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara mencakup membuat uang; hak menhadirkan hasil; hak melaksanakan pungutan; hak meminjam dan hak memaksa. Kewajiban negara mencakup kewajiban menyelenggarakan kiprah negara demi kepentingan masyarakat; dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).

Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang sanggup dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :

“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-sumber dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut dipakai (uses of fund) untuk mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Makara keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).

Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto, amaka unsur-unsur keuangan negara yang dikemukakan mencakup : kegiatan mencari dana dan kegiatan memakai dana untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu.

2.1.3.1. Pengelolaan Keuangan Negara
1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara 
Sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi dibawah MPR. Presiden mempunyai kekuasaan penyelengaraan pemerintahan negara, mencakup apa yang dalam trias politica disebut kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan pengertian bahwa kekuasaan legislatif itu dijalankan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintah itu mencakup didalamnya tiga kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi (kekuasaan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang sanggup mengakibatkan kekayaan negara menjadi bertambah atau berkurang) yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi umum (berupa peraturan perundang-undangan) dan otorisasi khusus (menetapkan keputusan yang mengikat orang ataupihak tertentu yang bersifat umum). Kedua kekuasaan ordonansi (kekuasaan untuk menerima, mereview, mengguji keabsahan dan menertibkan surat perintah menagih atau membayar tagihan yang membebani anggaran penerimaan dan pengeluaran negara sebagai jawaban tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan kebendaharaan (kekuasaan untuk menerima, menyimpan atau membayar/mengeluarkan uang atau barang, serta pertanggungjawabanan uang atau barang yang berada dalam pengelolaannya.

2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas peleksanaan kekuasaan pengelolaan kekuangan negara sesuai dengan sistem pemerintahan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, presiden mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur pemerintah di sentra dan daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(BPK, 2000:37-40)

2.1.3.2. Pertanggungjawabanan Keuangan Negara
Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah tertinggi dibawah MPR yaitu presiden, maka konsekuensi tanggung jawaban penyelenggaraan seluruh keuangan negara berada pula ditangan presiden. Telah diketahui bersama bahwa dalam tubuh pemerintah, selain presiden, terdapat pula para menteri, gubernur, bupati dan walikota, dan banyak sekali pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan tertentu dalam keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-masing pejabat tersebut memikul tanggung jawaban atas pelaksanaan keuangan negara di bidang tugasnya. Dalam pengertian pengelolaan keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawabanan yang harus dibentuk oleh tiruana instansi pemerintah maupun pejabat yang melaksanakan penglolaan keuangan negara yang mencakup pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan anggaran BUMN, BUMD, serta pelaksanaan anggaran yayasan yang didirikan oleh pemerintah, BUMN dan BUMD atau tubuh aturan lain dimana terdapat kepentingan negara atau yang mendapatkan menolongan pemerintah. Laporan pertanggungjawabanan tersebut disampaikan kepada pejabat atau instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawabanan diharapkan untuk mengetahui pelaksanaan acara pemerintah, baik acara pembangunan maupun kegiatan rutin pelayanan pemerintah, terkena tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, serta mengetahui tingakat kehematan, efisiensi dan efektifitas dari acara atau pelayanan pemerintah. Bentuk tangung jawaban keuangan negara pada umum berupa laporan keuangan yang disajikan secara berkala. Laporan keuangan ini harus disajikan secara lengkap sepadan dengan luas lingkup keuangan negara yang dilimpahkan oleh MPR kepada presiden yang mencakup keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, hakekatnya mencakup beberapa aspek seluruh kekayaan negara. Bentuk tanggung hawab masing-masing belahan keuangan negara intinya berupa : laporan realisasi pelaksanaan anggaran (kinerja keuangan), laporan mutasi kekayaan dari hasil pelaksanaan anggaran, dan laporan perhitungan anggaran secara rinci. (BPK, 2000:43-47)

LihatTutupKomentar