-->
Pangan Simbol Suku Bangsa
Pangan Sebagai Simbol Ragam-budaya
Membahas masalah ragam budaya selalu mengutamakan ciri-ciri yang menandai a.l. jangkauan lintas budaya dan lompatan lintas batas dari sebuah identitas komunal. Ini artinya tidak ada dominasi kekuasaan mayoritas ter-hadap hak-hak minoritas dan tak ada penghalang yang mengungkung sebuah suku yang hidup dalam keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai demokratis. 
Kepentingan dalam membuat masyarakat didasari bahwa keragaman dan pluralisme ialah sebuah kondisi yang saling melengkapi, saling meng-hargai dan menjunjung nilai-nilai yang terkandung pada masing-masing suku dan bangsa sebagai prasyarat kehidupan bersama.

Pangan sebagai pecahan kultur suku bangsa
Oleh lantaran luasnya ruang lingkup dilema ragam kehidupan, maka memahami dilema ragam budaya bisa dibuat rumit dengan banyak sekali kajian ilmiah, namun bisa pula untuk dipahami secara sederhana pula. misal yang paling mudah dicerna ialah bagaimana memahami ragam budaya secara enteng ialah dengan menyimak bentuk dan jenis kuliner yang dimiliki masyarakat masyarakat pada banyak sekali suku bangsa yang ada.

Mengapa kuliner dan bukan yang lain ?
Alasannya proses kehidupan insan baik semenjak dalam kandungan hingga final hayatnya, tak sanggup melepaskan dirinya dari makan dan minum.

Karena sangat pentinginya kuliner bagi sebuah suku bangsa, maka terdapat keyakinan tertentu bahwa sumber kuliner secara simbolik disamakan dengan dewa-dewi suci. Suku bangsa India mensucikan lembu atau sapi sebagai penjelmaaan sebuah Dewa Nandi, masyarakat Indonesia menjuluki tumbuhan padi sebagai Dewi Sri, dewi yang membawa kemakmuran. Sedangkan masyarakat pesisisir di Jawa Timur menjauhi ikan tertentu lantaran diyakini sebagai binatang jelmaan dari Dewa yang sudah menyelamatkan para nelayan di maritim lepas.

Bangsa yang mempunyai penduduk dengan bermacam-macam suku dan ras tentu mempunyai guaka ragam tata cara dan jenis makanannya. Ini tentunya terbawa oleh warisan kehidupan para nenek moyang mereka yang secara bebuyutan menjadi nilai kebudayaannya. Makanan dan tata cara menyajikan dan menyantap kuliner bukan saja sebuah ritual dalam kehidupan seseorang, namun punya keterkaitan dengan budaya, status sosial dan pola pikir yang diyakini oleh pelakunya.

Kita ambil sebuah contoh, sebagian besar negara-negara di belahan Asia jenis kuliner mereka menggunakan banyak rempah-rempah dalam guaka masakannya. Ini disebabkan daerah tinggal mereka kaya akan sumber-sumber yang banyak mempersembahkan ragam flora yang berfungsi sebagai komponen bumbu pada makanannya.

Maka ras suku bangsanya pun bisa berguaka ragam pula. Indonesia, berdasarkan ensiklopedi J.M. Melalatoa, suku-suku bangsa di indonesia, punya tidak kurang 500 suku-bangsa dan ratusan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi diantara masyarakat sukunya

Sementara negara yang mempunyai sedikit sumber alamnya yang tidak banyak mengatakan jenis flora yang bisa dimakan, maka jumlah keberadaan suku yang mendiami daerah tersebut pun tidak sebanyak negeri yang kaya sumber daya alam.

Masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah yang mempunyai keragaman alam serta punya keterkaitan berpengaruh dengan lingkungan, maka budaya dan sikap masyarakatnya pun lebih kompleks, seluas keragaman alam dan lingkungannya.

Coba kita perhatikan, banyak sekali jenis kuliner yang berasal dari masyarakat dunia barat, relatif lebih terbatas dalam rasa dan aromanya, kalau dibandingkan dengan kuliner dari materi serupa dari masyarakat belahan dunia Asia. Sepotong daging oleh masyarakat Asia bisa dibuat kuliner dengan puluhan rasa dan aroma misalnya, opor yang bernuansa warna kekuning-kuningan, tiruanr dengan rasa elok dengan warna kecoklatannya, rendang yang merah dan pedas, hingga dengan sate yang pengolahannya cukup sekedar dibakar, namun penyajiannya menggunakan banyak sekali jenis rempah-rempah maupun materi nabati lainnya.

