-->
Fenomena Sastra Indonesia Muthakhir
NOVEL-NOVEL PUTU WIJAYA: FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTHAKHIR
Abstract
Author will not begin their making of literary works with “culture blank”. Issues of time and society for certain periods influence the chosen themes men of literature express in creating the works. Shift in choosing themes is due to that in the case of time and social issues.

It indicated that development of Indonesian literature is natural. In other word, great and varied literary programs occurred constitute depiction and continuation of changing social process. It is included the surprising development found in the works of Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, and Budi Drama as well. The development is called climax for the process of change occurred.

In describing the phenomena met in the development of Indonesian novel, it will be discussed in this writing some aspect of novelty, especially those found in Putu Wijaya’s novels. The aspect are (1) alienated humans: characters in Putu Wijaya’s novels, (2) novelty of world of conscious and subconscious, (3) techniques f stream of consciousness, and (4) plotting models.
Key word : alienated, conscius, subconsciuos, and consciousness

A. Pengantar
Karya sastra dan kehidupan ialah dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian masing-masing sebagai sesuatu yang eksistensial (Suyitno, 1986:3). Hal itu mengandung pengertian, karya sastra dan kehidupan nyata selain mempunyai otonomi tersendiri, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Kebe­rangkatan pengarang dalam membuat karya sastra diilhami oleh fenomena kehidupan. Akan tetapi, tidak berarti setiap fenomena yang muncul akan direkam kemudian dilaporkan. Untuk menghasilkan karya yang baik tentu masih perlu adanya proses kreatif. Proses kreatif dilakukan dengan sebelum memdiberi interpretasi fenomena kehidupan untuk selanjutnya dituangkan dalam karya sastra.

Membicarakan keterkaitan antara sastra dengan kehidupan Rudolf Unger (dalam Wellek, 1990:141) menyatakan, sastra bukanlah filsafat yang diterjemahkan dalam ben­tuk pencitraan, melainkan ekspresi atau sikap umum terhadap kehidupan. Lebih lanjut Unger menerangkan, permasalahan yang digarap sastra antara lain (1) masalah nasib, yakni hubungan antara kebabasan dan keterpaksaan, semangat insan dan alam, (2) masalah keagamaan, (3) masalah mitos dan ilmu gaib, (4) masalah yang menyangkut konsepsi manusia, hubungan insan dengan final hidup dan konsep cinta, dan (5) masalah masyarakat dan keluarga.

Masih terkait dengan pembicaraan di atas, Damono (1984:1), menyampaikan dalam karya sastra tersirat gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri ialah kenyataan sosial. Dalam hal ini kehidupan mencakup beberapa aspek (1) hubungan antarmasyarakat, (2) antarmanusia, (3) antarmasyarakat dengan orang-seorang, dan (5) pantulan hubungan orang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Persoalan zaman dan kemasyarakatan dari kurun waktu tertentu besar lengan berkuasa pada pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan dalam karya-karyanya. Pergeseran duduk masalah zaman dan duduk masalah kemasyarakan akan mengakibatkan pergeseran pemilihan tema.

Esten (1987:49) mencatat perkembangan tema novel Indonesia dimulai dari zaman Balai Pustaka yaitu: (1) tema-tema yang dipilih yakni tema yang dirasakan sebagai duduk masalah masyarakat secara kolektif dalam jangkauan terbatas, (2) tema tidak lagi menyangkut duduk masalah suatu masyarakat tertentu tetapi menuju pada duduk masalah masyarakat yang lebih luas (bangsa), (3) tema berkembang ke arah permasalahan yang lebih mendasar dari sudut kemanusiaan, lebih universal dan humanitis.