Makanan-makanan tersebut cara pengolahannya memerlukari bumbu-bumbu tambahan biar memperoleh rasa yang pas, sehingga sekurang-kurangnya terdiri ada 7 hingga 10 jenis materi baku bumbu yang mereka gunakan. Semakin banyak prasyarat baik dalam cara pengolahan maupun penyajiannya, maka tentu pula semakin banyak waktu yang tersita untuk menyelesaikannya.

Sementara itu, kuliner buat orang-orang di barat dengan materi baku berupa daging yang sama cara pengolahannya lebih terbatas dan dengan gambaran rasa yang menempel pun relatif lebih sederhana lantaran spesialuntuk membutuhkan 2 hingga 5 jenis rasa saja (garam, merica, saus, cabai dan jeruk), dan dengan bentuk final yang lebih terbatas.

Teknik mereka memasaknya pun lebih sederhana dengan menekankan pada segi-segi kepraktisannya.

Dari sini kita bisa berguru banyak bahwa dari pangan bagi masyarakat Asia ternyata membawa implikasi lain, dimana secara sadar atau tidak, kehidupan masyarakatnya mempunyai adat­-istiadat yang sangat kompleks. Sementara bagi masyarakat barat lantaran jenis pangan mereka lebih terbatas dan pengolahannya menonjolkan sifat kepraktisannya, maka masalah kehidupan mereka pun mengedepankan cara-cara yang pendek dan serba praktis.

Pola kuliner dan pola kehidupan kelihatannya punya keterkaitan yang tidak secara langsung, terhadap kehidupan sebuah masyarakat meskipun banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial lainnya. Masyarakat yang mempunyai ragam dan jenis kuliner yang lebih bervariasi tentu membawa akhir yang jauh lebih rumit dan kompleks ketimbang masyarakat lainnya yang punya pola makan sederhana.

Buat orang Minang, Sumatra Barat, yang bebuyutan mengenal rasa pedas, tentu punya reaksi guah saat lidahnya bersentuhan dengan kuliner Jawa Tengah yang mayoritas rasa manis, atau masyarakat Jawa Timur yang ke-banyakan menyukai jenis kuliner yang dimasak secara matang, tentu sedikit terkejut mabadunga ia melihat kebiasaan masyarakat Sunda yang tidak pernah lepas dengan banyak sekali ragam daun lalapan mentah yang dimakan sebagai mitra nasi.

Masalah makanan, ternyata hampir tiruana suku bangsa di Indonesia mempunyai satu jenis kuliner yang materi dasarnya sama, yaitu sambal. Sambal terkait dengan cabai dengan rasa yang pedas dan gerah, sehingga bisa pula dipertanyakan apakah ini berarti bahwa tiap-tiap suku bangsa yang mengenal dan mengkonsumsi sambal mempunyai sifat-sifat pedas dan gerah pada sikap pribadinya ? Entahlah, mungkin perlu riset untuk itu.

Pertanyaan yang sama, mungkinkah golongan masyarakat yang gemar me-makan yang berasal dari sumber binatang menghipnotis gen tubuhnya dari sebagian sikap kehidupan hewan, sementara masyarakat yang gemar akan kuliner tumbuh-tumbuhan, terutama golongan masyarakat Asia ter-pengaruh pula gen yang lebih dekat dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan alam yang relatif lebih rumit untuk diduga sikap kehidupan sosialnya

Perilaku ini mungkin tidak seratus persen sempurna namun kalau kita amati masyarakat barat yang konon dikenal sebagai pemakan daging terbesar mempunyai sifat-sifat tersebut di atas.

Sedangkan masyarakat Asia yang gemar makan dari materi nabati maka perilaku-nya menyerupai kehidupan alamnya.

Perilaku umumnya lebih susah untuk diterka, lantaran pertamanya seperti membisu dan pasrah itu, tiba-tiba sanggup saja berubah lebih agresif dan mengerikan menyerupai sebuah insiden tragedi alam.

Karena kebiasaan makan setiap suku bangsa dengan yang lain tidak sama, maka saat perluasan kebudayaan melalui perdagangan kuliner ini dilakukan, maka rasa pada kuliner mulai diadaptasi dengan selera setempat. Artinya fanatisme nilai terhadap budaya orisinil mulai tergeser lantaran kepentingan budaya masyarakat lain, dan atau lantaran pertimbangan bisnis yang harus adaptif. Kondisi ini bukan saja semata-mata dilakukan oleh kuliner dan suku bangsa orisinil Indonesia, namun kuliner dari barat pun terpaksa menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat

misal yang paling sederhana, ialah nasi putih termasuk pada sajian resto Kentucky Fried Chicken, padahal hampir tak pernah dijumpai pada restoran di daerah asalnya, Amerika Serikat

melaluiataubersamaini banyaknya ragam dan jenis pangan pada sebuah suku bangsa, maka tak ayal karakter-karakter yang terbawa dalam perilakunya meng-hasilkan sejumlah benturan dan goresan yang acapkali susah untuk dihindarkan. Konflik-konflik yang terjadi biasanya terjadi atas perebutan sebuah sumber bagi kebutuhan pangan mereka. Penguasaan ekonomi oleh suatu ras atau suku menyebabkan suku lain tersingkirkan