Selanjutnya Esten (1987:50) menerangkan perkembangan tema bergerak dari duduk masalah yang bersifat kolektif dengan ikatan-ikatan sosial yang lebih terpadu menuju ke persoalan-persoalan yang lebih bersifat individual. Penampilan persoalan-persoalan yang bersifat individual tersebut mempersembahkan kemungkinan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam ikatan-ikatan sosial. Bahkan secara ekstrim duduk masalah individual ditarik menjadi kepingan penting sehingga terlepas darti ikatan-ikatan sosial yang ada. Akan tetapi, mengingat kedudukan insan di samping sebagai makhluk individu juga kepingan dari kelompok sosial, duduk masalah individu yang dimunculkan pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat personal. Dalam arti duduk masalah tersebut juga ialah duduk masalah yang dialami dan dirasakan oleh setiap orang, duduk masalah insan dan kemanusiaan.

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERITA FIKSI
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=3534590760438366745;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=97;src=link

Berdasarkan hal di atas Mursal Esten hingga pada suatu kesimpulan, perkembangan kesusastraan Indonesia, termasuk di dalamnya novel, ialah suatu proses yang wajar. melaluiataubersamaini kata lain, bagaimanapun jago dan bervariasinya perkembangan sastra, ia masih tetap ialah gambaran dan lanjutan dari proses masyarakat yang sedang berubah. Termasuk juga dalam hal ini perkembangan yang mengagetkan pada karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, dan juga Budi Darma. Perkembangan yang ada pada pengarang-pengarang di atas disebut sebagai titikpuncak dari sautu proses perubahan yang terjadi.

Sebagai upaya menerangkan fenomena dalam perkembangan novel Indonesia, pada goresan pena ini akan dibahas aspek kebaruan, khususnya pada novel karya Putu Wijaya. Aspek kebaruan yang dimaksud yaitu (1) manusia-manusia teralienasi (terasing), tokoh-tokoh dalam novel Putu Wijaya, (2) pembauran alam sadar dan alam bawah sadar, (3) metode arus kesadaran (stream of conciousness), dan (4) model pengaluran.

B. Manusia-manusia Teralienasi: Tokoh-tokoh dalam Novel Putu Wijaya
sepertiyang diuraikan pada kepingan sebelumnya, duduk masalah zaman dan kemasyarakatan kurun waktu tertentu besar lengan berkuasa pada pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan dalam karya-karyanya. Pergeseran duduk masalah zaman dan duduk masalah kemasyarakatan akan mengakibatkan pula pergeseran pemilihan tema. Demikian pula halnya dengan duduk masalah zaman dan kemasyarakatan dikala ini, terutama menyangkut modernisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi. Persoalan tersebut juga tak luput dari pencermatan para sastrawan yang pada alhasil menjadi aspek tema yang dituangkan dalam karya sastra.

Kenyataan menunjukan bahwa kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi sudah banyak mempersembahkan manfaat bagi kehidupan manusia. Manusia semakin usang semakin terikat dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan insan tetapi sudah terintegrasi dengan manusia. Dalam kondisi demikian itulah insan akan menjadi terkukung oleh kemajuan itu sendiri.

Kemajuan teknologi pada pertamanya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan insan dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab insan terpisah dari sesama atau dunia luar dan alhasil mengalami keterasingan (alienasi). Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur sudah dikelilingi oleh metode, organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam keadaan ini insan tidak lagi menjadi subjek yang berdikari tetapi sudah mengalami detotalisasi dan dehumanisasi (Erich Form, dalam Poespowardojo, 1988:83).

Kondisi yang digambarkan tersebut ialah tanda-tanda sosial yang umum terjadi pada masyarakat modern. Budi Darma (1995:134) menyebut keterasingan (alienasi) pada pertamanya ialah tanda-tanda sosial dalam masyarakat modern. Keterasingan itu sendiri ialah salah satu tema yang ada dalam telaah filsafat eksistensialisme. Selain tema keterasingan dalam eksistensialisme dibahas pula perihal (1) subjektivitas, (2) kebebasan, (3) kegagalan, dan (4) final hidup (Koeswara, 1987:9; Hasan, 1992:7).

Manusia dengan segala keterasingannya itulah yang ditampilkan dalam novel-novel Putu Wijaya. Kuntowijoyo (1984:131) menyebut karya Putu Wijaya ialah wujud dari karya sastra eksistensialis. Sastra eksistensialis yang bermula dari filsafat eksistensialisme, menghadapkan individu dengan masyarakatnya dalam sebuah pertarungan eksistensial. Dalam hal ini individu sudah disudutkan oleh masyarakatnya dan ia menjadi kepingan yang dengan sia-sia menegakkan eksistensinya dengan segala macam cara.

Ditegaskan oleh Kuntowijoyo, orang-orang (tokoh) dalam sastra demikian ialah wakil dari ide keterasingan. Tokoh-tokoh tidak mempunyai tabiat dan spesialuntuk mempunyai perilaku. Perilaku para pelakunya yakni sikap sosial, lantaran mereka spesialuntuk mempunyai huruf ideal. Tokoh-tokoh yang ditampilkan tidak terasa sebagai tokoh kasatmata yang praktis diamati secara empiris. Tokoh-tokoh yang ditampilkan tampak terperinci sebagai wujud dari ide. Oleh lantaran sikap mereka lahir dari ide dan bukan dari psike, perbuatan-perbuatan mereka semata-mata spesialuntuk sanggup ditangkap dalam hubungannya dengan ide.

Penampilan tokoh-tokoh, khususnya tokoh utama, dalam novel Putu Wijaya digambarkan sebagai tokoh yang mencoba mencari tanggapan setiap duduk masalah yang dialami walaupun ia sendiri sadar bahwa jawabanan tersebut tidak akan ditemukan. sepertiyang tokoh pada sastra eksistensialisme, tokoh-tokoh dalam novel Putu Wijaya dibiarkan secara bebas mengembara melalui pikiran dan ide-idenya. Pengembaraan terebut dilakukan dengan kebebasan yang “luar biasa” sebagai kepingan dari upaya mengatasi keterasingan yang dialami.

Novel Telegram, dipertamai dengan dongeng perihal seseorang (tokoh aku) yang mendapatkan atau merasa mendapatkan sebuah telegram. Telegram baginya ialah sesuatu yang angker lantaran selalu membawa kabar yang menyedihkan. Belum sempat membuka apa isi telegram tersebut, pikiran dan perasaan tokoh saya sudah mengembara dengan bebas ke mana-mana. Justru inilah yang berdasarkan Teeuw (1989:208) ialah wujud dari keterasingan manusia. Kekacauan antara kenyataan dan khayalan sanggup menjadikan keterasingan dan krisis identitas.

Dalam novel Stasiun ditampilkan seorang lelaki renta sebagai tokoh utama cerita. Seorang lelaki renta tanpa latar belakang atau tujuan yang jelas, yang tidak tahu ke mana harus pergi dan tidak juga mempunyai peranan dalam masyarakat.

“…. Sebuah kereta memekik. Itu yakni kereta dalam hidup-nya sendiri yang tak pernah hingga ke stasiun yang ditujunya. (Stasiun, hal 45)

sepertiyang diungkapkan Prihatmi (1990:87) kutipan di atas ialah inti duduk masalah yang ditampilkan oleh Putu Wijaya dalam novel Stasiun. Manusia memang tidak akan pernah mencapai tujuannya, hingga kapan pun. Ironisnya insan juga tidak pernah sanggup melawan kemauan di luar dirinya untuk melaksanakan perjalanan terus menerus supaya sanggup mencapai tujuannya yang ia tahu tak akan pernah tercapai.

Latar stasiun dan seorang lelaki renta ialah dua hal yang sempurna untuk menampilkan aspek keterasingan manusia. Stasiun dengan segala kesibukan, kesemrawutan, kekacauan, dan gambaran keberangkatan dan kehadiran ialah latar belakang yang sempurna untuk menggambarkan seseorang yang diancam oleh keterasingan. Sementara itu, pilihan seorang lelaki renta yang tanpa identitas dan bahkan tidak yakin terhadap keberadaan dirinya menjadi penanda yang terperinci perihal insan yang teralienasi. Manusia yang tidak dipandang oleh siapa pun, disisihkan oleh kehidupan dan sia-sia mencari pembelaan atas keberadaan serta tujuan perjalanan yang sepi (Teeuw, 1989:9).