Jika mereka kemudian mulai kelelahan dan menyadari bahwa konflik tersebut tidak memperoleh manfaat, maka prosesi perdamaian diantara pihak yang bertikai dilakukan melalui sebuah upacara yang diyakini bisa mengikatkan kembali tall persaudaraan yang sudah terputus. Disini lagi-lagi simbol-simbol kuliner digunakan sebagai alat pemersatu.

Ada tepung tawar, ada upacara pinang sirih, serta upacara selamatan dengan nasi tumpeng, dan tak jarang mereka setuju untuk memotong binatang yang ada dan kemudian dilanjutkan dengan prosesi upacara makan bersama.

Juga banyak sekali ritual dengan cara mengkremasi kerikil dan potong babi menyerupai yang sering dilakukan pada suku Dani, di Lembah Baliem, Papua Barat

Mengapa kuliner tetap digunakan sebagai simbol penyelesaian konflik ? Jawabannya bekerjsama sederhana, lantaran mereka meletakan simbol-simbol dalam kuliner sebagai sebuah makna tertentu.

Pada dunia diplomasi politik modern pun hampir tak lepas dengan ritual jamuan makan setelah basa-basi penyambutan secara verbal. Sebab riual itulah yang mempersembahkan nilai-nilai penghormatan antar pemimpin suatu bangsa pada bangsa lain.

Dalam kuliner tertentu, ada pula kandungan simbol-simbol kasta atau golongan yang patut dihormati saat prosesi upacara perjamuan akan dilakukan. Sebagai misal kalau anda mengenal tumpeng, (sebuah kuliner yang terbuat dari nasi yang dibuat menyerupai pegunungan berwarna kuning dimana pada pecahan bawahnya diletakan berguaka lauk pauknya), maka prosesi cara memakannya pun mempunyai ritual sendiri. Ragam lauk yang ada sekitar nasi tumpeng menyerupai banyak sekali jenis ikan, macam-macam jenis kacang atau yang terbuat dari kacang, menyerupai tahu-tempe dan banyak sekali jenis unggas ialah simbol yang mewakili tiga unsur lapisan dunia, yakni dunia bawah, dunia tengah (bumi) dan dunia atas. Bentuk nasi tumpeng yang kerucut ialah sentral yang menunjuk ke atas sebagai metafor pada yang “Maha” Oleh alasannya ialah itu pecahan teratas yaitu pucuk dari pegununganan biasanya didiberikan oleh yang empunya hajat kepada seseorang yang secara sosial sangat dihormati, demikian seterusnya hingga ke bawah.

Ada yang menarikdanunik dari sebuah tumpeng dalam konteks ragam budaya ialah kesamaan pada warna kuningnya. Makara walaupun pecahan teratas diper-untukan bagi golongan dengan status sosial teratas, dan pecahan final untuk disantap secara beramai-ramai tanpa mempedulikan stasus dan golongan-nya, namun ketiruananya punya warna pengikat kebersamaan yaitu warna kuning.

Jika warna pada kuliner saja bisa menjadi simbol egaliter, maka sesungguhnya masyarakat kita pun sanggup pula ditemukan simbol-simbol dengan sisi yang bisa mempersatukan nilai keragaman budaya, namun di sisi sebaliknya tetap mempersembahkan ruang untuk sebuah nilai dan kualitas keragaman dari banyak sekali suku, agama, ras dan anutan atau golongan.

“Riual” makan pada beberapa suku bangsa kerap juga dianggap sebagai simbol korelasi seksual. Apakah yang membuat kesamaan sikap dari dua agresi itu. Secara psikologis memang tidak sama namun demikian ada persamaan arti secara simbolik.

misal, pada banyak sekali suku bangsa, memdiberi suap pasangan, atau makan bersama untuk kali pertama ialah suatu perjanjian non ekspresi yang mengikat antara dua insan menyerupai tradisi di kepulauan Trobriand.

Makan berdua-duaan di depan publik sudah sanggup diartikan sebagai pengumuman akan status “pernikahan” mereka.