Karya Putu Wijaya lainnya yang berjudul Byar Pet juga menampilkan tokoh yang mengalami hal serupa. Novel dipertamai dengan dongeng perihal tokoh saya (tokh utama) yang berangkat pergi ke Jakarta. Di tengah perjalanan disadari bahwa dompet dan buku catatanya tertinggal.

Dari sinilah tokoh utama memulai petualangannya. Dalam usaspesialuntuk mencari orang yang tak diketahui namanya lagi, ia masuk ke dalam masyarakat yang hiruk pikuk dengan segala tindakan yang susah dipahami. Dalam kesendirian dan kegalauannya itu beberapa kali ia berhasil masuk ke dalam dirinya sendiri. Ternyata dalam dirinya pun sedang berlangsung tanya tanggapan yang meletihkan, yang tidak terperinci ujung pertamanya.

Sapardi (1995:iii) dalam pengantar novel ini menegaskan adanya satu motif dasar dalam mitos, termasuk dalam sastra Indonesia modern, yaitu kehilangan — mencari —menemukan. Hal itulah yang ingin diungkap Putu Wijaya dalam novel ini. Tokoh utama ini tidak ber-KTP dan tidak membawa catatan yang ialah sandaran ingatannya, mencari seseorang yang juga terlupa namanya, dan alhasil menemukan dirinya di daerah asalnya.

Dalam novel lainnya yang berjudul Pol, sebagaimana karya Putu pada umumnya mengangkat masalah yang mungkin bagi kebanyakan orang yakni masalah yang sepele, yaitu masalah mimpi. Cerita dipertamai dikala Aston, tokoh utama novel ini, sudah bermimpi. Yang perlu dicatat yakni Aston mimpi bertemu dengan Semar. Semua orang menjadi gempar mendengar hal itu. Semua orang menaruh perhatian pada diri Aston. Mimpi Aston perihal Semar sudah membawanya ke dalam “dunia” lain yang seolah-olah tak terbatas.

Aston, tokoh utama dalam novel ini yakni gambaran insan yang tersisih. Dia seorang pengangguran dan mempunyai anak banyak. Dia merasa gagal dalam hidup. Dia menjadi tidak berarti di antara insan yang lain, bahkan di hadapan Warni, istrinya sendiri. Keterasingan Aston semakin menjadi-jadi pada dikala Ayat, tokoh lain novel ini yang selalu menjadi tentangan Aston, bermimpi perihal Tuhan. Aston kembali menjadi orang pinggiran yang selalu dikejar-kejar oleh tukang kredit.

Keterasingan insan yakni keterasingan bagi tubuhnya sendiri yang dijumpai pada diri orang lain. Keterasingan insan terhadap diri sendiri disebabkan oleh duduk masalah “berada” dan “memiliki”. Hal itulah yang membuat insan selalu tertutup atas kehadiran orang lain dan terjerumus lantaran keinginan untuk memperluas miliknya (Gabriel dalam Dagun, 1990:93).

Keterasingan insan terjadi lantaran eksistensinya tidak bisa melampaui kekuatan-kekuatan di luar dirinya sehingga ia merasa absurd dan alhasil mengalah pada kekuatan tersebut. Dalam keterasingan tersebut insan mengalami keterputusan dengan sesama, kehilangan kontak dengan alam serta Tuhannya dan merasa sendiri dalam individualitasnya. Akhirnya dalam keadaan menyerupai itu individu akan menemukan dirinya tidak berdaya, tidak berharga, dan kehilangan gairah hidup (Binswanger dalam Koeswara, 1987:24).

Seseorang yang mengalami keterasingan sanggup diketahui dari ciri penanda yang menempel pada dirinya. Ciri penanda tersebut sanggup ditemukan melalui sikap, pikiran dan tingkah laku. Ciri penanda yang dimaksud yaitu (1) kesepian, (2) kekosongan jiwa, dan (3) kecemasan.

Wujud kesepian, jiwa yang kosong, dan bentuk-bentuk kecemasan tersebut sanggup dirunut pada tokoh-tokoh yang ada pada novel-novel Putu Wijaya. Melalui tokh-tokoh tersebut pengarang ingin membuat orang sadar akan kondisi kemanusiaan yang ada tanpa pretensi mempersembahkan petunjuk pemecahannya (Kuntowijoyo, 1984:131).

C. Pembauran Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar
Budi Darma (1984:141) berkesimpulan bahwa pengarang yang baik selalu sanggup menemukan tema dasar yaitu hakiki insan dan kemanusiaan. Mengutip pendapoat Mochtar Lubis, Darma menerangkan wilayah pengarang sangat luas, seolah-olah tanpa batas. Yang pelik bagi pengarang yakni “menjelajah ke ruang dalam” insan itu sendiri. Manusia yakni teka-teki, sukar diukur dan sukar diduga.

Pengarang harus mempunyai kekuatan mata menyerupai ronsen yang sanggup menembus badan insan dan menyerupai televisi yang kuat, sanggup menangkap gambar dari pemancar-pemancar yang jauh. Telinganya harus mempunyai resepsi yang tinggi sehingga sanggup mendengar suar-suara yang jauh. Pengerahan tiruana indera tersebut intinya bermuara pada upaya pengungkapan aspek-aspek hakiki insan dan kemanusiaan ke dalam karya yang dihasilkan. Hal itulah yang menjadi kepingan penting dalam sastra. Salah satu hakikat karya sastra yakni menggambarkan insan sebagaimana adanya. Karya sastra yang baik akan mengajak pembaca melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri.

Dalam persepktif psikologi, insan dipandang menyerupai pegunungan es. Aspek-aspek kesadaran yang menjadi ciri penanda keberadaan insan bahwasanya spesialuntuklah puncak pegunungan es tersebut. Banyak aspek bawah sadar insan yang sanggup dijadikan sebagai salah satu pijakan dalam upaya menemukan hakiki kemanusiaan. Manusia tidak selamanya identik dengan apa yang tampak pada dirinya (alam kesadaran), tetapi termasuk juga apa yang ada dibalik penampakan itu sendiri (alam bawah sadar).

Putu Wijaya sebagai pengarang menyadari betul apa yang menjadi permasalahan pokok dalam bercipta sastra sebagaimana diuraikan di atas. Sapardi Djoko Damono (1995:iii) menyebut Putu sebagai novelis sejati. Kesejatian yang dimaksud yaitu kemampuannya merekam segala sesuatu – hingga hal yang sekecil-kecilnya – yang berlangsung di sekitarnya. Semua pancaindera dikarahkan dengan seksama untuk menangkap apa saja yang berkaitan dengan tingkah laris manusia. Ditegaskan Sapardi, Putu tidak sekadar merekam dan mencatat tetapi mempersembahkan tanggapan, mempertanya­kan dan mencurigainya.

Kembali pada hakikat sastra sebagai pengungkapan hakiki manusia, dalam berkarya juga ada tuntutan bagi pengarang untuk mengungkapkan kehakikian insan tersebut. Salah satunya melalui penggabungan antara alam sadar dan alam bawah sadar insan yang direfleksikan ke dalam karya sastra yang dihasilkan. Semua itu berdasarkan pemahaman bahwa antara alam sadar dan alam bawah sadar ialah kepingan yang integral pada diri tiap manusia.

Dalam novel-novelnya, Putu Wijaya melaksanakan pembauran insiden yang biasa (yang terjadi dalam alam sadar) dengan insiden yang ada dalam alam bawah sadar. Pembauran tersebut dilakukan dengan cara (1) menghadirkan tokoh khayal, (2) masuk dalam alam mimpi, dan (3) menghadirkan halusinasi.