Lain lagi bagi suku Wogeo di Papua Nugini, kalau seorang laki makan bersama dengan perempuan, maka wanita itu dianggap sebagai abang kandung-nya, maka si laki itu tidak boleh berkeluargai.

Pada masyarakat “modern” berlaku beberapa tradisi contohnya bersantap bersama dalam keluarga inti, atau mengundang khusus kerabat dekat untuk makan bersama pada hari tertentu, yang kadang kala spesialuntuk berupa jenis ragam kuliner yang simbolik “keakraban”

Berbeda dengan apa yang terjadi pada kelompok masyarakat susila atau golongan “tradisionil” - para laki cukup umur biasanya punya daerah hunian terpisah dengan wanita serta anak-anak. Maka pola makan pun tidak sama, si wanita (isteri) akan menghantar ke daerah hunian si laki (suami) dan ia sendiri bersama belum dewasa makan bersama di daerah hunian sendiri

Ada juga masyarakat yang anggota kelompoknya tidak akan makan hewani atau jenis burung tertentu lantaran mereka menganggap hewan-hewan itu ialah “nenek-moyang” mereka. Mereka anggap taboo disebabkan mereka percaya bahwa makan jenis hewan-hewan tersebut ialah sama dengan melaksanakan korelasi seks dengan kerabatnya dan itu berarti “incest”.

Biasanya beberapa jenis kuliner juga menjadi ukuran untuk memilih kategori seseorang atau juga sanggup memilih tingkat sosial seseorang.

Misalnya, di antara masyarakat pulau Trobrian, seorang yang dianggap mempunyai kedudukan tinggi sangat dihentikan makan ikan pari (stingray) atau babi hutan, kecuali mereka yang tergolong tingkat sosial rendah.

Larangan untuk makan tersebut juga berlaku pada masyarakat yang ada dalam sistem kasta di India. Misalnya bagi masyarakat yang mempunyai ke-dudukan tinggi akan terkotori posisinya apabila tubuhnya bersentuhan dengan seorang golongan kasta rendah atau berkeluarga dengan seorang yang tergolong kasta rendah. Karena khawatir terkotori kedudukannya, seorang dengan gelar Brahmana atau individu yang sederajat tidak akan mau makan bersama ataupun menggunakan piring bekas, bahkan tidak mau mendapatkan pemdiberian kuliner yang di suguhkan oleh orang dari kasta rendah, ini juga berlaku di Sri Langka. melaluiataubersamaini demikian makan dan seksual sanggup ialah suatu metafora di wilayah ini.

Ritual agama Hindu di India berlaku beberapa jenis kuliner yang spesialuntuk sanggup dipersembahkan kepada Dewa yang ada di dalam candi-candi

Bahkan masing-masing jenis kuliner mempunyai pesan (arti) atau per-mohonan khusus untuk persembahan bagi sang Dewa.

Lain lagi kuliner menyerupai Hot-dog, Hamburger, atau Apple Pie – tiruana ini me-rupakan simbol kuliner bagi masyarakat masyarakat “biasa” yang berlaku di seluruh Negeri Amerika. Tingkat kelas sosial juga bisa ditentukan dari jenis kuliner dan minuman, misalnya, telur ikan Caviar dan Champagne mewakili masyarakat golongan atas atau elit.

Sebaliknya hamburger MacDonald ialah kuliner bagi rakyat jelata, buruh dan pengemudi, jadi cita rasa kuliner dan minuman memdiberi arti simbolik akan posisi seseorang. Di Indoneisa hamburger MacDonald menampilkan status jauh tidak sama dari Negeri asalnya.

Pola mozaik cara makan
Perilaku makan ternyata juga tidak terlepas dari budaya yang berlaku bagi seseorang. Misalnya, daerah di mana, waktu, bagaimana dan apa yang disantap, tiruana ini akan memilih status seseorang.

Di India, makan dengan jari-tangan kanan dibenarkan sebaliknya jari-tangan kiri yang dianggap kotor dilarang. Di Amerika orang makan boleh dengan dua jari yang disebut “finger food” atau harus menggunakan sendok, garpu dan pisau.

Di China lain lagi, spesialuntuk dengan dua batang sumpit untuk makan, tetapi tidakboleh berani menaro pisau di meja, katanya kita bisa dianggap sangat barbar.

Binatang kodok dan jenis bekicot sanggup ditemukan di Negeri Inggris dan Perancis, tetapi spesialuntuk masyarakat Perancislah yang gemar makan bekicot, nama kerennya Escargot.

Mereka pelihara kuda, anjing dan sapi tapi spesialuntuk daging sapi-lah yang mereka santap, kecuali orang Perancis kadang kala juga melahap daging kuda.

LihatTutupKomentar