Melalui tokoh imajener yang dihadirkan oleh tokoh utama dan penceritaan alam mimpi, Putu sanggup menceritakan dengan mengembara seolah-olah terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Tokoh-tokoh yang ada sanggup menceritakan perihal apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Sementara itu, melalui halusinasi pikiran sanggup berjalan-jalan dengan sebebas-bebasnya, menyerupai dalam novel Telegram, pikiran yang sanggup berjalan-jalan menyelidiki organ tubuhnya sendiri.

Ditinjau dari konvensi sastra, pembauran antara insiden nyata dan insiden tak nyata sanggup dipandang sebagai upaya untuk terbebas dari “beban moral” sebagai seorang pengarang. Secara konvensional pengarang selalu dibebani untuk memdiberi “roh” pada insiden yang ditampilkan, tokoh yang dipilih, latar yang disajikan, dan unsur-unsur struktur lainnya. Pemdiberian “roh” tersebut seringkali terjebak pada kelaziman untuk bersikap menggurui pembaca.

Putu Wijaya mengganggap pemdiberian “roh” tersebut tidak selamanya harus hadir dalam karya sastra. Berkaitan dengan proses kreatifnya Putu pernah memberikan sebagai diberikut.

“Hal terpenting dalam menceritakan yakni menceritakan apa yang ada di kepala, menceritakan nyerocos apa adanya. Kalau tidak tahu, ya tidak tahu. Kalau memang bodoh, ya biar bodoh, tak usah dipintar-pintarkan. Justru dengan sikap demikian itulah dongeng sanggup mengalir ke mana dan di mana saja tanpa terbebani keharusan untuk menetapkan adanya rujukan yang niscaya perihal segala hal yang diceritakan (Eneste, 1983:150).

Pembauran alam sadar dan alam bawah sadar antara lain sanggup ditemukan pada novel Telegram, Stasiun, dan Pol. Dalam novel-novel tersebut digambarkan tokoh-tokoh utamanya sanggup menceritakan apa saja dan kapan saja perihal segala hal. Tokoh utama seringkali menceritakan perihal masa kemudian dan masa depan sebagai kepingan integral dalam dirinya dikala ini. Pembauran tersebut seringkali tidak tertandai secara jelas. Bahkan adakalanya kita gres tahu bahwa tokoh yang ada yakni tokoh khayal atau insiden yang ditampilkan menjadi kepingan dari alam bawah sadar setelah dongeng tersebut berakhir.

D. Teknik Aliran Kesadaran (Stream of Consciousness)
Aliran kesadaran (stream of consiousness) ialah istilah dalam ilmu psikologi yang dipakai untuk menggambarkan keadaan pikiran dan kesadaran sese­orang. Istilah tersebut dipakai oleh Willian James untuk menyatakan anutan yang tak terputus-putus dari pikiran dan kesadaran dalam benak seseorang (Sudjiman, 1981:89).

Berdasarkan pengertian di atas, dongeng anutan kesadaran yakni dongeng menampilkan tokoh dengan mengikuti bagaimana cara persepsi dan pikiran muncul dalam diri seseorang, yakni secara acak. Mengikuti cara ini, anutan pikiran dan perasaan tokoh disajikan menyerupai kemunculanya tanpa memperhatikan urutan logis. Kenyataan, harapan, kenangan, mimpi, berselang-seling dan berbaur. Semua hal tersebut disajikan apa adanya sesuai dengan yang terjadi dalam diri tokoh. Steinberg (dalam Prihatmi, 1997:49) menyatakan bahwa dongeng anutan kesadaran mencoba menirukan realis – menyerupai adegan yang terjadi pada layar – tetapi spesialuntuk dengan alat bahasa.

Pertanyaan yang muncul diberikutnya yakni apakah dengan merekam secara sekaligus perkataan, pikiran, penglihatan itu sanggup disebut mengungkap “bawah sadar” manusia. Jawaban pertanyaan tersebut sanggup dikembalikan pada prinsip Freud, bahwa keadaan insan bahwasanya bukan spesialuntuk kesadaran yang lebih penting justru ketaksadaran.

Dalam hubungannya dengan penampilan tokoh melalui anutan kesadaran terdapat beberapa cara yang ditempuh. Teknik yang dimaksud yaitu (1) metode montase, (2) metode kolase, dan (3) metode asosiasi (Sudjiman, 1991:98-100).

Teknik montase (istilah dalam film) berarti memilih-milih, memotong-motong, serta menyambung-nyambung gambar menjadi satu keutuhan. Dalam cerita, metode montase sanggup menghasilkan suatu kisahan yang putus-putus. Teknik ini dipakai untuk dipakai untuk membuat suasana tertentu melalui pencipataan impresi.

Teknik kolase (istilah dalam seni rupa), yakni metode menempelkan potongan kertas, koran, tutup botol, karcis bis, dan lain-lain dalam satu bidang (kanvas). Dalam sastra metode kolase menghasilkan dongeng yang sarat dengan kutipan dari karya sastra lain, dengan alusi, ungkapan asing, yang biasanya dianggap tidak ada hubungannya. Cerita terputus oleh kisah atau insiden yang tidak ada hubungannya bahkan tidak sama ruang dan waktu.

Teknik asosiasi (istilah dalam ilmu jiwa), bahwa dalam berpikir orang tidak selalu dituntun oleh logika tetapi juga oleh asosiasi atau tautan. Suatu hasil pengindraan mengingatkan kita akan hal lain yang bertautan. Penggunaan metode ini dalam sastra menghasilkan serangkaian insiden yang sepertinya tidak berkaitan dengan inti cerita. Akan tetapi bila dicermati lebih dalam, dengan memakai asosiasi, keterkaitan antarperistiwa tersebut sanggup dijelaskan. Di sinilah pembaca didiberikan peluang seluas-luasnya. Bagaimanapun juga pembacalah yang dibutuhkan sanggup mempertautkan insiden atau kisahan yang ditampilkan dalam dongeng dan akhirtnya sanggup menetapkan sintesisnya.

Dalam novel-novelnya Putu Wijaya banyak memakai metode anutan kesadaran untuk menampilkan tokoh-tokohnya. Penampilan bawah sadar sebagai wujud dari metode anutan kesadaran yakni dengan cara menulis dan mengungkapkan hal –hal yang tak terkatakan dan pikiran-pikiran yang tidak dilaksanakan. Semua hal tersebut terlaksana melalui pembauran alam nyata dan alam tak nyata sebagaimana diuraikan sebelumnya.

E. Model Pengaluran
Pembauran arus kesadran dengan arus bawah sadar dan metode anutan kesadaran (stream of consciousness) sangat mempengaruhi model pengaluran. Oleh lantaran yang hadir yakni tokoh khayal, baik lewat mimpi atau halunisasi, yang hadir juga peristiwa-peristiwa tidak nyata.

Konsekuensi yang muncul dari hal itu yakni alur dan pengaluran ialah mosaik potongaan-potongan dongeng dari dua dunia yang tidak sama. melaluiataubersamaini demikian aturan kausalitas dalam alur seringkali tersamar dan bahkan tidak hadir sama sekali. Ketidakjelasan alur tersebut bukan berarti novel-novel karya Putu tidak beralur. Alur dihadirkan dalam bentuk yang sublim mengikuti anutan dongeng yang ditampilkan.

Hal di atas sanggup dihubungkan dengan sikap Putu Wijaya dalam menanggapi proses kreatif kepengarangannya. Putu beranggapan bahwa intelektualitas bukan hal yang terpenting dalam karya sastra. Bekal intuisi dan perasaan saja cukup untuk mencipta. Dalam menulis Putu merasa sebagai orang yang kebetulan fasih berbicara dan memuntahkan intuisi semata-mata tanpa referensi.

Anggapan bahwa intelektualits tidak penting juga dekat kaitannya dengan pilihan metode menceritakan, termasuk untuk “mengabaikan” pengaluran. Sebagai upaya menambah pemahaman, pandangan Putu Wijaya sanggup diperbandingkan dengan Soebagya Sastrowardoyo. Pembadingan tersebut tentu saja bukan dalam kerangka mencari persamaan, perbedaan, atau memperperihalkan ke dua pengarang tersebut. Soebagyo menegaskan mengapa dirinya lebih menentukan menjadi penyair dengan menulis sajak. Sajak dianggap lebih sanggup memenuhi kebutuhan menyatakan pengalaman estetik secara eksklusif ke dalam goresan pena tanpa berpaling pada planning yang disengaja terkena pembentukan watak, tokoh-tokoh, kejadian-kejadian, dan plot. Dalam hal ini tampak dua hal yang tidak sama dalam memaknai konsep intelektualitas dalam berkarya. Putu memaknai intelektualitas dengan suatu keharusan menerangkan segala hal yang yang tertuang dalam karya sastra (novel). Sementara itu Soebagyo lebih menekankan adanya rencana, pemikiran, bahkan logika sebelum menulis sebuah karya sastra, khususnya yang berbentuk prosa. 

F. Penutup
Putu tampil melalui pilihan insiden kecil-kecil, unik, yang seringkali berupa guakdot. Melalui hal kecil, unik, dan guakdot itu bahwasanya ia ingin memberikan “sesuatu yang besar”. Sesuatu yang besar tersebut selalu berafiliasi dengan ke-ada-an dan ke-beradaan-an insan yang hakiki. Oleh lantaran itu masih terbuka kemungkinan yang sangat luas, bahkan tak ada habisnya, dalam upaya memahami dan memaknai karya-karya Putu Wijaya. Seperti pernyataan Putu dalam menerangkan proses kreatifnya, “kadang-kadang saya berpikir bahwa mungkin bahwasanya saya spesialuntuk menulis sebuah novel, sebuah dongeng pendek, sebuah esai, sebuah drama yang hingga kini belum pernah selesai. Begitulah adanya."

Pustaka;

  • Bertens, K. 1987. Fenomenologis Eksistensialis. Jakarta: Penerbit Gramedia
  • Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta
  • Drama, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
  • Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosilogi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:Depdikbud.
  • Eddy, Nyoman Tusthi. 1983. Nukilan I: 15 Esai perihal Sastra. Ende Flores: Penerbit Nusa Indah.
  • Eneste, Pamusuk (ed.). 1983. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gramedia.
  • Esten, Mursal. 1987. Kesusastraan, Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Penerbit Angkasa
  • Hasan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Joseph, L Frans Sinuer. 1986. Manusia Modern Mencari dan Menemukan Identitas Diri. Bandung: Serva Minora.
  • Koeswara, E. 1987. Psikologi Eksistensialis: Sauatu Pengantar. Bandung: Penerbit Eresco.
  • Kuntowijoyo. 1984. Penokohan dan Perwatakan dalam Sastra Indonesia. Dalam Budaya Sastra. Andy Zoeltom (Ed.) Jakarta: Penerbit Radjpertamai.
  • Prihatmi, Sri Rahayu. 1990. Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto: Dialog antara Dunia Nyata dan Tidak Nyata. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
  • --------------------------. 1990. Dari Mochtar Lubis hingga Mangunwijaya. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
  • --------------------------. 1997. Teknik “Stream of Consciousness” dalam Novel Telegam Karya Putu Wijaya. Dalam Lembaran Sastra No. 22/1997. FASA Undip.
  • Sudjiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Suyitno. 1996. Sastra Tata Nilai dan Eksesgesis. Yogyakarta: Penerbit Hanindita.
  • Toda, Dami N. 1984. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
  • Teeuw , Andreas. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Wellek, Rene dan Austin Wareen. 1990. Teori kesustraan. Terjemahan melani Budianta. Jakarta: Penerbit Gramedia.
  • Zoeltom, Andy (Ed.) 1984. Budaya Sastra. Jakarta: Penerbit Radjpertamai.

LihatTutupKomentar